44 – Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan…

IMG 9705-L InPixio-L

INTRO

Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku,
jangan tinggal di dalam kegelapan.
Yoh. 12:46

Di hulu sungai Mappi, tinggal suku Jair. Dari kejadian tahun 1955 dan apa yang terjadi sesudahnya, saya mau tunjukkan bagaimana gelapnya hutan mereka waktu itu. Saya sempat ragu apakah saya harus menceritakannya di sini. Tetapi, kita baru bisa menghargai terang jika kita memahami gelapnya. Maka, saya tetap akan menuturkannya. Kisah ini juga terasa sesuai dengan suasana hari-hari menjelang Natal. Namun, saya memperingatkan Anda sebelumnya.

JPDG-287-Scheer-2 33-L
Seorang Jair pada pesta perpisahan saya di Wanggemalo pada tahun 1994

1.
DEWI MEMBALAS DENDAM

Dewi

Pada akhir tahun 1954, salah satu polisi di Tanah Merah jatuh sakit. Dia adalah anak dari Dewi, kepala perang dari Magubo, sebuah kampung Jair sekitar 15 kilometer di barat daya Tanah Merah, di seberang kali Digul, kira-kira sehari perjalanan dari sungai. Dia adalah salah satu polisi pembantu yang direkrut Bestir (pemerintah) dari suku-suku setempat. Mereka sangat berguna sebagai pemandu saat patroli dan penerjemah.

Setelah sakit yang singkat, pria itu meninggal dunia. Dua orang dari sukunya segera pergi ke Magubo untuk memberi tahu Dewi bahwa anaknya telah meninggal. Mendengar kabar ini, Dewi kaget, emosinya memuncak sehingga dia mata gelap dan kehilangan kendali. Dia mengambil parang dan menyerang kedua pembawa pesan itu. Mereka langsung lari keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Dewi mengejar mereka, melompat keluar dari rumahnya, dan berteriak bahwa dia akan membunuh mereka.
Orang-orang di rumah-rumah lain mendengar keributan itu. Beberapa melihat ke luar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani melerai. Dewi adalah sosok yang ditakuti, dan tidak ada yang mau berurusan dengan dia.
Kedua pembawa pesan itu menyadari bahwa mereka tidak akan aman di rumah mana pun di kampung itu. Mereka berlari ke rumah guru di ujung kampung; guru itu berasal dari luar daerah dan mungkin akan melindungi mereka.

Guru itu juga mendengar keributan di kampung. Ketika dia lihat tiga orang laki-laki berlari ke arah rumahnya sambil teriak-teriak, dan salah satunya mengayunkan parang, dia pikir mereka punya niat buruk terhadap dia, dan dia jadi sangat takut. Tanpa ragu, dia melompat dari rumahnya melalui pintu belakang dan lari ke hutan untuk menyelamatkan diri. Ketakutan, dia langsung pergi ke Tanah Merah secepat mungkin. Guru itu baru tinggal di sana sebentar. Dia belum merasa nyaman dengan orang Jair.

Apperloo 00-016-L
Pastor Thieman di Tanah Merah, sekitar 1957

Masih terguncang, dia tiba di tempat pastor Thieman. Dengan tergesa-gesa dia menceritakan apa yang terjadi. Dia yakin nyawanya tidak aman lagi di Magubo, katanya kepada pastor. Orang-orang di kampung itu mau membunuhnya, dan dia baru saja lolos dari maut! Dia bersumpah tidak akan pernah kembali ke sana, apa pun yang terjadi!

Pastor yang sudah berpengalaman menenangkannya. Dia baru tiga tahun bekerja di Tanah Merah, tetapi sebelumnya dia agak lama melayani di pulau Frederik Hendrik (kini pulau Yos Soedarso, Kolopom, atau pulau Kimaam), di mana dia menghadapi banyak tantangan. Dia tidak mudah terguncang oleh cerita seperti ini dan tidak berniat membiarkan guru itu pergi begitu saja. Guru itu harus kembali ke tempat tugasnya! Magubo adalah salah satu kampung pertama di wilayah ini yang memiliki seorang guru.

Keesokan harinya, pastor bersama guru itu pergi ke Magubo. Di sana, Dewi sudah tenang kembali. Ketika dia mendengar bahwa guru itu mengira dia ingin membunuhnya, Dewi dengan tegas menyangkalnya. Tidak, sama sekali tidak! Dia hanya kehilangan kendali karena sedih dan menyerang pembawa pesan itu. Penduduk kampung yang berkumpul di sekitar mereka, dengan keras membenarkan ucapan Dewi: tidak ada yang punya masalah dengan guru itu! Guru itu harus tetap tinggal!
Mendengar penjelasan ini, guru itu mereda dan tenang kembali. Akhirnya, dia setuju untuk tinggal.

31560-L
Pintu gerbang markas Detasemen Polisi Umum di Tanah Merah.

Kemudian Dewi pergi ke Tanah Merah untuk menemui kepala polisi, atasan anaknya yang telah meninggal. Jika ini terjadi di antara orang-orangnya, dia pasti akan menuntut ganti rugi dengan keributan besar. Tapi di hadapan polisi yang bersenjata, dia menahan diri dan meninggalkan parangnya di rumah. Polisi memberikan kompensasi, sesuai kebiasaan jika ada orang yang meninggal dalam dinas mereka. Dewi menerimanya, tentu saja, tetapi di dalam hatinya, kemarahan dan keinginannya untuk balas dendam masih membara.
Sebelumnya, hubungannya dengan pemerintah sangat baik. Dia bahkan salah satu orang kepercayaan asisten pemerintah, bapak Leasiwal. Namun, meskipun dia terlihat tenang saat pergi dan kembali ke hutan, semua orang merasakan bahwa mereka telah kehilangan seorang teman, dan kasus ini mungkin akan membawa dampak buruk di masa depan.

ZGK-kaart 1979 Jair InPixio-L-PH-1

IMG 1610-L-3-AI InPixio

Raaff 127a-L-2
Sikafio, sekitar 1958

Gendo

Di tengah perjalanan antara Digul dan Mappi terdapat kampung Sikafio. Dulu, mereka tinggal di kampung Kabuta, lebih jauh ke barat laut, lebih dekat ke Mappi.
Pada bulan Desember 1954, seorang warga kampung bernama Wyoho meninggal dunia. Istrinya, Wosi, ditinggalkan dengan seorang anak perempuan berusia empat tahun. Wosi berasal dari Mahenggo, jadi setelah suaminya meninggal, dia kembali ke sana dan tinggal bersama pamannya, Yakhobo.
Menurut adat, jika seorang pria meninggal, istri yang ditinggalkan harus memberikan pembayaran kepada keluarga almarhum untuk mendamaikan mereka dengan kematian itu: sebuah kapak, sebuah bi (catatan-1), untaian gigi anjing, dan beberapa barang lainnya. Tetapi menjadi jelas bahwa Wosi tidak memiliki apa pun untuk diberikan.

Dewi juga berada di Sikafio. Kematian Wyoho mengingatkannya kembali pada kesedihannya atas kematian putranya, dan kemarahannya menyala lagi. Dia melihat ini sebagai kesempatan untuk membalas dendam pada pemerintah. Dia ingin menciptakan kekacauan dan menunjukkan kepada orang-orang pemerintah di Tanah Merah bahwa mereka tidak memiliki kendali apa pun di sini!
Setiap malam, ketika pamili dari Wyoho berdiskusi tentang apa yang harus dilakukan, Dewi memprovokasi mereka. Dia berbicara tentang adat lama. Dulu, dia bilang, jika seorang pria meninggal, istrinya harus dibunuh, baik dengan panah atau digantung. Tradisi itu sudah lama tidak dilakukan; sekarang, istri hanya dipukul atau ditusuk dengan tombak, karena pemerintah melarang pembunuhan. Tapi mengapa harus mengikuti aturan penjajah itu? Jika adat mengharuskan, itu bukan pembunuhan, tapi keadilan adat!

Ketegangan semakin meningkat, dan akhirnya Dewi berhasil memengaruhi beberapa orang lainnya: Husiang, kepala perang Sikafio, Bobokin, saudaranya, dan Haiwong. Mereka berempat pergi ke Mahenggo. Sesampainya di sana, mereka masuk ke rumah Jakhobo, mengambil anak kecil Gendo, dan membawanya pergi. Anak itu melawan, menangis, dan menjerit, tetapi tidak ada yang peduli. Jakhobo memprotes dengan keras, tetapi dia sendirian dan tidak bisa melawan empat orang itu. Orang lain datang melihat keributan, tetapi pengaruh Dewi sangat besar, bahkan di Mahenggo, sehingga tidak ada yang berani melawannya. Dengan rasa tak berdaya, mereka menonton para penculik membawa gadis kecil itu ke hutan. Tangisan anak itu masih terdengar sebentar, lalu menghilang. Yakhobo dan yang lainnya hanya bisa berdiri dalam keputusasaan.

Setelah kembali ke Sikafio, keempat orang itu mengikat Gendo yang ketakutan di sebuah lubang dangkal di hutan dekat kampung. Di sana, sesuai adat, mereka membunuh anak itu. Husiang menusuknya pertama kali dengan pisau. Kemudian, tiga lainnya menusuk tubuh kecil itu dengan tombak sampai tidak bergerak lagi. Dengan pisau bambu, mereka memenggal kepala anak itu. Dengan menari-nari mereka membawa kepala itu ke kampung. Malam itu, mereka berpesta dengan kepala anak yang baru dipenggal itu.

Dia 16-01-L-2
Orang Jair main pada perayaan 17 Agustus di Kouh 1979.

Gigima

Dewi belum puas dengan pembunuhan itu. Sebulan kemudian, dia berbalik melawan Husiang, tanpa alasan yang jelas dan dengan cara yang sangat licik.
Husiang punya istri dari Okiba, sebuah kampung di dekat Digul. Dari pernikahan sebelumnya, istrinya memiliki dua anak, Gigime dan Meribon. Ketika dia menikah dengan Husiang, kedua anak itu ikut dan tinggal bersama mereka di Sikafio.
Sekarang, Dewi mengincar kedua anak ini. Alasannya tidak jelas; mungkin ibu mereka belum pernah membayar setelah suaminya yang pertama meninggal? Apapun alasannya, Dewi secara diam-diam menyewa dua pria dari Sikafio, Haiwong dan Yebuah. Dia membayar mereka dengan beberapa ot (uang kerang). Tugas mereka adalah memancing kedua anak itu ke hutan dan menyerahkan mereka kepada orang-orang Khaime, sebuah klan yang tinggal di sekitar kali Pasema (kini: Kowo) di seberang Mappi. Daerah itu belum pernah dijangkau oleh pemerintah.

JPDG-F 125-11-L
Pada tahun 1984, RT-1 dan RT2 Wanggemalo laporkan ada orang coba sewa orang lain untuk bunuh seseorang. Sebagai bukti, harga sewa ditunjuk. JPDG-F 125-10-L

Kedua orang sewaan Dewi pergi menemui orang-orang Khaime, menjelaskan rencana mereka, dan menyepakati kapan dan bagaimana mereka akan melakukannya. Pada hari yang telah disepakati, kedua anak itu, tanpa curiga, pergi bersama dengan dua pria dari kampung mereka. Di tengah hutan, mereka benar-benar terkejut ketika tiba-tiba orang-orang Khaime muncul untuk menangkap dua anak itu. Meribon berhasil melarikan diri, tetapi Gigime tertangkap dan dibawa pergi. Di pemukiman mereka di seberang Mappi, orang-orang Khaime membunuh Gigime dan memenggal kepalanya. Malam itu, mereka mengadakan pesta dengan kepala anak itu.

Pasagai

Orang-orang di Sikafio sangat marah atas tindakan licik orang-orang Khaime. Mereka merasa bahwa ini adalah penghinaan besar dan menuntut balas dendam! Mereka tidak tahu bahwa Dewi dan beberapa orang kampung mereka sendiri yang berada di balik rencana ini.

Tidak jauh dari Mappi, ada kampung Yoto. Bersama orang-orang dari kampung itu, orang Sikafio berangkat untuk menghukum orang-orang Khaime di seberang Mappi. Pertempuran terjadi di dekat kali Mappi; panah beterbangan dari kedua belah pihak. Inggi, anak kepala kampung Yoto, berhasil memanah salah seorang Khaime yang bernama Pasagai, yang langsung jatuh terluka parah. Hal ini mengakhiri pertempuran. Orang-orang Khaime mundur dan membawa Pasagai kembali ke kampung mereka. Namun, mereka bersumpah untuk membalas dendam jika Pasagai meninggal karena luka-lukanya.

IMG 9671-L

 

2.
HUKUM HARUS DIJALANKAN

Patroli Leasiwal

Pada tanggal 21 Maret 1955, Bestir di Tanah Merah mendengar kabar bahwa telah terjadi pembunuhan di Sikafio. Ada desas-desus bahwa beberapa kampung terlibat, dan juga orang-orang dari daerah di seberang kali Mappi (catatan-2). Masalah ini melibatkan banyak wilayah Jair. Selain itu, para pelaku yang disebutkan adalah orang-orang yang sudah dikenal baik oleh pemerintah. Jelas, pemerintah tidak bisa diam saja.

Beberapa hari kemudian, pegawai pemerintahan Leasiwal bersama lima polisi masuk hutan. Mereka mengunjungi kampung-kampung Jair di dekat kali Digul: Magubo, Mahenggo, Okiba, dan Banabusu. Leasiwal memerintahkan penduduk untuk memastikan bahwa para pelaku dari Sikafio datang melapor ke Tanah Merah sebelum Paskah. Jika itu terjadi, penduduk kampung tidak akan mengalami masalah dengan pemerintah.

Namun, hingga Paskah, tidak ada seorang pun yang datang melapor. Maka, pemerintah memutuskan untuk bertindak sendiri.

Patroli Dinsbach

HPB Moll (catatan-3) dan polisi bersiap-siap untuk patroli menuju Yoto, karena mereka menduga para pelaku bersembunyi di sana. Namun, malam sebelum keberangkatan, seorang utusan dari Magubo membawa kabar buruk: sekelompok besar orang Mappi dan Sikafio sedang bergerak menyerang Magubo dan Mahenggo, dan katanya mereka sudah dekat.
Kabar ini memaksa polisi bertindak cepat. Tengah malam, patroli polisi yang dipimpin oleh Kepala Polisi Dinsbach segera berangkat ke kampung-kampung yang terancam. Terpaksa perjalanan yang direncanakan ke Yoto itu harus ditunda.

Namun, laporan itu ternyata hanya desas-desus kosong. Kepanikan ini disebabkan oleh seorang yang bernama Begio. Di Mahenggo dan Magubo, dia menyebarkan cerita bahwa orang-orang Mappi dan Sikafio berencana menyerang. Setelah itu, dia pergi ke Sikafio dan menyebarkan cerita bahwa polisi akan datang menangkap atau bahkan menembak mereka semua. Dengan cerita itu, Begio beberapa kali bolak-balik antara kampung-kampung ini, menciptakan kebingungan. Dari kekacauan yang dia buat, dia akhirnya memanfaatkan situasi untuk membawa lari seorang perempuan; ternyata itulah tujuannya sejak awal.

Tidak heran jika penduduk Magubo dan Mahenggo tidak pergi ke Sikafio untuk membujuk para pelaku pembunuhan Gendo agar menyerahkan diri ke Tanah Merah. Karena omongan Begio, mereka pikir orang-orang dari kampung itu punya niat jahat terhadap mereka.

Penduduk Sikafio semakin yakin bahwa polisi bermaksud buruk kepada mereka. Untuk membuktikan bahwa itu tidak benar, Dinsbach memutuskan untuk tidak bertindak keras di kampung itu. Sebabnya, jika dia bertindak keras, penduduk kampung itu hanya akan semakin percaya pada cerita Begio. Untungnya, patroli berhasil menangkap Begio. Dia segera dibawa ke Tanah Merah dan dijatuhi hukuman tiga bulan penjara karena perbuatannya.

Saat mengunjungi Sikafio, Dinsbach menyadari bahwa hubungan antara Sikafio dan Yoto dengan orang-orang Khaime di seberang kali Mappi sedang tegang. Namun, dia tidak dapat mengetahui apa penyebabnya.

Pada tanggal 19 April, Dinsbach dan para polisi kembali ke Tanah Merah. Saat itu, semua orang sibuk mempersiapkan perayaan Hari Ulang Tahun Ratu, yang dirayakan dengan meriah setiap tahun di Tanah Merah. Selain itu, HPB dari Mindiptana meminta bantuan Tanah Merah. Enam polisi dikirim ke sana untuk menangani masalah mendesak. Akibatnya, rencana patroli untuk mencari para pembunuh Gendo harus ditunda lagi beberapa minggu. Namun, pada tanggal 18 Mei, akhirnya patroli itu bisa dilakukan.

Raaff 147a-L
Lapangan padang rumuput dekat Sikafio, sekitar 1958
IMG 1610-L-3 IND
Peta dari laporan HPB Moll, 1955. Catatan huruf merah dari JPD Groen. Khatama adalah tempat dusun orang kampung Ujumbe. Kabuta adalah kampong lama orang Sikafio. Savanne = savana, lapangan padang rumput. Nama-nama ditulis dalam ejaan lama: Joto = Yoto, Ujumbe = Uyumbe, Djair = Jair.

Patroli Moll

Berangkat

Pagi-pagi sekali tanggal 18 April, patroli berangkat di bawah hujan lebat menggunakan kapal pemerintahan Japen menuju muara Wan, sebuah jakukecil di seberang sungai Digul. Di sana, mereka turun dan masuk ke hutan. (catatan-4)

Selama beberapa hari, rombongan 49 orang itu berjalan di hutan. Mereka melewati suatu lapangan padang rumput yang cukup luas, tempat pemisah aliran sungai Digul dan Mappi. Mereka bermalam di sebuah kampung kosong dengan banyak pohon kelapa dan pisang matang. Pada hari ketiga, mereka tiba di sebuah kelompok rumah-rumah tinggi, namanya Khatama. Beberapa orang tua tinggal di sana untuk menjaga dusun. Orang-orang lainnya sudah pindah ke Uyumbe, suatu kampung Jair dekat di sebelah utara Tanah Merah. Beberapa orang dari situ sementara kembali ke sini untuk mengurus pembayaran adat karena dua orang tua baru saja meninggal. Kepala Pemerintah Daerah (HPB) bapak Moll menyarankan mereka ikut agar pembayaran dilakukan dengan aman dan menghindari pembunuhan adat berikutnya.

Rombongan tiba di Kabuta, lokasi lama Sikafio yang sudah ditinggalkan. Di sana lagi ada banyak pohon kelapa yang berbuah sedangkan semangka tumbuh subur di pinggir hutan dari biji yang ditinggalkan Leasiwal tahun lalu, dan mereka menikmatinya.

Yoto

Akhirnya mereka tiba di Yoto, kampung yang baru dibuka sekitar sepuluh bulan lalu. Letaknya di dataran tinggi yang luas, dua jam berjalan kaki dari Mappi. Ada dua belas rumah dan sebuah pasanggrahan. Beberapa rumah memiliki atap kecil di atas puncak atap utama, meniru gaya rumah pemerintahan di Tanah Merah.

Yoto adalah gabungan dari dua kampung lama, Abri dan Wisio, tetapi juga ada penduduk dari Magubo yang sekarang menetap di sini. Orang Wisio hampir tidak ada. Mereka tampaknya kembali ke kehidupan berpindah-pindah dan tidak muncul meskipun ditunggu.
Penduduk yang berasal dari kampung lama Abri mulai berdatangan sore hari: 8 laki-laki, 6 perempuan, dan 8 anak-anak. “Mereka masih sangat primitif,” tulis HPB dalam laporannya, “pemalu tapi juga ramah.” Mereka sudah pernah bertemu petugas pemerintahan, termasuk Supit dan Leasiwal.

Malam itu diadakan pembayaran adat oleh orang-orang Uyumbe: 1 kapak, 1 parang, 2 pisau, 1 untaian gigi anjing, dan 1 bi; pembayaran itu untuk dua orang yang meninggal. Mereka berdebat dengan seru dan emosi yang hebat, tetapi kehadiran HPB mencegah konflik menjadi perkelahian. Pada akhirnya, kedua pihak berdamai – setidaknya untuk sementara.

Masalah pembunuhan adat juga dibahas. Dewi sempat tinggal di sana sebelum pembunuhan terjadi. Penduduk enggan berbicara tentang masalah dengan orang-orang di seberang Mappi, membuat HPB mencurigai ada yang disembunyikan. Kepala kampung lama Wisio dan anaknya, Inggi, tidak ada di tempat. Moll mengusulkan untuk pergi ke kampung orang Khaime esok harinya. Orang di Yoto menyetujui, tapi katanya jaraknya terlalu jauh untuk perjalanan sehari.

Raaff 144a-L
Polisi bikin rakit dari dua perahu, di pelabuhan Ikisi; sekitar 1958
Raaff 135a-L
Raaff 150a-L-2

Raaff 146a-L

ArabusuKeesokan harinya, sebagian patroli menuju kali Fofi (Mappi) (catatan-5). Setelah dua jam berjalan dan melewati rawa, mereka tiba di tepi sungai itu yang hitam dan alirannya lambat. Mereka menemukan beberapa perahu dan membuat rakit untuk mendayung beberapa jam ke hulu sampai ke muara Pasema (kini: kali Kowo). Di sana, mereka mulai berjalan menuju Arabusu. Ini wilayah yang belum dikelola pemerintahan.

Setelah sekitar satu jam berjalan, mereka tiba di suatu bivak permanen yang menurut orang Yoto biasanya ada orang, tetapi kali ini kosong. Mereka menunggu beberapa jam, tetapi tidak ada yang muncul.

Empat tahun lalu, pada bulan Agustus 1951, pastor Thieman juga pernah ke sini ketika dia bersama dengan sejumlah orang lain yang telah menghadiri pesta perdamaian di Kepi ada di tengah jalan kembali dari Masin menuju ke Tanah Merah dan Mindiptana. Di perjalanan panjang melewati daerah yang sama sekali belum dikenal, mereka istirahat satu hari di Arabusu untuk mencuci pakaian. Ketika itu, Arabusu kosong, tetapi mereka menemukan enam kepala manusia yang dipenggal, sebilah pisau bambu yang biasa dipakai untuk memenggal kepala manusia, dan tombak.

Sebelum kembali, Moll meninggalkan surat untuk penduduk Khaime di bivak bersama tembakau. Memang jelas bahwa orang Khaime tidak bisa membacanya, tetapi surat dan tembakau itu menunjukkan bahwa Pemerintah sudah hadir di sana. Semoga keajaiban kata-kata tertulis dapat mencegah tindakan agresif. Menjelang sore mereka kembali ke Joto.

Sikafio

Baru saja mereka kembali ke Yoto, mantan mandur dari Magubo yang pindah ke Yoto tiba-tiba pergi. Kepergiannya membuat penduduk kampung resah. Hanya dengan susah payah HPB berhasil menenangkan mereka kembali. Saat itu sudah menjadi gelap dan terlambat untuk mengejar mandur itu. Kemungkinan besar dia pergi ke Sikafio untuk memperingatkan penduduk di sana tentang kedatangan polisi. Kejadian ini menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan penduduk terhadap pemerintah.

Kepala kampung lama Wisio dan anaknya, Inggi, masih belum muncul. HPB meminta penduduk menyampaikan pesan agar mereka datang ke Tanah Merah.

Dari Yoto, mereka melanjutkan perjalanan ke Sikafio, dipandu oleh kepala kampung lama Abri. Saat menyeberangi suatu kali kecil di atas batang pohon yang licin, HPB terpeleset dan jatuh ke dalam air. Untungnya, dia tidak terluka dan segera kembali naik ke tepi. Namun, pemandu tiba-tiba menghilang. Hanya setelah dipanggil berkali-kali, dia akhirnya kembali dengan ragu-ragu. Ketika ditanya mengapa dia lari, dia mengatakan takut ditangkap atau bahkan ditembak. Tampaknya seseorang telah menakut-nakuti penduduk tentang polisi, dan HPB mencurigai Dewi terlibat untuk merusak reputasi pemerintah.

Keesokan harinya, mereka melewati lapangan padang rumput yang sama seperti sebelumnya, lalu menyeberangi kali Edera, sungai lebar dengan arus deras. Untungnya, ada jembatan batang pohon untuk menyeberang.

Raaff 160a-L
Menyeberangi kali Edera, sekitar 1958
Raaff 158a-L
Raaff 159a-L

Sekitar jam 11 pagi, mereka tiba di Sikafio, kampung tempat gadis Gendo dibunuh. Kampung ini terletak di atas suatu bukit dengan pemandangan luas, tetapi hanya ada enam rumah yang terlihat terbengkalai. Tidak ada orang di sana. Beberapa tanda menunjukkan penduduk melarikan diri terlalu terburu-buru, mungkin karena diperingatkan oleh mantan mandur dari Magubo. Setelah makan siang, mereka melanjutkan perjalanan. Esok harinya, mereka tiba di Dewi punya kampung, Magubo.

Raaff 148a-L
Patroli polisi berangkat dari Sikafio, sekitar 1958

Magubo

Magubo lebih besar daripada Sikafio. Penduduk mengatakan bahwa Dewi berada di dekat sini, begitu juga Demande, saksi penting pembunuhan itu. Namun, Demande terlalu takut untuk datang ke kampung. Tiga polisi pergi ke bivaknya di hutan, tetapi dia sudah melarikan diri. (catatan-6) HPB sangat ingin menangkap Dewi karena dia dianggap sebagai sumber masalah di daerah Jair. Namun, penduduk terlalu takut untuk memberi tahu keberadaannya.

Malam itu, waktu sudah gelap, mandur Piso datang diam-diam kepada HPB. Dia dulu pernah bekerja di polisi di Tanah Merah, sama seperti anak Dewi yang telah mati itu. Dengan berbisik dia mengatakan bahwa dia tahu di mana Dewi bersembunyi, dan bahwa dia bersedia untuk memandu polisi ke tempat itu. Tengah malam, dia pergi bersama empat polisi ke hutan.

Keesokan paginya, Moll mencatat dalam jurnalnya bahwa hari itu adalah Pentakosta. Dia seorang Protestan; Magubo adalah lapangan kerja misi Katolik. Sepanjang pagi dia tunggu tim penangkapan pulang.

Sekitar tengah hari, regu arestasi kembali dengan Dewi. Saat fajar mereka mengejutkan dan menangkapnya di bivaknya. Penduduk kampung terkejut melihat kepala perang Dewi yang terikat dibawa ke pasanggrahan oleh empat orang polisi. HPB menjelaskan kepada penduduk yang mendekat dengan rasa ingin tahu, bahwa Piso bukanlah pengkhianat tetapi sebagai mandur telah mengikuti perintah eksplisit dari HPB. Moll berharap keluarga dan pendukung Dewi tidak akan membalas dendam pada Piso.
HPB juga mengatur agar Wosi, ibu Gendo, dan pamannya Yakhobo, akan dibawa ke Tanah Merah untuk diinterogasi.

Tujuan utama patroli sudah dicapai. Mereka meneruskan perjalanan melalui Mahenggo ke Okiba, tetapi di sana Moll menerima berita mendesak dari Tanah Merah bahwa Gubernur akan segera berkunjung. Oleh karena itu, Moll memutuskan untuk membatalkan rencana perjalanan ke Sabkaheng dan segera pulang. Pada 3 Juni, dia kembali di pos pelayanannya, Tanah Merah.

Tanah Merah

Bulan itu, Demande datang ke Tanah Merah untuk memberikan kesaksian, lalu diizinkan kembali ke kampungnya. Sementara itu, Dewi tetap ditahan, tetapi teman-temannya masih terus bersembunyi di hutan. Baru pada tanggal 1 November, Husiang datang lapor diri. Tetapi yang lain-lain tidak muncul.

Supaya perkara yang berpanjang-panjang ini akhirnya bisa selesai, pada bulan November polisi kirim patroli lagi untuk tangkap orang-orang yang masih dicari dan untuk kumpul bahan-bahan untuk penyelidikan. Leasiwal sama Simons bawa cukup banyak polisi supaya bisa kerja dalam dua atau tiga kelompok kalau perlu. Itu memang jadi perlu. Tapi akhirnya para pelaku yang buron itu bisa ditangkap tanpa harus pakai senjata.

Pada 5 Desember, Dewi dan tiga temannya diadili.

Apperloo 00-019-L

Orang Jair di Tanah Merah, sekitar 1958.

3.
PERTIMBANGAN

Pemerintahan

Sejak kamp internering didirikan di Tanah Merah pada tahun 1927, para komandan militer dan pejabat sipil sengaja tidak mencoba mengendalikan daerah di sekitarnya. Hutan lebat dengan penduduk asli yang dianggap berbahaya menjadi “pagar alami” yang membuat tahanan tidak bisa melarikan diri. Tidak mungkin mereka akan bisa mencapai pantai dengan selamat.
Kadang-kadang ada patroli ke bagian atas sungai Digul, ke wilayah Mandobo dan Muyu. Pada tahun 1937, Kapten Wiarda, komandan Tanah Merah saat itu, melakukan perjalanan ke sepanjang kali Mappi hingga kali Manggono dan danau Mappi.

Baru pada tahun 1953 ada pejabat Belanda pertama kali jalan dari tepi sungai Digul masuk sedikit ke daerah Jair. Kunjungan dari pegawai nasional seperti Supit dan Leasiwal atau patroli polisi kadang terjadi, tetapi perjalanan HPB Moll ke Yoto pada tahun 1955 adalah pertama kalinya seorang pejabat kulit putih masuk jauh ke daerah Jair antara Digul dan Mappi.

Pengaruh pemerintahan di budaya Jair saat itu sangat kecil. Wilayah di selatan jalur Tanah Merah – Yoto memang disebut “dikelola,” tetapi nyatanya pengaruhnya sangat terbatas. Pengaruh orang Barat paling kelihatan di kapak besi sama parang yang didapatkan orang Jair melalui perdagangan di Tanah Merah atau dari kapal yang lewat. Itu alasan utama kenapa orang-orang yang punya dusun di dekat Mappi buka kampung di dekat Digul: bukan untuk menetap di situ, tapi untuk buat tempat jual beli barang dengan anak-anak kapal. Budaya Barat terlihat juga di beberapa rumah beratap ganda di Yoto dan pohon-pohon kelapa yang tumbuh dari bibit kelapa dari Kepi. Namun, pola hidup Jair hampir tidak berubah. Di dalam hutan, mereka masih tetap hidup sesuai adat mereka hampir tanpa terganggu.

Tidak lama setelah Moll kembali dari patrolinya, Gubernur Van Baal mengunjungi Tanah Merah, seperti sudah diumumkan sebelumnya (catatan-7). Dia menyadari bahwa memperkuat kendali di wilayah yang sudah berada di bawah pemerintahan lebih penting daripada menjelajahi wilayah yang belum terjangkau. Sesudah Gubernur berangkat lagi, Moll mencatat dalam laporan bulan itu:

“Dalam kaitan dengan tugas di Tanah Merah, saya diminta tidak melakukan patroli-patroli panjang. Gubernur menilai tidak perlu eksplorasi ke utara, dan perhatian penuh harus diberikan pada wilayah yang saat ini berada di bawah pemerintahan, terutama daerah Jair.”

Raaff 145a-L
Seorang Jair di Yare, sekitar 1958

Jair

Wilayah Jair berada di antara Digul dan Mappi, serta sedikit ke barat Mappi. Di utara, perbatasannya adalah kampung Mariang di Digul dan Boma di Mappi; lebih ke utara lagi adalah wilayah orang Kombai. Suku Jair termasuk dalam keluarga bahasa Awyu. Asal nama mereka tidak jelas; mereka sendiri menyebut diri Aghu, dan kali Jair mereka sebut Biagha. (catatan-8)
Orang Jair hidup dari berburu, menangkap ikan, mencari sagu, dan apa pun yang bisa dimakan di hutan. Mereka sering berpindah-pindah tempat tinggal. Jika tanah sudah tidak subur atau terjadi banyak kematian, mereka akan pindah ke tempat lain. Bahkan setelah kampung-kampung mulai terbentuk, kebiasaan ini tetap berlanjut. Pemerintah mencoba menghentikan kebiasaan itu, tetapi pengaruhnya sangat kecil.

Jair adalah suku pemenggal kepala. Ketika seorang anak laki-laki sudah dewasa, pada upacara inisiasi dia harus menjawab pertanyaan apakah dia pernah membunuh seseorang, karena itu saja sudah memberinya hak untuk memakai bi. Dia juga tidak bisa menikah jika dia belum pernah memenggal kepala seseorang. Meski begitu, Jair bukanlah suku kanibal. Anak kecil Gendo memang dibunuh secara kejam, tetapi dia tidak dimakan. (catatan-9)

Wilayah Kepi dan bagian hilir sungai Edera semakin berada di bawah kendali pemerintah. Akibatnya, penduduk Mappi mulai mengeluh bahwa mereka kehilangan tempat untuk berburu kepala manusia. Mereka hanya bisa melakukannya di sepanjang kali Mappi. Namun, ketika pengaruh pemerintah meningkat di bagian selatan wilayah suku Jair, para pemburu kepala ini memindahkan daerah perburuannya ke utara, yang dirasakan di Mariang dan Kouh.

Pemerintah waktu itu berusaha mengajarkan peradaban kepada orang Papua. Namun, peradaban saja tidak membawa terang. Apa yang dilakukan manusia di masyarakat ‘beradab’ atas nama hukum sering kali tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan orang Papua berdasarkan adat mereka.
Dengan masuknya pemerintahan, dua sistem hukum saling bertentangan: adat Papua dan hukum Barat. Tetapi, mengapa orang Jair harus meninggalkan adat mereka untuk adat kwai (orang kulit putih)?

Semuanya menunggu Terang datang menghilangkan kegelapan…

Adven-02

Kami ucapkan selamat waktu adven,
sebagai persiapan untuk merayakan pesta kelahiran Yesus Kristus:
Terang yang telah datang di dunia yang gelap ini!

Catatan

  1. Bi: kerang besar yang digunakan pria dewasa Jair sebagai penutup alat kelamin.
  2. Awalnya istilah ini dipakai untuk orang Yakai di daerah Kepi dan sekitarnya, tapi kemudian juga dipakai untuk orang-orang yang tinggal lebih jauh ke arah hulu sungai Mappi. Di sini, yang dimaksud adalah orang-orang dari daerah kali Kowo. Nanti, waktu Mariang dan Kouh diancam orang Mappi yang datang berburu kepala manusia, istilah itu tunjuk orang-orang yang tinggal masih lebih jauh lagi ke utara lagi.
  3. Kepala Pemerintahan Setempat (HPB) saat itu adalah L.O.A. Moll (1926-). Ia mulai karirnya di Yapen, lalu dari 1955-1958 bekerja sebagai kepala pemerintahan di Boven-Digul dan di Kaimana. Dari 1959-1961, ia menjadi sekretaris Dewan Pengembangan Masyarakat.
  4. Patroli ini dipimpin oleh HPB Moll, dibantu asisten pemerintahan Leasiwal, seorang siswa sekolah pemerintahan, seorang staf kantor, 8 polisi dibawah pipinan agen Alfons (yang juga ikut dalam patroli besar di daerah Kombai pada bulan Januari 1958 bersama pendeta Drost), seorang mandur, 6 tahanan, dan 30 pembawa barang (dari suku Muyu, Mandobo, dan Jair). Jumlah 49 orang.
  5. Kelompok ini terdiri dari Moll, Leasiwal, 6 polisi, dan 5 pemandu yang sekaligus pendayung perahu.
  6. Beberapa minggu kemudian, ia dibawa oleh kepala kampung Magubo ke Tanah Merah. Di sana, polisi memeriksanya sebagai saksi. Setelah itu, ia diizinkan kembali ke kampungnya.
  7. Pada 7 Juni, Gubernur J. van Baal tiba di Tanah Merah bersama residen Papua Selatan J.J. Spijker. Mereka melanjutkan perjalanan ke Kepi pada hari yang sama. Dalam perjalanan pulang, mereka bermalam di Tanah Merah pada 20-21 Juni.
  8. “Di Biaghe, pada tahun 1920-an, ada sekitar seratus orang Aghu yang tinggal di sana, tetapi sekarang mereka sudah pindah ke tempat lain. Mungkin mereka adalah orang pertama yang memiliki hubungan penting dengan orang asing dari seberang lautan. Mengapa atau bagaimana orang asing menyebut Biaghe dan penduduk di tepinya sebagai Jair, tidak bisa diketahui lagi,” tulis pater Drabbe pada tahun 1957.
  9. Suku Jair berbeda dengan Mandobo di sisi timur Digul. Orang Mandobo tidak memenggal kepala, tetapi mereka tidak segan memakan daging manusia
Map III-282-L-PH-L
Seorang Jair di Kouh, sekitar 1962.

Sumber

Arsip Nasional di Den Haag

  • C.H. Stefels, Memorie van Overgave van de onderafdeling Boven-Digoel, 1955. Dalam: Nationaal Archief, toegang 2.10.39, inv. Nr 436 (dan 1427).

Perpustakaan Universitas Leiden:

  • Koleksi Moll, KITLV, D H 1430
    • Moll, Laporan pemerintahan 8 Januari 1955 – 23 Januari 1957 (map 8)
    • Moll, verslagen 1955-1956 (map 11)
    • Moll, Laporan patroli HPB Boven Digoel 18 Mei – 3 Juni 1955 (map 9)
    • Patrouille-opdracht No. 31/1955, dd. 6-11-1955.

Arsip MSC dalam Erfgoedcentrum Nederlands Kloosterleven di St Agatha

  • Thieman, W. msc, buku-buku harian 1 s/d 3. Inv.nr 5045
  • Thieman, W. msc, buku-buku catatan patroli 1 s/d 3. Inv.nr 5045
  • Thieman, W. msc, Sejarah Missi Tanah Merah (ringkasan buku-buku harian pastor Meuwese). Inv.nr 5045
  • Dokumen-dikumen mengenai sejarah daerah Mappi. Inv.nr. 6463.
  • (Thieman), Laporan perjalanan Masin – Tanah Merah, 2 Agustus s/d 12 Agustus 1951. Inv.nr 6415-B eerste deel

Publikasi

  • Boelaars, dr. J. m.s.c., Met Papoea’s samen op weg. Deel 2: De baanbrekers. Kampen 1995.
  • Drabbe, P. m.s.c., Spraakkunst van het Aghu-dialect van de Awju-taal. ‘s-Gravenhage 1957 (KITLV)
  • Vries, L.J. de, The greater Awyu languages of West Papua. Boston/Berlin 2020 (Pacific Linguistics, vol. 657)

Sumber yang tidak dipublikasikan:

  • Fanoy, A., laporan-laporan bulanan dan triwulan

–//–