43 – Injil masuk Kawagit

32123-L
Seorang Papua, pada Expedisi ke Pegunungan Bintang, 1959. Mungkin di Kloofkamp. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32123)

Intro

Mimpi?

Tanah Merah tenang. Matahari bersinar tinggi di langit dan hampir semua orang telah mencari tempat yang sejuk untuk menunggu sampai panas yang paling buruk sudah berlalu. Hanya di bandara ada aktivitas di sekitar helikopter ekspedisi.

Henk dan Jaap berdiri dengan penasaran melihat-lihat. Mereka tidak perlu tidur, asalkan mereka diam. Bandara tidak jauh dari rumah mereka, dan helikopter itu sangat menarik; diam-diam mereka berdua berjalan ke sana.

Seorang pilot sedang sibuk di helikopter itu. Perlahan-lahan kedua bersaudara mendekat. Biasanya, jika mereka pergi ke bandara dengan ayah atau ibu ketika ada pesawat yang mendarat, mereka tidak mendapat kesempatan itu. Tapi sekarang tidak ada yang menghentikan mereka, dan dari dekat mereka berdiri terpesona melihat helikopter itu.

Pilot itu memperhatikan mereka tetapi tidak mengusir mereka. Kenapa harus, anak kecil ini tidak bisa melakukan hal yang berbahaya.
Tiba-tiba, dia dapat ide yang bagus.

“Mau ikut terbang?” tanya dia.

Tentu saja mereka mau! Tapi apakah dia benar-benar serius?

“Kemarilah,” kata pilot itu. Dengan malu-malu, mereka membiarkan diri mereka diangkat ke dalam kubah kaca. Helikopter itu memiliki hanya satu kursi penumpang, tetapi kedua anak itu bisa duduk bersama di situ.

Tak lama kemudian mereka terbang di atas Tanah Merah. Jauh di bawah, orang tua mereka beristirahat, tidak sadar bahwa anak-anak mereka sedang membuat penerbangan keliling di helikopter yang mereka dengar dari kejauhan.

Kembali ke tanah, mereka berjalan dengan pipi merah karena kegembiraan kembali ke rumah. Apakah mereka bermimpi? Apakah mereka benar-benar terbang? Sebuah kenangan yang akan mereka simpan selamanya.

NCRV-Sprang-1 (10).Movie Snapshot-L-2
Twin Pioneer dari Kroonduif dan heli dari Ekspedisi Pegunungan Bintang di bandara Tanah Merah, April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld en Geluid)

 

1.
PERSIAPAN

(Kawagit-1, 7/8-20 April)

Banyak orang

Pada kunjungan pertamanya di Kawagit, Klamer menginap di kapal Kerux, bersama dengan juragan Yakob Deda, pembantu rumah Kauwegep, dan anak kapal Martinus Uruktem (catatan 1). Di darat ada kepala kampung Waemonggo, mandur Balekho, dan sekitar 100 orang lain yang berasal dari Aroep lama dan yang tinggal di beberapa bivak di pinggir hutan. Selain itu, ada orang-orang dari ekspedisi: sekitar enam marinir, ahli geologi Arthur Escher, dan di hari-hari terakhir juga Venema, pemimpin teknis ekspedisi itu. Akhirnya, ada empat orang polisi, karena sejak bulan Januari ada pos jaga permanen di sini.

Berarti, bagian kecil di mana pohon-pohon telah ditebang di bukit itu dipakai oleh banyak orang. Kecuali di sekitar bivak dan tempat-tempat turun untuk helikopter, hampir belum ada yang dibersihkan. Mereka semua masing-masing punya kesibukan sendiri, tetapi tentu saja mereka bertemu setiap hari.

BĂ€r-A20-12-L-1
G.F. Venema

LanĂČ

Dari dokter Bestir Henk Bijkerk, Klamer telah dapat suatu kaleng yang berisi bermacam-macam obat-obatan dan perban serta instruksi cara menggunakannya.

Pada hari pertama, dia sudah langsung menghadapi kasus. Ketika dia pagi-pagi pergi melihat bivak di pinggir hutan tempat orang-orang dari Aroep tinggal, dia bertemu dengan LanĂČ, Bapiano punya istri. Dia duduk di lantai, sedangkan tangannya yang bengkak itu digantungkan pada sepotong rotan yang diikatkan ke atap bivak, dan nanah menetes ke tanah. Sangat tidak higienis, terutama di bivak yang ditempati sekitar 20 orang lainnya! Untuk bisa merawati infeksinya, Klamer meminta LanĂČ untuk datang keluar. Awalnya dia tidak berani, tetapi dengan dorongan dari BapianĂČ dan beberapa orang lainnya, akhirnya dia dengan enggan mengikuti. Dengan kapas dan cairan desinfektan, Klamer membersihkan LanĂČ punya tangan dan membalutnya.

Di sore hari, dia kembali pergi lihat keadaannya. Infeksinya kini sudah parah dan seluruh perban basah. Ketika dia membuka perban dan mencoba membersihkan luka dengan kapas, keluar banyak kotoran sampai tidak bisa ditampung lagi dan mengalir ke tanah. LanĂČ tetap kuat, tetapi Bapiano tidak tahan dan pingsan. Kauwegep, pembantu Klamer, mengambil sekop dan menggali tanah untuk mengubur kotoran. Klamer sangat senang bahwa lain kali dia bisa menyerahkan pekerjaan semacam ini kepada istrinya.

Escher

Pada minggu pertama, Klamer merawat hampir 30 orang, kebanyakan karena luka, infeksi, dan malaria. Untuk pasien dengan frambusia, dia hanya membersihkan luka-luka mereka. Dalam hal ini dia mendapat bantuan dari Arthur Escher, seperti yang dia ingat pada tahun 2024:

“Itu adalah kehormatan bagi saya untuk membantu Klamer (istrinya saat itu tidak ada) dengan memberikan suntikan penicillin intramuskular kepada orang Papua yang terkena frambusia. Bantuan medis yang diberikannya ternyata dikenal di daerah sekitar, karena sering kali penduduk dari jauh datang untuk meminta bantuannya.”

Menjelang sore, mereka sering duduk menikmati pemandangan indah, tulis Escher:

“Kami sering duduk bersama Klamer dan marinir De Jong (catatan 2) di tepi tempat turun helikopter dengan pemandangan indah sungai Digoel, dan sesekali sekilas gunung-gunung di kejauhan. Sebagai musik latar, kadang-kadang dengan gubahan Bach, pada gramofon baterai Klamer.

Banyak malam dihabiskan dengan berbicara tentang kemanusiaan, agama, dan alasan-alasannya. Ini sangat menarik karena dia sangat religius dan saya sebaliknya seorang ateis total.”

 

BĂ€r-A20-10-L-2-1
Arthur Escher

2.
KE KATEM

(Ekspedisi, 5 April – 5 Mei)

Dalam Perjalanan

Beberapa hari sebelum Klamer tiba di Kawagit, geolog BĂ€r dan Cortel berangkat menuju ke Katem. Tempat itu berjarak sekitar 75 km dari Kawagit, tetapi karena mereka mengikuti aliran sungai, jarak yang harus mereka tempuh setidaknya dua kali lipat. Mereka harus menyeberangi banyak kali kecil dan kadang-kadang terjebak dalam lumpur rawa hingga lutut mereka. Setiap 3-5 km mereka harus membuat tempat pendaratan darurat untuk helikopter, dan itu memakan banyak waktu. Mereka bergerak maju sangat lambat dan segera menjadi jelas bahwa mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk perjalanan ini daripada 10 hari yang direncanakan.

Dua orang memimpin di depan dan dengan parang membuka jalan melalui hutan lebat. Tepat di belakang mereka berjalan Wattimena, mandur pengukur itu; dengan tali panjang, dia mengukur tiap kali 50 meter dan menandainya dengan tanam kayu atau dengan mengukir huruf W di pohon. Dengan cermat dia mencatat setiap kali mereka berubah arah. Kemudian datanglah geolog BĂ€r dan Cortel, sedangkan bagian belakang rombongan diisi oleh tiga polisi dan para pembawa barang.

Karena mereka hanya membawa perbekalan untuk sekitar lima hari, mereka dengan cemas menunggu helikopter yang harus datang untuk membekali mereka. Ketika sesudah beberapa hari helikopter belum datang, mereka tidak punya pilihan lain selain mengirim sekelompok pembawa barang kembali ke Kawagit untuk mengambil perbekalan baru. Setelah empat hari, mereka kembali, dan dua marinir ikut bersama mereka. (catatan-3)

30523-L
Tiga gelog dari Expedisi ke pegunugan Bintang (1959); dari kiri ke kanan: A.E. Escher, Chr.B. BĂ€r, J.J. Reynders. Foto ini diambil di Sibil. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 30523)
32075-L
Wattimena, mandur pengukur, dari Nederlands-Nieuw-Guinese Petroleum Maatschappij (NNGPM), pada Expedisi ke Pegunungan Bintang, 1959. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32075)
31577-L-1
Kloofkamp, 1959. Awal pembangunan pos Expedisi di pinggir kali Digul. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 31577)
BĂ€r-A10-03-L
Kloofkamp. Orang Wambon tolong membersihkan tempat.
BĂ€r-A10-01-L
Kloofkamp. Orang Wambon tolong membersihkan tempat.
BĂ€r-A10-02-L
Anak Wambon rupanya rasa dingin; di Kloofkamp waktu mereka membuka tempat.
32434-L
Kloofkamp, 1959. Orang Wambon tolong bawa kayu besar untuk pembangunan bivak untuk expedisi ke pegunungan Bintang. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32434)
31475-L
Kloofkamp, 1959. Kopral Bril dan Marinir Binkhuijsen membagi biskuit kering kepada orang yang pikul barang. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum)
32209-L
Kedua helikopter di Kloofkamp, 1959. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32209)

Kloofkamp

Lokasi

Sesudah satu minggu, daerah yang mereka lewati mulai lebih kering: bukit-bukit semakin tinggi dan jumlah kali kecil dan rawa sagu makin kurang. Ketika mereka kira-kira di pertengahan jalan, mereka mulai mencari tempat yang cocok untuk bangun bivak permanen yang direncanakan antara Kawagit dan Katem. Ketika mereka temukan sebuah teras yang sekitar 15 meter di atas sungai yang mengalir deras, mereka berhenti untuk membersihkan tempat itu. Tak lama kemudian terdengar suara kapak pertama. Jadi, pada tanggal 15 April, mulailah pembangunan Kloofkamp (“perkemahan jurang”); nama itu dipilih karena di dekatnya sungai Digoel mengalir melalui suatu lembah yang dalam dan sempit serta curam dindingnya.

Hari berikut, penebangan kayu terus berlanjut. Pekerjaan berjalan lambat karena marinir dan beberapa pembawa barang tertinggal untuk menyelesaikan tempat turun helikopter yang sebelumnya.

Menjelang siang, suara kapak tiba-tiba berhenti: mereka mendengar sesuatu. Tak lama kemudian, BĂ€r dan Cortel juga mendengarnya: sebuah helikopter mendekat, terbang tepat ke arah mereka, dipandu oleh api asap yang dibuat di sudut tempat mereka sedang bekerja. Mereka terkejut, karena tempat turun helikopter belum selesai, dan jika pilot mencoba mendarat, bisa berbahaya! Saat helikopter mendekat, BĂ€r dan Cortel melambaikan tangan mereka dengan liar untuk coba memberi tahu pilot bahwa dia belum bisa mendarat di sini karena tempat itu belum siap. Sementara helikopter melayang di udara, Escher, yang sebagai pemandu ikut terbang dari Kawagit, melepaskan muatan yang diikat pada rak bagasi dan membiarkan karung surat dan kaleng jatuh ke bawah. Sehari kemudian, tempat pendaratan di clearing nomor 9 ini siap dan helikopter bisa mendarat dengan aman. Dari jarak aman, sekelompok orang Papua dari suku Wambon memandang terheran-heran.

IMG 3974-L
Kloofkamp, 1959.
32204-L
Kloofkamp, 1959. Di pinggir kali Digul. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32204)
32034-L
Kloofkamp, 1959. Kebun sayur yang dibuat oleh para marinir di situ. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32034)
32402-L
Kloofkamp, 1959. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32402)
32229-L
Kloofkamp, 1959. Pendopo di rumah bivak marinir. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32229)

Perkemahan

Begitulah pembangunan Kloofkamp dimulai. Hari berikut BĂ€r dan Cortel melanjutkan perjalanan mereka, tetapi dua marinir itu tidak ikut. Bivak ini, yang terutama diperlukan sebagai tempat penyimpanan bahan bakar helikopter, akan tetap diduduki oleh marinir selama ekspedisi berlangsung. Beberapa orang Wambon mendirikan bivak di atas lereng; mereka masih agak takut-takut dan curiga.

Dua minggu kemudian, kopral Bril datang untuk memimpin di sini. Dengan bantuan orang-orang Wambon, mereka membuat tempat ini menjadi sebuah pemukiman yang indah, lengkap dengan kebun sayur besar. Kloofkamp akan menjadi bivak yang paling sepi dan terisolasi dari ekspedisi, tetapi Bril tidak merasa kesepian. Sebulan kemudian, ketika seseorang mampir ke Kloofkamp dan bertanya apakah dia tidak merasa ditinggalkan di sini, dia menjawab dengan heran:

“Oh, kenapa? Kami punya cukup makanan dan setiap hari ada pengunjung yang datang dari jauh untuk melihat kami di sini. Dan setiap hari ada helikopter; mereka sudah mengangkut sekitar 12.000 kilo.”

32227-L
Kloofkamp, 1959. Dua orang yang sedang di tengah jalan ke suatu pesta di hutan, mampir ke Kloofkamp. Yang di sebelah kiri bawa tifa. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32227)
31484-L
Kloofkamp, 1959. Beberapa orang Wanggom sudah tukar pisang dengan pisau. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 31484)
31447-L
Kloofkamp, 1959. Beberapa orang Wanggom pulang ke mereka punya dusun sesudah bekerja di Kloofkamp. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum)
32269-L
Katem, di kali Iwur, 1959. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32269)

KatemBĂ€r dan Cortel mengikuti tepi selatan sungai Digul dan melewati tempat di mana nanti akan dibuka kampung Bayanggop di seberang sana. Mereka melintasi daerah di mana ekspedisi pertambangan pada tahun 1939 mengalami tindakan bermusuhan dari penduduk setempat; untuk menghindari masalah, BĂ€r dan Cortel mengambil jalan memutar di sekitar kebun dan rumah tinggi. Ketika pada tanggal 5 Mei mereka akhirnya tiba di Katem, mereka telah membuat 22 tempat tutun untuk helikopter di sepanjang rute.

Apakah penelitian geologi selama perjalanan itu menghasilkan sesuatu tidak dipublikasikan, tetapi pada tahun 2024, emas ditemukan di dekat sana, serta di hulu beberapa sungai lain di kaki daerah pegunungan bagian timur (seperti Sungai Eilanden dan Sungai Ndeiram).

 

3.

PERMULAAN

(Kawagit-2, 2-18 mei)

Aman?

Klamer kembali ke Tanah Merah pada 20 April untuk menjemput istri dan bayinya. Saat mereka sedang bersiap-siap untuk pindah ke Kawagit, Fanoy datang berkunjung pada suatu malam. Sebagai HPB (Kepala Pemerintahan Setempat) dia ingin berbicara dengan Klamer mengenai situasi di Kawagit, karena ia dapat berita bahwa saat ini tidak aman di sana. Rupanya, orang Wanggom bersikap bermusuhan, dan salah satu marinir terkena panah. Polisi di Kawagit sudah memperketat pengawasan dan berpatroli siang dan malam, dan anggota ekspedisi tidak diizinkan lagi meninggalkan daerah sekitar bivak mereka. Fanoy menyarankan agar Klamer menunda keberangkatannya.

Berita ini tentu tidak menyenangkan, dan Klamer heran apa yang bisa menyebabkan situasi tiba-tiba memburuk.

Keesokan harinya adalah Hari Ratu. Pada hari raya itu, banyak orang dari kampung-kampung sekitar berkumpul di Tanah Merah, karena diadakan berbagai macam perlombaan. Pada sore hari, helikopter melakukan perjalanan ke Kawagit dan seorang pejabat polisi ikut pergi untuk melakukan penyelidikan. Ketika ia kembali, Klamer menunggu dia di bandara untuk mendengar bagaimana situasi di Kawagit. Syukurlah, ternyata tidak ada apa-apa. Seorang jurnalis yang ikut dalam ekspedisi ternyata selalu bertanya kepada orang Wanggom apakah mereka benar-benar makan daging manusia; hal ini telah meningkatkan ketegangan dan membuat takut polisi Papua. Namun, pria itu telah berangkat ke Sibil dan keadaan di Kawagit kembali tenang. Jadi, pada 1 Mei, Klamer dengan keluiarganya berangkat ke Kawagit untuk memulai pekerjaan zending yang ingin mereka lakukan di sana pada tahun-tahun mendatang.

Ferry Brandenburg van den Gronden

Pada minggu sebelumnya, salah satu marinir di Kawagit jatuh sakit dan dievakuasi. Ia digantikan oleh Ferry Brandenburg van den Gronden.

Kalau kapal-kapal Mappi tiba, tugas marinir adalah membongkar muatan dan menyimpannya di gudang. Begitu pula ketika ada helikopter datang. Namun selain itu, tidak banyak yang mereka bisa lakukan. Oleh sebab itu, pada suatu hari, Ferry memutuskan untuk “libur”; dilengkapi dengan karabin dari salah satu polisi dan botol air yang penuh, ia pergi berburu. Polisi memberi saran untuk mematahkan ranting secara berkala agar bisa menemukan jalan kembali. Dia masuk hutan mencari babi hutan atau burung mambruk. Namun, dia tidak beruntung, dan waktu sudah mulai sore dia memutuskan untuk kembali. Tapi sejam kemudian, hutan sudah gelap dan dia tidak bisa menemukan ranting-ranting yang telah dia patahkan, dan dia lupa membawa senter. Dia tersesat, dan akhirnya memanjat pohon, beristirahat di cabang, dan menghabiskan malam di sana. Dia sangat khawatir apakah dia bisa menemukan jalan kembali keesokan harinya. Malam terasa sangat lama.

Ketika pagi cukup terang, dia turun, menentukan arah barat dari posisi matahari, dan mulai berjalan. Setiap beberapa langkah, dia mematahkan ranting. Dia tidak lagi berpikir untuk berburu, dia harus menemukan bivak! Berjam-jam dia berjalan mencari, dan dengan terkejut dia kembali ke pohon tidurnya: dia berjalan dalam lingkaran. Sekitar tengah hari, dia menjadi panik. Dia berhenti sebentar untuk menenangkan diri. Dia melihat bahwa dia berada di kaki suatu bukit, dan memutuskan untuk mendaki, mungkin dari atas dia bisa melihat lebih baik. Ketika dia mencapai puncak, dia sangat lega melihat bivak di bawah. Tak lama kemudian, dia kembali ke perkemahan. Tidak ada yang terkejut, mereka hanya berkomentar bahwa dia rupanya tidak menembak apa pun. (catatan-4)

Frank Scharff En Ferry Brandenburg - Kwanslegging 150817-L
Marinir Frank Scharf dan Ferry Brandenburg van den Gronden pada suatu upacara pada tahun 2017.
IMG-20160414-WA0054-L
Kapal Ichthus dan Kerux di Kawagit, 1959.

Kedatangan

Sabtu sore, orang yang di Kawagit dengar bunyi motor yang mengumumkan kedatangan beberapa kapal Mappi. Butuh waktu sampai mereka melihat dua kapal berbelok di kejauhan. Ketika mereka merapat di dermaga, para marinir berdiri di tepi bukit karena ingin tahu siapakah yang datang. Mereka sudah lama melihat bahwa ini bukan kapal-kapal ekspedisi. Ternyata ini dua kapal zending, yaitu kapal idan Kerux. Setelah dua hari berlayar, Klamer dan istrinya tiba di tempat tujuan mereka.

Kali ini Klamer tidak menginap di kapal Kerux, tetapi bersama keluarganya mulai mendiami rumah yang dia bangun pada kunjungannya sebelumnya. Orang-orang Wanggom datang dari mereka punya bivak-bivak ke pinggir kali dan menyambut mereka dengan antusias – terutama istrinya dengan bayi – dan membantu mereka membawa barang-barang mereka ke atas bukit.

Kebaktian

Keesokan harinya adalah hari Minggu, dan Klamer segera memulai tugasnya: memberitakan Injil. Di Tanah Merah dia sudah sering berkhotbah, tetapi di Kawagit ini adalah pertama kalinya. Orang-orang Papua berkumpul di atas batang-batang pohon di belakang rumahnya.

Bagi para marinir, setiap hiburan sangat diterima, termasuk kebaktian yang mencolok di udara terbuka ini, dan Ferry pun ikut hadir. Lebih dari setengah abad kemudian, dia bercerita tentang pengalaman ini:

“Pada hari Minggu pertama, pendeta Klamer segera mengumpulkan semua orang kampung di sekitar pondoknya, termasuk kepala suku dengan empat istrinya. Dia berkhotbah dalam bahasa Indonesia yang resmi tentang sepuluh perintah Allah. Seorang juru bahasa dengan susah payah menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal. Perhatian cepat berkurang: bayi putih dalam ayunannya dan interior pondok pendeta itu jauh lebih menarik. Kepala suku lebih tertarik pada bentuk tubuh istri pendeta. Jelas bahwa pendeta tidak memahami adat dan bahasa orang-orang di daerah ini.”

Cerita Klamer mungkin tidak banyak berarti bagi sebagian besar orang yang hadir. Dan pasti perhatian orang libih tertuju kepada Coby (diucapkan: Kobi) Klamer dan bayinya, karena ini pertama kalinya dia berada di Kawagit.

Pengalaman Klamer tentu berbeda, karena dia sangat berfokus pada apa yang ingin dia sampaikan. Dia sadar betapa sulitnya memberitakan Injil jika tidak tahu bahasa orang. Semuanya harus diterjemahkan, tetapi apakah penerjemah dapat dipercaya? Dan Dan apakah dia sendiri memahami semuanya?

Selama tiga Minggu, Klamer mengadakan pertemuan di belakang rumahnya, dan orang Wanggom yang tinggal di bivak-bivak selalu datang untuk mendengarkan. Tetapi sebagian besar waktunya dihabiskan untuk hal lain. Rumahnya masih perlu diperlengkapi dengan pintu, dapur kecil, dan kamar mandi. Dia juga mencatat sebanyak mungkin data tentang bahasa Wanggom. Beruntung, dia tidak perlu lagi mengurus pekerjaan medis, karena itu sekarang ditangani oleh istrinya yang  – bagaimanapun juga, dia adalah seorang perawat.

BĂ€r-Foto Los-06-L-1
Pertemuan BĂ€r dengan penduduk daerah kali Tsaw, bulan Mei 1957.

Berndari dan Yaromya

Dari utara, sebuah perahu dayung dengan perlahan dan diam-diam tanpa suara mendekati Kawagit dari utara. Dua laki-laki di dalamnya berhenti mendayung dan membiarkan arus membawa mereka. Dengan heran, mereka melihat dua perahu besar sekali di dermaga: itu kapal-kapal zending.

Desas-desus tentang apa yang terjadi di sini sudah sampai ke rumah tinggi mereka di kali Tsaw, dan Berndari dan Yaromya memutuskan untuk pergi lihat sendiri. Kepala kampung Waemonggo menyambut mereka dengan ramah dan membawa kedua pria itu ke bivaknya.

Baru ketika Waemonggo mengetuk pintu rumah zending dan memberi tahu Klamer bahwa ada tamu yang membawa banyak sagu, Klamer mengetahui kedatangan dua orang dari kali Tsaw itu. Dia ikut Waemonggo ke bivaknya dan di sana dia berkenalan dengan dua pria berbadan tegap itu. Mereka ingin menukar sagu mereka dengan celana pendek dan beberapa mata kail.

Hari berikut, ketika Yakob Deda dengan orang lain sedang potong batang pohon-pohon di sekitar rumah Klamer, Berndari dan Yaromnya berdiri menonton. Tak lama kemudian mereka juga mengambil kapak dan dengan semangat mulai ikut kerja.

Saat helikopter datang terbang di tengah hari, mereka sangat terkejut. Mereka ingin melarikan diri, tetapi ketika mereka melihat yang lain dengan antusias menuju ke tempat pendaratan, mereka berhenti; dari jarak aman, mereka mengamati burung aneh itu dan kerumunan orang di sekitarnya.

Pada hari Minggu itu, Berndari dan Yaromya duduk bersama dengan orang lain di batang pohon di belakang rumah zending untuk mendengarkan cerita Klamer. Dia mulai lagi dari awal, menceritakan tentang penciptaan dan kejatuhan dalam dosa, seperti yang dia lakukan Minggu sebelumnya, lalu melanjutkan dengan Kain dan Abel. Dia menggunakan sebanyak mungkin kata-kata dari bahasa Wanggom, dan sisanya diterjemahkan oleh Waemonggo.

Beberapa hari kemudian, Berndari dan Yaromya berpamit. Pasti mereka punya banyak cerita untuk disampaikan di rumah tinggi mereka yang jauh di dalam hutan! (catatan-5)

IMG-20160414-WA0047-L-2F

Coby Klamer memberi suntik kepada seorang pemuda di Kawagit, 1959.

Perawatan

Pada minggu pertama, Coby Klamer merawat 14 pasien. Dia menemui berbagai macam penyakit: luka bakar, infeksi cascado, borok tropis, malaria, penyakit mata, dan tentu saja frambusia. Dia mencoba membantu semua orang sebaik mungkin.

Namun, setelah satu minggu, dia sendiri membutuhkan bantuan: dia mengalami infeksi susunya. Klamer titip surat dengan helikopter kepada dokter Bijkerk, dan keesokan paginya sudah ada jawaban: dia harus segera ke rumah sakit. Pada hari yang sama, Coby Klamer serta bayinya ikut helikopter kembali ke Tanah Merah. Ini memang cukup merepotkan. Helikopter itu kecil dan hanya memiliki tempat untuk satu penumpang. Dengan sangat terkejut, dia melihat bahwa pilot mengikat keranjang dengan bayinya itu di atas rak bagasi di luar helikopter itu. Dia protes keras, tetapi pilot meyakinkannya bahwa ini benar-benar aman, dan dia tidak perlu khawatir keranjang itu akan terlepas di tengah perjalanan.

Ibu dan bayi tiba dengan selamat di Tanah Merah. Di sana, dia dirawat di rumah sakit; dia harus tinggal di sana lebih dari satu minggu.

Drost

Klamer masih tinggal di Kawagit. Dia belum bisa pergi karena pendeta Drost, guru Meijer, dan pendeta Van Benthem sedang melakukan patroli melintasi daerah Kombai. Mereka sudah membua janji dengan Klamer bahwa dia akan jemput mereka dengan kapal di Firiwage seminggu kemudian. Mereka mengandalkan janji ini dan tidak ada cara untuk mengubahnya sekarang.

Pada hari Jumat, Klamer berlayar dengan kapal Ichthus naik kali Kasuari. Keesokan harinya, teman-temannya tiba di Firiwage. Sore itu juga, mereka bersama-sama kembali ke Kawagit. Dua puluh orang yang pikul barang dibawa dengan rakit dan menginap di bivak-bivak penduduk Kawagit. Para pekerja zending menginap di rumah Klamer.

Hari Minggu itu adalah hari Pentakosta. Pagi harinya, Klamer memimpin kebaktian dalam bahasa Belanda yang juga dihadiri oleh beberapa anggota ekspedisi. Pertemuan untuk orang Wanggom itu dipimpin oleh pendeta Drost. Pada hari Senin, kedua kapal zending berangkat dengan semua tamu menuju Kouh dan Tanah Merah.

Saat Klamer tiba di sana, istrinya baru saja keluar dari rumah sakit, tetapi dia masih harus beristirahat dan tidak dapat izin untuk segera kembali ke Kawagit. Baru pada tanggal 28 Mei mereka bisa berangkat lagi untuk beberapa minggu ke pos zending itu.

BĂ€r-Foto Los-02-L-1
Pertemuan BĂ€r dengan penduduk daerah kali Tsaw, bulan Mei 1957.
BĂ€r-Foto Los-07-L-1
Pertemuan BĂ€r dengan penduduk daerah kali Tsaw, bulan Mei 1957.

Manggelum

Bulan itu, HPB Fanoy naik kali Digul dengan dua kapal Mappi untuk menyelidiki seberapa jauh sungai itu dapat dilayari. Escher ikut dengan dia untuk kumpul mineral dari pasir dan kerikil di sungai. Air sangat tinggi, dan tanpa masalah mereka melewati tempat di mana kali Tsaw dan Digul menyatu alirannya. Mereka berlayar terus sampai arus sungai mulai terlalu kuat sehingga mereka hampir tidak bisa maju lagi. Mereka kembali dalam jarak dekat hingga mencapai clearing-7 dan berlabuh di sana. Selama tiga hari mereka tinggal di situ. Mereka membongkar 6 drum bensin dan 800 kg beras yang mereka bawa untuk ekspedisi. Barang-barang itu langsung diterbangkan dengan helikopter ke Kloofkamp.

Ada orang Wambon yang tinggal di sekitar sana yang datang melihat-lihat: sekitar 30 orang dari marga Ambigit, Manggrum, Baringgambu, dan Telegoambip. Dalam nama Manggrum, terlihat jelas nama kampung yang kemudian dibuka di daerah ini, Manggelum.

Sementara itu, air di sungai sudah sangat turun sehingga saatnya untuk pergi. Fanoy membawa tiga orang dari Manggrum ke Tanah Merah “untuk memperkenalkan mereka lebih lanjut dengan peradaban”. Dalam perjalanan pulang, terlihat jelas bahwa sungai Digoel hanya dapat dilayari oleh kapal Mappi saat banjir besar.

Manggrum-1959 InPixio-tekst-IND InPixio

 

4.

EKSPEDISI

(Mei-Juni)

Perangko

Pada tanggal 10 April, sebuah perangko khusus diterbitkan untuk mengenang ekspedisi ke Pegunungan Bintang. Itulah tanggal mulai yang direncanakan, yaitu saat para ilmuwan akan mulai melaksanakan rencana mereka di Lembah Sibil. Pada perangko itu terdapat gambar seorang Papua dengan kapak batu, yang penuh kekaguman melihat sebuah helikopter. Namun BĂ€r saat itu bahkan belum setengah jalan ke Katem, dan butuh berminggu-minggu sebelum helikopter dari Kawagit bisa mulai mengangkut barang-barang yang sangat ditunggu oleh para ilmuwan ke Sibil.

Pesawat sering tidak bisa mendarat di landasan di Sibil karena kabut dan awan, dan jika hujan turun lebih dari 22 mm – yang sering terjadi di sana – landasan menjadi terlalu lembek. Akibatnya, pengiriman bahan bakar dan makanan juga terhambat. Baru pada akhir Mei dan Juni, jalur helikopter mulai berfungsi dengan tersendat-sendat.

Seminggu sebelum Klamer dan istrinya kembali ke Kawagit, marinir Ferry itu diperintahkan untuk berangkat ke Kloofkamp. Saat itu, area sekitar 50 m2 di sana sudah dibersihkan.

Di Kawagit hanya tinggal beberapa marinir saja untuk menjaga gudang barang dan untuk kadang-kadang menangani kedatangan perahu atau helikopter. Sebagian besar marinir sekarang berada di Sibil. Di sana mereka mengatur komunikasi radio antara berbagai bivak, membuat roti, dan membantu para ilmuwan. Karena sungai Sibil masih menjadi ancaman bagi landasan, marinir Frank Scharff bersama beberapa teman turun ke dalam gua tempat sungai menghilang ke dalam tanah untuk melihat ke mana air itu pergi. Dia adalah ahli bahan peledak, dan mungkin saja jalur sungai bisa dialihkan dengan menggunakan bahan peledak. Sebuah petualangan menarik, tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

Perangko-kecil

 

5.

MULAI SEKALI LAGI

(Kawagit-3: 28/29 mei – 24 juni)

Pakai suara sebagai lonceng

Keluarga Klamer sudah kembali di Kawagit. Kali ini, mereka tinggal hampir empat minggu di situ. Setiap Minggu pagi, mereka mengadakan kebaktian rumah yang dihadiri oleh orang-orang Belanda yang ada, dan kadang-kadang juga oleh beberapa orang Papua Protestan jika kapal ekspedisi sedang berlabu di sana.

Setelah itu, sekitar pukul sembilan, Klamer keluar dan dengan suara nyaring berteriak dalam bahasa Wanggom kepada orang-orang di bivak-bivak untuk memanggil mereka untuk berkumpul untuk beribadah. Panggilannya diteruskan oleh orang-orang di bivak-bivak yang menyampaikan pesan itu satu sama lain. Setelah beberapa menit, orang-orang pertama sudah mulai datang ke rumah zending, tetapi lain masih sibuk bakar sagu, atau masih mau mandi dulu, atau ada hal lain yang perlu dilakukan.

Setelah hampir semua orang sudah datang, Klamer dan kepala kampung Waemonggo berjalan ke bivak-bivak itu untuk melihat apakah masih ada orang yang tertinggal, dan kalau ditemukan mereka diberi dorongan tambahan oleh Waemonggo. Semua ini makan waktu cukup lama sebelum semua orang sudah duduk di batang-batang pohon di belakang rumah zending. Biasanya ada sekitar 60 orang.

Pada suatu kali, Kakindo dan istrinya tidak hadir: pagi-pagi sekali mereka sudah pergi ke kebun untuk mengambil pisang. Saat dia kembali pada sore hari, kepala kampung memberi teguran kepadanya: dia tidak boleh buat lagi! Pada hari Senin dan hari-hari lain dalam minggu, dia bisa pergi ke kebun, tetapi pada hari Minggu dia harus tetap di kampung karena ada ibadah!

Dengan demikian, Minggu menjadi titik istirahat, dan Klamer dengan senang catat bahwa pada hari itu semua pekerjaan biasa berhenti:

“Tentu saja kadang ada yang pergi berburu, ada lain yang memperbaiki bivaknya, dan ada yang pergi pancing. Tapi yang utama pada hari Minggu di sini adalah ibadah. Dan itu menggembirakan, karena dengan demikian, seluruh masyarakat kampung dapat mendengar Firman Tuhan secara teratur. Dan kita punya janji bahwa Firman itu tidak akan kembali dengan sia-sia.”

Ibadah

Tentang jalannya ibadah, Klamer berceritera:

“Kami mulai dengan menyanyikan sebuah mazmur. Kami menyanyikannya dalam bahasa Belanda, dan dengan sangat lambat, dan orang-orang mengikuti kami. Kemudian ada doa pendek dalam bahasa Melayu, meminta Tuhan agar kami dapat mendengar dan memahami Firman-Nya yang akan dibawa kepada kami hari ini. Lalu ada khotbah; itu dalam bahasa Melayu, tapi saya menggunakan sebanyak mungkin kata Wanggom. Dan Waemonggo mengulangi setiap kalimat sepenuhnya dalam bahasa itu.

Setelah khotbah, kami menyanyikan mazmur lagi, dan kemudian ada doa syukur. Kami berterima kasih kepada Tuhan bahwa Dia memperhatikan orang-orang di Kawagit dengan memperkenalkan diri-Nya kepada mereka, dan juga dengan memberi mereka sagu, ikan, daging, dan hal-hal lain, sehingga mereka dapat hidup.”

Klamer mulai dengan cerita tentang penciptaan, dan di Minggu-Minggu berikutnya dia menceritakan bagaimana Tuhan kemudian memperkenalkan diri kepada manusia. Dengan demikian dia memberikan kisah sederhana dari sejarah Alkitab. Bagi Klamer, itu tentu tidak mudah. Bagaimana dia dapat menjelaskan, misalnya, tentang pembangunan Menara Babel di mana Tuhan mengacaukan bahasa; bagaimana dia dapat menjelaskan sejarah itu dengan cara sehingga orang bisa pahami? Menurut Klamer, satu-satunya cara adalah dengan menyesuaikan cerita itu dengan dunia hidup orang Papua: “Dan kemudian salah satu dari para pembangun meminta tali rotan, lalu mereka membawa tiang; kemudian diminta nibung, tapi mereka membawa gaba-gaba. Dan ketika mereka tidak saling memahami dan tidak bisa bekerja sama lagi, mereka memuat semua barang mereka ke dalam perahu mereka dan pergi, yang satu ke arah ini, yang lain ke arah itu.”

Pertemuan di udara terbuka ini jauh dari ideal: sering ada hujan. Jadi pendeta Klamer memutuskan untuk bersama dengan orang-orang Wanggom membangun sebuah gedung gereja sederhana. Maka dekat rumahnya dibangun atap panggung. Dengan bangku-bangku dari batang pohon tipis untuk laki-laki di satu sisi jalan tengah, dan para-para untuk mama-mama dan anak-anak di sisi lain. Gereja darurat itu mampu menampung sekitar 100 orang. Minggu 21 Juni adalah pertama kalinya mereka berkumpul di sini.

Polik

Belum ada bangunan khusus untuk merawat orang sakit, sehingga mereka ditolong di rumah Klamer, atau di bivak-bivak, setelah sarapan. Kadang-kadang ada orang-orang dari rumah-rumah tinggi yang jauh datang ke Kawagit. Kalau mereka berhari-Minggu di Kawagit, mereka juga datang ikut ibadah di belakang rumah Klamer. Luka kotor diobati dengan cepat oleh Coby Klamer sebelum ibadah dimulai.

Pada hari Klamer tiba di Kawagit, kepala kampung ada abses besar pada pangkal paha, yang sangat menyakitkan. Coby memberi suntik dan membalut luka yang bernanah itu. Hari-hari berikut, pendeta Klamer setiap pagi pergi ke bivaknya untuk membasahi perban.

Pada salah satu kunjungan itu dia menemukan seorang laki-laki di bivak sebelah dengan infeksi besar di paha atasnya. Menurut Klamer, itu tidak bisa dibiarkan sampai hari berikut, jadi dia pergi mengambil istrinya. Jaraknya tidak jauh, sekitar 50 meter dari rumah mereka, tetapi bagian terakhir sangat sulit karena harus berjalan di atas batang-batang pohon yang tebal dan tipis yang terletak bertumpuk-tumpuk.

Ketika mereka sampai di bivak, Pingki — begitulah nama orang itu — tidak ada di sana dan orang lain di bivak itu menyatakan bahwa mereka tidak tahu dia di mana. Tetapi mandur Balekho mempercayai mereka dan memberitahu bahwa Pingki ada di bivak sebelah.

Di sana semua tertutup rapat, tetapi melalui celah mereka melihat kepala kampung duduk, dan ujung cawat istrinya terlihat di bawah pintu yang tertutup.

“Apakah kita tidak boleh membantu Pingki, bapak kepala?”

“Dia sangat takut, tuan!”

“Apakah bapak kepala sendiri sudah tidak merasa sakit lagi toh karena obat-obatan?”

“Ya betul,” kata kepala, “saya sudah bilang begitu, tapi dia tetap sangat takut, dan sekarang dia bersembunyi di sini; istri saya menutup pintu dan duduk di depannya.”

Setelah berbicara sedikit, Coby boleh masuk melalui pintu belakang.

Di dalam bivak yang gelap, dia minta Pingki untuk maju, dan dengan gemetar di seluruh tubuh dia melakukannya. Kondisinya tentu tidak baik dan Coby memutuskan untuk merawat dia, tetapi kepala protes:

“Tidak, tidak perlu, nyonya, mereka sudah membalutnya sendiri!”

Ya, karena Klamer sudah bilang bahwa luka itu harus ditutup dengan perban, dan mereka sudah melakukannya: pertama lapisan tanah liat untuk menutupi infeksi, kemudian daun di atasnya, dan di sekelilingnya perban lama kotor itu yang kepala kampung sendiri sudah pakai selama hampir satu minggu untuk tutup dia punya luka sendiri. Itu tentu tidak membantu, dan dengan tegas Coby membersihkan semuanya dan memberikan perban baru. “Besok kembali!” dia bilang, dan dengan pesan itu di pulang ke rumah.

Namun, pagi berikutnya Pingki tidak muncul; baru setelah tiga kali dipanggil, dia muncul dengan enggan. Tetapi hari berikut dia tidak datang. Bahkan berita bahwa dia bisa datang mengambil suatu kapak sebagai pembayaran untuk kerja selama beberapa minggu terakhir itu, tidak membantu: dia kirim kepala kampung mengambil kapak itu untuk dia. Kira-kira tengah hari, Coby pergi ke bivak-bivak, tetapi Pingki tidak ada di mana-mana.

Menjelang sore, pendeta Klamer memeriksa lagi dan menemukan bahwa Pingki itu memang bersembunyi dari mereka. Di tengah bivak tergantung beberapa karung; jika Klamer masuk dari depan, dia cepat-cepat merangkak ke belakang, dan jika Klamer menuju ke pintu belakang, dia sudah cepat-cepat ke depan. Hanya ketika Klamer mengatakan bahwa istrinya hampir tidak bisa datang ke sini karena begitu banyak batang pohon, dia setuju untuk ikut. Saat dia dirawat, dia ternyata cepat takut sakit: ketika Coby memotong perban, dia sudah mulai mengeluh. Dan waktu dia membersihkan luka, salah satu teman harus pegang dia.

Awal pembangunan kampung

Orang-orang Kawagit masih tinggal di dalam bivak-bivak di pinggir hutan. Belum ada yang mulai membangun rumah. Sebenarnya sudah waktunya untuk memulai. Bersama Waemonggo, Klamer sebelumnya sudah menentukan tempat untuk membangun rumah-rumah kampung, tetapi bukit itu masih sangat tertutup oleh hutan.

Oleh karena itu, pada hari Sabtu 6 Juni, Klamer mengumpulkan semua orang. Setelah pidato singkat — yang pasti diterjemahkan oleh Waemonggo — sebuah pohon ditebang sebagai simbol awal pembangunan kampung. Selama minggu-minggu berikutnya, mereka secara rutin menghabiskan waktu untuk terus membuka lokasi itu.

Rencana Klamer mau tinggal di Kawagit sampai 7 Juli; waktunya ibu Drost harus bersalin mulai dekat dan Coby akan membantunya saat dia melahirkan anaknya. Tetapi pada hari Jumat 19 Juni, kapal ekspedisi membawa berita bahwa bayi sudah lahir beberapa hari sebelumnya. Mereka juga mendengar bahwa nyonya Van Benthem sakit. Karena itu, hari berikut Coby langsung ikut kapal itu kembali ke Tanah Merah. Suaminya masih tinggal beberapa hari di Kawagit. Pada hari Minggu itu, gereja pertama di Kawagit diresmikan. Setelah akhir pekan, Klamer sendiri juga berangkat ke Tanah Merah.

BĂ€r-B32-02-L-2
Jembatan ranting menyeberang kali Tsiop, tidak jauh dari gunung Juliana / Mandala; 1959.

6.

TITIK-TITIK PUNCAK

(Ekspedisi, Juli-September)

Pendakian

Gunung Antares

Para ilmuwan akhirnya sibuk bekerja di Lembah Sibil. Semua bahan yang mereka kumpulkan dikirim ke Belanda untuk dipelajari lebih lanjut. Salah satu fokus utama adalah menjelajahi Pegunungan Antares. Para geolog dan biolog sangat ingin melakukan penelitian di sana, dan petugas dinas kadaster juga ikut untuk memetakan daerah itu dengan cermat. Sebelumnya, para marinir sudah bikin bivak-bivak sepanjang jalur menuju puncak tertinggi Pegunungan Bintang itu, dan karena helikopter harus membekali para ilmuwan selama perjalanan, mereka juga membuat sejumlah tempat turun darurat lagi. Saat mendarat di salah satu tempat di lereng gunung Antares, salah satu dari dua helikopter tiba-tiba terjebak dalam angin yang menurun dan jatuh di depan mata Ferry yang menjaga bivak di tempat itu. Untungnya, pilot selamat, tetapi helikopter rusak total.

Akhirnya, pada tanggal 4 Juli, para geolog Escher dan Verstappen serta komandan marinir Nicolas mencapai puncak barat gugnung Antares setinggi 3380 meter. Di sana mereka membuat bivak untuk bermalam dan besok pagi kedua geolog berjalan ke puncak timur yang lebih tinggi lagi, setinggi 3650 meter. Beberapa minggu kemudian, puncak pertama juga dicapai oleh Ferry dan empat ahli biologi.

32244-L
Insenur Reijnders dan marinir Ferry Brandenburg van den Gronden berdiri di samping heli yang telah jatuh di lereng gunung Antares, pada expedisi ke pegunungan Bintang, 1959. (foto A.L.M. Bril, Mariniers Museum 32244)
BĂ€r-A20-08-L
Pada tanggal 4 Juli 1959, tiga orang naik puncak gunung Antares di pegunungan Bintang. Dari kiri ke kanan: Herman Verstappen, Arthur Escher, C.B. Nicolas. Mereka tanam bendera Belanda di puncak.
BĂ€r-A20-07-L
Pada tanggal 4 Juli 1959, tiga orang naik puncak gunung Antares di pegunungan Bintang. Letnan Nicolas dari marinir tanam tabung dengan piagam.

Gunung Juliana (Mandala)

Pendakian puncak Juliana awalnya tidak ada dalam rencana ekspedisi. Puncak gunung kedua tertinggi di Papua ini terletak sekitar 40 km ke barat dan tidak termasuk dalam Pegunungan Bintang. Namun, tantangan ini terlalu menggoda, sehingga mereka memutuskan untuk mencoba mendaki puncak tersebut. Hal ini sedikit mengubah fokus ilmiah ekspedisi menjadi usaha yang lebih bersifat olahraga; beberapa ilmuwan tidak terlalu senang dengan perubahan ini.

Para marinir sekali lagi pergi untuk membuat bivak dan sejumlah clearing untuk helikopter. Peralatan khusus yang perlu untuk mendaki gunung yang begitu tinggi itu dikirim dari Belanda. Dengan banyak usaha, para geolog Escher dan Verstappen, dokter marinir Tissing, sersan De Wijn, dan jurnalis Ter Laag mencapai puncak setinggi 4640 meter pada tanggal 9 September dalam cuaca berkabut dan badai salju. Pada waktu itu gunung itu masih tertutup lapisan es tebal.

NL-HaNA 2.24.05.02 0 144-0155 1-groot-L
Danau kecil di kaki gunung Juliana / Mandala. (foto Ter Laag).
BĂ€r-B Los-03-L
Mendaki gunung Juliana / Mandala. Dari kiri ke kanan: De Wijn,Verstappen, Tissing, Escher. (foto Ter Laag).
NL-HaNA 2.24.05.02 0 144-0190 1-groot-L
Pendakian gunung Juliana / Mandala, 1959. Pegunungan batu. (foto Ter Laag)
Screenshot - 22 Apr 5 03 P M -L
Pendakian gunung Juliana / Mandala, 1959. (Foto Ter Laag)
BĂ€r-B Los-01-L-2
Pendakian gunung Juliana / Mandala, expedisi pegunungan Bintang 1959.
BĂ€r-A58-02-L
Menuju ke puncak gunung Juliana / Mandala, 9 September 1959. (foto Ter Laag).
Screenshot - 22 Apr 5 04 P M -L
Pendakian gunung Juliana (Mandala, 1959). Sersan De Wijn tanam bendera. Tingginya 4640 meter. Dari kiri ke kanan: Jan de Wijn, Arthur Escher, Herman Verstappen, Max Tissing. (Foto Ter Laag)
Screenshot - 22 Apr 5 01 P M -L
Di puncak gunung Juliana (Mandala), 1959. Dari kiri ke kanan: Piet ter Laag, Arthur Escher, Herman Verstappen, Max Tissing, Jan de Wijn. (foto Ter Laag)

Jalan potong ke Hollandia

Satu lagi usaha olahraga yang penting yang di luar Pegunungan Bintang adalah perjalanan dari Lembah Sibil ke Hollandia. Usulan ini memang pernah dibahas sebelum expedisi mulai, tetapi tidak direncanakan: tampaknya seperti mimpi yang tidak mungkin terwujud. Namun, geolog Chris BĂ€r percaya bahwa itu bisa dibuat dan Brongersma berhasil mendapatkan persetujuan dari pimpinan ekspedisi. Bestir setuju bahwa pegawai Bestir Gerrit Dasselaar akan ikut serta. Dasselaar berangkat dari Sibil pada 3 Agustus, sementara BĂ€r lima hari kemudian. Di Lembah Ok Bi di sisi utara pemisah air pusat, mereka bertemu. Bersama dengan mandur pengukur Wattimena, tiga agen polisi, seorang koki, dan 33 orang yang pikul barang (kebanyakan berasal dari Sausapor), mereka memulai perjalanan sekitar 250 km yang sebagian besar melewati wilayah yang tidak dikenal.

Rencananya mereka satu kali akan mendapatkan pembekalan dari udara, tetapi ternyata mereka masih perlu dibekali satu kali lagi. Awalnya mereka mengikuti sebuah sungai yang mereka kira itu hulu kali Sobger, anak sungai Idenburg (kini sungai Taritatu). Namun, mereka salah, karena kali yang mereka ikut itu bukan hulu kali Sobger. Akibatnya, mereka kesasar dan keluar jalur yang ditentukan. Itu sebabnya perlu dibuat dropping sebeloum mereka ada di tempat yang ditetapkan untuk itu. Kemudian mereka harus menyeberang ke arah timur laut menuju daerah aliran sungai Sobger, di mana diadakan drop kedua.

Doorsteek (50).Movie Snapshot-L
BĂ€r mengucapkan selamat tinggal pada Venema saat dia berangkat dari Sibil untuk perjalanan panjang ke Hollandia, 1959.

BĂ€r-A19-01-L

Doorsteek (69).Movie Snapshot-L-2
Gerrit Dasselaar di tengah perjalanan dari Sibil ke Hollandia, 1959.
BĂ€r-B42-01-L
Orang Sausapor bikin beberapa perahu di kali Sobger.
DiaDass-42-LF
Sibil, expedisi ke Pegunungan Sibil, 1959. Rombongan yang jalan dari Sibil ke Hollandia berangkat di kali Sobger dengan perahu-perahu buatan sendiri. BĂĄr di lihat dari belakang.

Pada 23 September, mereka tiba di Waris, sebuah pos Bestir yang sekitar 70 km jalan kaki dari Hollandia, dekat perbatasan dengan bagian Australia dari Papua. Mereka disambut hangat oleh pejabat Bestir setempat, bapak Aarts dan istrinya. Sayangnya, BĂ€r dan dua orang lain jatuh sakit di tengah perjalanan; sebuah pesawat dari zending membawa mereka ke Sentani. Dasselaar bersama yang lainnya melanjutkan perjalanan mereka melalui Arso menuju Holtekam di Teluk Humboldt (kini teluk Yos Sudarso), di mana mereka tiba pada tanggal 30 September.

Perjalanan ini tidak sepenuhnya tanpa nilai ilmiah. Selama perjalanan, BĂ€r mengumpulkan data geologi tentang pegunungan yang mereka lewati, sementara Dasselaar mencatat berbagai hal tentang orang Papua yang mereka temu di tengah jalan.

Doorsteek (79).Movie Snapshot-L-2
Pesawat Maf datang jemput BĂ€r di Waris pada akhir perjalanan dari Sibil ke Hollandia.
NL-HaNA 2.24.05.02 0 144-0181 1-groot-L
Pegawai Bestir Dasselaar berbicara dengan agen polisi Rumpaidus pada akhir perjalanan dari Sibil ke Hollandia (Jayapura), 1959. (arsip RONG)
NL-HaNA 2.24.05.02 0 144-0204 1-groot-L
Perjalanan dari Sibil ke Hollandia (Jayapura). Waktu sudah tiba di Hollandia, Dasselaar dijemput oleh gubernur Platteel. (arsip RONG)

 

7.

KONSOLIDASI

(Kawagit-4, 6 Juli – 12 Agustus)

Fanoy

Dalam laporan triwulan tertanggal 30 Juni, HPB Fanoy menulis:

“Keberatan dari pihak misi terhadap pos zending di Kawagit tampaknya – setidaknya untuk sementara – telah diatasi. Terlihat bahwa Kawagit terutama terorientasi pada Barat dan Barat Laut (daerah Kasuaris).”

Pernyataan ini jelas didasarkan pada survei penduduk yang dilakukan Klamer pada bulan April. Sekarang semua kekhawatiran dari pihak Bestir telah hilang dan Klamer bisa dengan tenang melanjutkan pembangunan pos zending di Kawagit.

Sebelum mereka berangkat lagi ke sana, Fanoy berjanji akan kirim seorang pejabat ke Kawagit untuk membantu masyarakat dalam mendirikan rumah-rumah. Empat polisi yang masih terus bertugas di Kawagit juga akan terlibat dalam hal ini.

Ketika mereka berangkat dengan Kerux pada tanggal 6 Juli, sungai Digul itu banjir besar. Di Kouh air sudah mencapai setengah meter di bawah rumah-rumah penduduk. Kampung Arup lama juga terendam seluruhnya. Namun, di Kawagit tidak ada masalah, bukit-bukit itu masih 10-20 meter di atas air.

Kelanjutan

Klamer membawa seorang pembantu rumah baru dari Kouh; namanya Yelanggenop Weremba, saudara dari kepala kampung di Kouh[2]; dia sudah beberapa bulan bertugas sebagai anak kapal di kapal Ichthus. Tetang anak piara pertama, Kauwegep, kami tidak dengar apa-apa lagi.

Pekerjaan di Kawagit tidak jauh berbeda dari kegiatan-kegiatan dalam periode sebelumnya. Pertemuan mingguan pada hari Minggu dilanjutkan, dan pekerjaan mempersiapkan tempat untuk rumah prefab mulai siap. Pembersihan bukit untuk kampung juga berlanjut, meskipun sedikit lambat karena banyak orang terus tinggal di dusun.

Coby mulai mengadakan kursus jahit sederhana untuk beberapa ibu kampung.

Yelanggenop-3a InPixio-L
Yelanggenop Weremba, 50 tahun kemudian (2008)

 

8.

AKHIR DAN AWAL

(ekspedisi dan zending)

 

Akhir yang tidak dapat dielakkan

Bagi para marinir, kini tidak ada lagi pekerjaan di Kawagit. Mereka berangkat pada pertengahan Juli menuju Tanah Merah dan membawa serta alat radio; dengan demikian, pos ekspedisi di Kawagit ditutup. Helikopter masih datang untuk mengambil beberapa barang terakhir, dan setelah itu semuanya selesai.

Pada bulan Agustus, pos di Kloofkamp juga dibongkar. Dua marinir terakhir yang masih di sana, Binkhuysen dan Boon, disuruh untuk turun ke Tanah Merah. Bersama dengan kepala tim dari kadaster, F.L.T. van der Weiden, mereka berangkat dalam suatu perahu buatan sendiri dari Kloofkamp menuju ke Kawagit; dua tempat itu berjarak sekitar 40 km, tapi melalui sungai Digul sekurangnya dua kali jarak itu. Di tengah perjalanan mereka mengalami saat-saat yang mendebarkan: di arus yang deras, perahu mereka terbalik dua kali dan mereka kehilangan sebagian barang.

Pada 19 September, pilot Menge dan Bekker dengan helikopter berangkat dari Sibil ke Tanah Merah. Di antara Katem dan Kawagit, kabuty masih di dalam pohon-pohon, sehingga di Katem mereka harus tungguh cuaca membaik. Sesudah itu, mereka terbang ke Kawagit; di sama mereka berhenti untuk minum kopi dan berpamitan. Satu minggu kemudian, di Tanah Merah diadakan perpisahan resmi, dan kemudian kedua pemimpin ekspedisi, Brongersma dan Venema, berangkat juga. Dengan demikian, ekspedisi berakhir.

Di Sibil, kembali tenang dan sepi. Tetapi sejak satu tahun ada dua misionaris dari Unevangelized Fields Mission (UFM), dan Misi Katolik juga akan menetap di sana.

Pada pertengahan Oktober, sekelompok dari kadaster dengan polisi dan pembawa barang tiba di Kawagit menggunakan beberapa perahu dayung; ini adalah akhir dari kegiatan terkait ekspedisi. Klamer mengambil alih perahu-perahu mereka dan membawa rombongon ini ke Tanah Merah dengan kapal Kerux. Seminggu sebelumnya, pos polisi di Kawagit juga telah ditutup.

Wamafma-L
Alex Wamafma, lahir 1939, bertugas di Boven Digoel 1958. Di Sibil 1960. Kemudian dia juga berperan dalam pembukaan kampung-kampung di sepanjang kali Mappi.

Awal yang menjanjikan

Seperti yang dijanjikan oleh Fanoy, pada bulan Agustus pejabat Bestir Alex Wamafma datang ke Kawagit. Selama beberapa minggu dia tinggal di sana untuk membantu masyarakat dalam pembangunan kampung. Saat itu, Klamer dan keluarganya baru saja pergi ke Tanah Merah. Di sana, kapal Cycloop membawa rumah prefab untuk Klamer; kapal Ichthus dan kapal Kerux segera membawa semua peti itu ke Kawagit. Kedua kapal zending itu harus bolak-balik dua kali untuk mengangkutnya. Dengan kapal Cycloop juga iba suatu lonceng kapal yang dipesan Klamer; sekarang dia tidak perlu lagi menggunakan suaranya untuk memanggil orang ke gereja pada hari Minggu.

Kami tidak lagi dengar lagi tentang rencana Bestir untuk mendirikan pos Bestir di Kawagit. Mungkin kekurangan pejabat Bestir menjadi masalah, dan juga ketegangan politik yang meningkat di sekitar Nieuw-Guinea. Semakin tidak mungkin bahwa pengembangan seperti itu masih akan jadi.

Pada tahun 1960, lokasi Kloofkamp benar-benar tidak ada penghuninya; orang Wambon ternyata sudah bubar dan kembali ke dusun-dusun. Namun, setahun kemudian muncul kampung baru dengan nama yang sama. Kegiatan Bestir dan ekspedisi di sepanjang aliran atas sungai Digoel jelas berkontribusi pada perkembangan cepat daerah ini.

IMG 8558-L
Pintu masuk Kampung Klolofkam (Kloofkamp), November 2022.
IMG 016952-L
Gedung Gereja Reformasi Betel di Kolopkam (Kloofkamp), Nopember 2022.

Kawagit sendiri terus berkembang; seringkali ada orang dari atas yang datang, dan gereja darurat itu sudah mulai terlalu kecil. Tidak lama lagi baru guru Rietkerk akan datang.

Di Tanah Merah, adik beradik Henk dan Jaap sering mengenang perjalanan helikopter mereka. Butuh sekitar sepuluh tahun sebelum ada helikopter lagi datang di daerah ini, dan pada saat itu mereka sudah lama kembali ke Belanda bersama orang tua mereka.

Klamer dan keluarganya kini sepenuhnya bergantung pada diri mereka sendiri. Untuk komunikasi dengan dunia luar, tinggal saja kapal Kerux. Dengan berakhirnya ekspedisi dan fasilitas-fasilitasnya, serta kegagalan rancangan Bestir, mereka terisolasi di daerah yang sebenarnya tanpa pengawasan: letaknya Kawagit jauh dari pusat Bestir di Tanah Merah. Sementara itu, mereka masih tanpa radio ssb, namun memiliki saluran komunikasi ke Surga yang terbuka siang malam. Mereka diawasi dan dilindungi oleh Allah yang mengirim mereka ke sini untuk siarkan berita keselamatan-Nya kepada orang Wanggom!

IMG 016950-L
Pemandangan Sungai Digoel dari desa Kloofkamp, Nopember 2022.

–//–

Catatan

  1. Pada tahun 1966, Martinus Uruktem jadi penginjil pertama di Firiwage. Pada suatu kali, sekoci yang dia pakai tabrak tempat pasir kerikil, sehingga Martinus punya kepala kena keras di pinggir sekoci. Mungkin waktu itu otaknya rusak, karena sejak saat itu dia mulai bertindak aneh. Dia diobati di Tanah Merah dan juga di Merauke tapi tidak pernah sembuh lagi.
  2. Itu pasti marinir lain; tidak ada marinir dengan nama itu di ekspedisi; ada memang satu orang dari tim pemetaan, tapi waktu itu dia tidak ada di Kawagit.
  3. Para polisi F. Swabra, A. Jani, dan B. Kamagaimoe, serta tukang masak Leo Soemambai. Swabra nanti juga ikut dalam perjalanan rombongan BĂ€r dan Dasselaar dari Sibil ke Hollandia / Jayapura.
  4. Ringkasan dari cerita Ferry sendiri tentang petualangannya dalam bukunya, Expeditie Sterrengebergte, halaman 56-60.
  5. Dari Klamer, dalam majalah Ons Zendingswerk, Juli 1959.

Sumber

Arsip Nasional di Den Haag:

Archief ministerie van Defensie: Strijdkrachten in Nederlands Nieuw-Guinea (1950-1962), toegang 2-13-115, Inventarisnummer 1681:

  • Nicolas, C.B., salinan suratnya kepada “Uwe Excellentie” (Yang Mulia), tertanggal Tanah Merah 23 April 1959
  • Nicolas, C.B., surat kepada Komandan Marinir di Nederlands Nieuw-Guinea. Tertanggal Sibil 20 Agustus 1959.
  • Nicolas, C.B., laporan untuk majalah Angkatan Laut “Alle Hens”, belevenissen van het detachement mariniers “Expeditie Sterrengebergte”.
  • Qua Patet Orbis – Dokumen mengenai berlangsungnya Expedisi pegunungan Bintang.
  • Venema, G.F., surat kepada Nicolas, tertanggal Kawakit 18 April 1959
  • Venema, G.F., telegram ke CZMNNG, dikirim dari Katem pada tanggal 2 Agustus 1959.
  • (penulis tidak dikenal) Berita rahasia dari layanan penghubung Angkatan Laut Kerajaan, ditujukan kepada Angkatan Laut Den Haag, mengenai kecelakaan helikopter.
  • (penulis tidak dikenal) layanan penghubung Angkatan Laut Kerajaan, berita kepada pimpinan expedisi mengenai pendakian puncak Juliana (Mandala)
  • (penulis tidak dikenal) Aero Contractors’ aandeel in de Expeditie Sterrengebergte 1959 (artikel)

Inv. 1682

  • Nicolas, C.B., Laporan-laporan bulanan tt detasemen marinir di expedisi, pada bulan April, Mei, Juli dan Agustus 1959

Pusat Arsip dan Dokumentasi Gereja-Gereja Reformed di Belanda (ADC) di Kampen:

  • Benthem, J. van, laporan-laporan. Dalam: Zendingsarchief, Archiefnummer 78, kotak 14.
  • Drost, M.K., laporan-laporan. Dalam: Archief Zending Enschede, archiefnummer 78, kotak 56.
  • Klamer, J., laporan-laporan. Dalam: Archief zendende Kerk Spakenburg-Zuid, archiefnummer 154, kotak 10.
  • Meijer, J.W., laporan-laporan. Archief Vereniging Mesoz, archiefnummer 253, korak 5

Publikasi:

  • BĂ€r, C.B. dan H.J. Cortel dan A.E. Escher, Narrative of the Star Mountains Expedition. Dalam: Nova Guinea, N.S.: Geology 4.
  • Brandenburg van den Gronden, Ferry, Expeditie Sterrengebergte – herinneringen van een marinier aan ‘de groene hel’ van Nederlands Nieuw-Guinea. Zoetermeer 2015.
  • Brongersma, dr. L.D. dan G.F. Venema, Het witte hart van Nieuw-Guinea. Met de Nederlandse expeditie naar het Sterrengebergte. Amsterdam 1960 (cetakan ke-2)
  • Brongersma, L.D., Expeditie naar het Sterrengebergte. Dalam: Nederlands Nieuw-Guinea – Tweemaandelijks orgaan van de Stichting “Het nationaal Nieuw-Guinee Comite”, tahun terbita ke-6, juli 1958.
  • Cortel, H.J., Gidsen stellen Papoea’s gerust. Dalam: De Telegraaf, 29 mei 1959.
  • Dasselaar, Gerrit, Expeditie Sterrengebergte 1959. Afscheid van een tijdperk. Soest 2022
  • Dasselaar, Gerrit, Expeditie Sterrengebergte 1959. De doorsteek van de Sibilvallei naar Hollandia. Dalam: Pim Schoorl (red.), Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea 1945-1962, Leiden 1996, hal. 309-341.
  • Graaf, Gerrit Roelof de, De wereld wordt omgekeerd. (Disertasi) 2012.
  • Klamer, C., laporan dalam “Mesoz-stemmen” (majalah zending), 10 Oktober 1959.
  • Klamer, J., artikel dalam “Gereformeerde Kerkbode” (majalah gereja Bunschoten-Spakenburg), 4 Juli 1959
  • Klamer, J., artikel dalam “Ons Zendingswerk” (majalah zending), tahun terbitan ke-4, Juli 1959.
  • Klamer, J., In het land van de Papoea’s. Serangkaian artikel di dalam Gereformeerd Gezinsblad, episode 16 dan 17 tertanggal 3 dan 9 Maret 1960.
  • Venema, G.F., Enkele technische aspecten van de wetenschappelijke expeditie 1959 naar het Sterrengebergte, I. Dalam majalah Nederlands Nieuw-Guinea, tahun 1960, Juli.
  • Venema, G.F., Enkele technische aspecten van de wetenschappelijke expeditie 1959 naar het Sterrengebergte, II. Dalam majalah Nederlands Nieuw-Guinea, tahun 1960, September.
  • Venema, G.F., In glazen koepel tussen jungle en wolken. Dalam: Eindhovensch dagblad, 21 Mei 1959.
  • Verstappen, Herman Th., Zwerftocht door een wereld in beweging. Assen 2006.
  • Wamafma, Alex:  Bertemu Orang Pohon. Dalam: Leontine E. Visser dan Jos Marey Amapon, Bakti Pamong Praja Papua di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta, 2008
  • Yelanggelo Weremba, dalam film: Een begin dat geen einde kent – 50 jaar gereformeerde zending op Papua 1958-2008, Gerrit Bril, disiarkan oleh ZvK (Zendtijd voor Kerken), 2008.

Sumber yang tidak dipublikasikan:

  • Fanoy, A., laporan-laporan bulanan dan triwulan
  • Klamer, J., Mijn levensverhaal, 1 (edisi awal untuk penggunaan internal), Zwolle 2009.

Nara Sumber:

  • BĂ€r, Fred
  • Brandenburg van den Gronden, Ferry
  • Cortel, Harry
  • Dasselaar, Gerrit
  • Drost, Henk
  • Escher, Arthur
  • Pos, Rufus
  • Scharff, Frank

–//–