42 – Ekspedisi dan Misionaris

IMG 3973-b-L-3
Bivak Ekspedisi di Kawagit; di sebelah kiri belakang: rumah sementara pdt Klamer. April 1959.

Intro

Apa jadi waktu Zending dan Ekspedisi bertemu di Boven Digul? Keduanya ke Kawagit, tetapi Zending mau menetap di sana secara permanen, mencari hubungan dengan para penduduk daerah, dan datang dengan beberapa orang saja. Ekspedisi rencana tinggal sebentar saja di sana karena sedang dalam perjalanan ke lembah Sibil dan Pegunungan Bintang. Ekspedisi hanya mencari kontak dengan orang Papua jika mereka membutuhkan pekerja, dan datang dengan polisi dan marinir, kapal-kapal besar dan kecil, dengan pesawat dan helikopter.

Apakah Klamer itu tenggelam dalam gelombang Ekspedisi? Atau mungkin dia berselancar bersama gelombang itu dengan memanfaatkan sarana yang dimiliki oleh perusahaan ini? Atau malah Ekspedisi yang mendapat manfaat dari persiapan yang dilakukan oleh Zending?

 

1.

BISNIS SEPERTI BIASA

Pos Bestir yang baru

HPB Fanoy yang baru diinstal harus menentukan posisinya terkait rencana Peters, HPB yang lama itu, untuk membuka pos Bestir baru di hulu sungai Digul. Peters berpendapat bahwa Kawagit adalah tempat yang tepat, tetapi Fanoy meragukan pandangannya itu. Di Kawagit, seorang perwakilan Bestir mungkin akan terlalu sibuk dengan masalah di sebelah timur kali Digul. Oleh karena itu Firiwage mungkin lebih cocok. Tapi ada yang bilang bahwa kampung itu kadang-kadang sulit dicapai. Belum jelas kapan seseorang pejabat akan ditempatkan di wilayah itu, tetapi kemungkinan besar akan terjadi dalam tahun ini.

Fanoy sebenarnya tidak begitu senang dengan keputusan Zending untuk membuka pos di Kawagit karena bertentangan dengan janji Drost kepada pastor Thieman bahwa mereka tidak akan melakukan kegiatan di wilayah Misi yang di sisi timur kali Digul. Meskipun secara resmi tidak ada yang tercatat tentang persetujuan itu, ini bisa menimbulkan masalah. Pada bulan Desember, pastor di Tanah Merah telah mengungkapkan keberatannya. Sebagai pemimpin Bestir, tugasnya adalah mencegah konflik ini memburuk.

Selama dia belum lihat wilayah itu sendiri, sulit baginya untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dia ingin dalam waktu dekat melakukan patroli bersama Zending untuk lebih memahami situasinya di sana. Namun, hal itu tidak dapat dilakukan pada bulan Januari karena Nautilus (kapal Bestir) sedang keluar, dan dari para misionaris hanya pendeta Klamer berada di Tanah Merah: Drost sedang berlibur sedangkan guru Meijer dan pendeta Van Benthem ada di Kouh.

TM-panorama-Sprang-L-2
Tanah Merah, April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)

Tanah Merah

Suasana di Tanah Merah masih tenang. Di sana-sini, kelompok tahanan sibuk merawat lapangan rumput dan jalur kerikil yang sempit. Tetapi penampilan bisa menipu: di kompleks polisi, sebuah gudang besar sedang dipersiapkan di mana barang Ekspedisi nanti akan disortir untuk diangkut ke Kawagit dan Sibil.

Ada hal-hal lain yang menandakan bahwa Ekspedisi akan segera datang, seperti kunjungan Komisaris Oosterman, dan kunjungan Pegawai Administratif Herberts dengan sebelas agen polisi yang sedang transit melalui Mindiptana menuju lembah Sibil. Dan pada tanggal 2 Pebruari ada datang dua kapal Mappi dengan nama yang sederhana, Mappi-26 dan Mappi-27; dua kapal itu dipinjamkan oleh NNGPM untuk membawa barang Ekspedisi dari Tanah Merah ke Kawagit. Minggu demi minggu, kedua kapal ini beroperasi bolak-balik, memakan waktu dua hari untuk naik ke Kawagit dan satu hari untuk pulang. Awalnya, kapal-kapal itu sering mengalami kerusakan karena kandas di gosong-gosing pasir kerikil dan karena ketabrakan dengan kayu-kayu apung yang terbawa saat kali Digul banjir.

Dengan demikian, Ekspedisi perlahan semakin dekat. Pada pertengahan bulan Pebruari, sebuah kapal membongkar 200 drum bahan bakar pesawat di Bade yang ditujukan untuk Tanah Merah, dan dalam dua minggu terakhir bulan itu, Twin Pioneer melakukan beberapa penerbangan dari Tanah Merak ke Sibil.

 

Mappi 2-L
Dua kapal-Mappi (Mappi-26 dan Mappi-27) di Kawagit, Maret/April 1959. (© Collectie Mariniersmuseum Rotterdam, inv.nr. MR31435)

Hantu-hantu diusir

Pada balan Januari, Komisaris Oosterman bersama sejumlah polisi berangkat ke Kawagit untuk tebang pohon-pohon di tempat itu dan membangun bivak dan gudang untuk Ekspedisi. Orang-orang dari Arup membantu. Pekerjaan itu berat, karena pohon-pohon di bukit itu cukup besar. Semua bahan untuk bangunan diambil dari hutan dan tidak ada paku yang dipakai.

Lima bulan sebelumnya, setelah pencarian panjang di sepanjang Digul, Drost akhirnya menemukan bukit tinggi ini. Tetapi ketika ia bilang bahwa orang-orang Arup harus pindah ke sini, mereka mengajukan keberatan: itu tidak mungkin karena ini adalah tempat pemali: ada roh-roh yang tinggal di dalam pohon-pohon sehingga tidak aman di situ! Karena Drost bersikeras, orang Arup mencari tanda dengan tanam suatu tunas sagu di bagian bawah bukit itu. Dan itu berhasil! Tetapi masalah roh-roh itu sebenarnya belum diatasi! (bnd posting 39)

Pada tahun 2022, orang tua di Kawagit ceritakan bahwa Drost, ketika ia datang kembali ke Kawagit, membawa rombongan besar polisi dan bahwa polisi itu kemudian mengusir roh-roh dengan menembak mereka dari pohon-pohon dengan senjata mereka. Drost tidak menyebutkan hal itu dalam laporannya, dan itu memang dapat dimengerti karena Drost sendiri tidak pernah ke Kawagit dengan rombongan polisi. Polisi datang di sini bersama Komisaris Oosterman untuk membangun gudang untuk Ekspedisi dan tempat turun untuk helikopter di atas bukit yang terlarang itu. Nampaknya merekalah, ketika mendengar keberatan orang Arup, menembaki senjata mereka ke pohon-pohon untuk menenangkan penduduk.

Patroli

Kapal baru

Pada akhir bulan Januari, Drost kembali dari liburannya dengan semangat yang baru. Beberapa hari kemudian, Meijer dan Van Benthem juga pulang dari Kouh sehingga seluruh tim Zending kembali berada di Tanah Merah.

Waktu kapal-kapal Mappi dari NNGPM tiba di Tanah Merah, mereka juga membawa kapal baru untuk Zending. Klamer sudah memikirkan nama untuk kapal ini yang akan dipakai untuk kerja zending di Kawagit: Maranatha (artinya: Tuhan kita datang)! Tetapi nama itu ternyata terlalu panjang. Kemudian Van Benthem mengajukan nama lain: Kerux. Itu acuan kepada 1 Timotius 2:7, di mana Paulus berbicara tentang Yesus Kristus yang memberikan dirinya sebagai tebusan bagi semua orang: “Untuk kesaksian itulah aku telah ditetapkan sebagai pemberita (bhs Yunani: kerux)”. Kata itu juga dipakai dalam 2 Petrus 2:5, ketika Petrus berbicara tentang Nuh, “pemberita (kerux) kebenaran”. Klamer langsung antusias dan merasa nama itu jauh lebih bagus daripada nama yang ia pikirkan sendiri, dan begitulah kapal itu dapat nama Kerux.

Klamer tidak sabar untuk melakukan perjalanan percobaan dengan kapalnya. Kebetulan Drost dan Meijer harus pergi ke Kouh, dan pada tanggal 4 Pebruari, Klamer mengantar mereka ke sana. Ada juga empat orang polisi yang pada hari itu ditempatkan di Kouh, yang tinggal di sana selama dua minggu. Hari berikut Klamer kembali ke Tanah Merah.

IMG-20160414-WA0088-L
Kapal Kerux

Para peserta

Empat hari kemudian, kapal Kerux sekali lagi berlayar naik kali Digul, dikemudikan oleh Jakob Deda. Maksud perjalanan itu orientasi singkat ke Firiwage dan Kawagit bagi Van Benthem dan Klamer. Fanoy juga ikut; para misionaris telah mengundang dia untuk bergabung karena mereka tahu bahwa dia ingin melihat daerah tersebut dengan mata kepalanya sendiri sebelum dia akan mengambil keputusan tentang lokasi untuk pos Bestir yang baru. Zending memang juga harap bahwa keputusannya itu akan diambil dalam waktu yang dekat. Fanoy dengan senang hati menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Zending. Penumpang lain itu Kauwegep yang adalah anak piara Klamer, dan anak kapal Yelangenop. Di Kouh, Drost naik kapal, bersama dua polisi yang ditempatkan di Kouh, karena tanpa pengawalan polisi, seorang pegawai pemerintah tidak boleh memasuki wilayah yang masih di luar kuasa Bestir. Nerop, seorang dari masyarakat Kouh ikut sebagai pemandu.

Kouh 031-L.JPG
Kouh, Nerop. Die selalu ada handuk kotor pada lehernya.

Tujuan

Sebelumnya, Fanoy telah berdiskusi panjang lebar dengan Drost dan Klamer mengenai rencana membuka pos Zending di Kawagit. Fanoy bertanya-tanya apakah Firiwage tidak menjadi pilihan yang lebih baik. Drost pada dasarnya setuju karena letaknya kampung itu jauh lebih strategis dari Kawagit untuk bekerja di daerah di sebelah utara dan selatan kali Arup. Dengan perahu yang pakai motor tempel gampang untuk naik kali Dawi di mana ada konsentrasi penduduk. Dan jika jadi pos Bestir di situ, mereka bisa membangun pusat kesehatan di sana juga. Satu-satunya masalah adalah bahwa belum pasti apakah kapal seperti Ichthus atau Kerux bisa naik kali Kasuaris setidaknya sekali sebulan tanpa terdampar karena air kering.

Firiwage

Meskipun air sangat kering, pada akhir hari kedua mereka sampai di muara kali Kasuaris. Menjelang malam, mereka sudah melewati kampung lama Arup; ternyata tidak ada orang di sana, pasti semua berada di lokasi baru. Mereka naik kali Kasuaris satu atau dua tanjung baru berhenti untuk bermalam di situ.
Besok pagi mereka menggantungkan motor-tempel milik Zending di belakang perahu plastik yang dibawa Fanoy, baru melanjutkan perjalanan dalam perahu; dua orang Kouh itu tidak ikut karena harus menjaga kapal Kerux. Dalam satu hari mereka mencapai Firiwage. Hari berikutnya, mereka menjelajahi kali Dawi hingga sekitar di tempat Waliburu berada sekarang. Beberapa kali mereka bertemu orang yang pegang busur dan anak panah, tetapi tidak ada apa-apa yang terjadi.
Ketika mereka pulang ke kapal Kerux, ternyata muara kali Kasuaris tidak selalu bisa dilayari dengan kapal seperti itu: karena air kering, Kerux beberapa kali kena busung pasir dan batu kerikil meskipun kedalaman kapal itu hanya 80 senti.

IMG-20160414-WA0046-L
Pendeta Drost (kiri) dengan orang lain mendorong perahu / kano plastik di tempat dangkal di kali Kasuari atau di kali Dawi, Pebruari 1959.

Kawagit

Mereka melanjutkan perjalanan ke Kawagit. Di sana, sekelompok besar orang di bawah pimpinan polisi sedang bekerja untuk membangun kamp dasar untuk Ekspedisi di bagian bukit yang telah dibuka: tempat penginapan, gudang, dan tempat penyimpanan bensin dan minyak. Mereka terus naik kali Digul sampai menjadi gelap dan bermalam di sana di tepi sungai. Sabtu pagi mereka pulang; pukul empat sore, orang-orang untuk Kouh turun dari kapal, dan larut malam, Kerux berlabu di Tanah Merah.

Perjalanan ini belum meyakinkan Fanoy bahwa Kawagit adalah pilihan terbaik untuk Bestir dan Zending. Klamer khawatir tentang hal itu. Juga mengenai sikap pastor, karena dia terus-menerus menyuarakan keberatannya terhadap kehadiran Zending di tepi timur Digul. Awal bulan Maret, Fanoy berkunjung ke rumah Klamer khusus untuk berbicara tentang hal ini. Oleh sebab itu, Klamer ingin secepat mungkin pindah ke Kawagit, sebelum Misi dapat menduduki pos tersebut. Namun, dalam beberapa minggu mendatang, Klamer harus tinggal di Tanah Merah karena waktu kelahiran anaknya yang pertama sudah mulai dekat.

KWA Of FRW-cc

Rumah untuk Van Benthem

Sabtu itu, kapal Cycloop telah tiba di Tanah Merah dengan membawa rumah prefab yang dipesan untuk Van Benthem. Air kali Digul sangat kering sehingga kapal tidak dapat mendekati dermaga; oleh sebab itu, muatan kapal besar itu harus dibongkar di tengah sungai dengan memuatkan segalanya ke kapal-kapal kecil. Ini makan waktu dan ketika mulai malam mereka belum selesai. Sementara itu, air masih turun terus, jadi terpaksa mereka kerja terus pada hari Minggu. Setelah peti-peti dengan rumah Van Benthem ditaruh di tepi sungai, hari Selasa dan Rabu air Digul mulai naik begitu cepat sehingga ada bahaya peti-peti itu nanti akan kena air. Oleh karena itu, mereka mulai membongkar peti-peti itu dan memuat isinya ke kapal Ichthus dan kapal Kerux yang segera membawanya ke Kouh. Senin berikutnya, kedua kapal masih melakukan perjalanan kedua lagi, baru semua bahan itu siap di situ.

Dengan demikian semuanya berjalan seperti biasa di Tanah Merah. Tapi segera, semuanya akan berubah.

Ta01-31 R001-128 Ta1-31-L
Kapal Ichthus (di depan) dan kapal Kerux (di belakang)

 

2.

TENANG SEBELUM BADAI

Belanda

Pertemuan penerangan

Pada suatu hari musim dingin di Belanda, ketika salju turun dan jalan-jalan licin, para peserta Ekspedisi datang dari seluruh penjuru negeri ke kota Leiden: ilmuwan bermacam-macam ilmu pengetahuan, bersama dengan para pilot dan montir helikopter. Mereka berkumpul untuk mendapat informasi dari Brongersma dan Venema, kedua pemimpin Ekspedisi itu, tentang apa yang akan mereka hadapi. Venema mempersiapkan mereka untuk yang terburuk:

“Hujan, gerimis, dan hujan deras, air, kaki dan pakaian yang basah, kompor yang membara, api kayu yang berasap, dan pandangan yang selalu terbatas, karena selalu ada pohon dan gunung, basah seperti sungai itu sendiri, hampir tidak ada langit, karena awan terlalu tebal dan dekat dengan bumi…”

Di lembah Sibil, curah hujan mencapai lebih dari enam ribu milimeter setiap tahun, demikian paparnya. Ketika mereka akan bangun pagi, segala sesuatu yang mereka sentuh akan basah, dan pakaian dan selimut mereka akan lembab. Mereka harus mempersiapkan diri untuk enam bulan yang melelahkan di hutan belantara, katanya, di daerah pegunungan paling terpencil dan kasar di dunia.

Sterrengebergte - Verscheping Goederen Amsterdam - Volkskrant 160159-L
Barang untuk Ekspedisi disiapkan untuk dikirim ke Papua; Amsterdam, Januari 1959.

Pengapalan

Di Amsterdam dan Rotterdam, semuanya dikemas untuk Ekspedisi ke Nieuw-Guinea. Tiga puluh ton makanan, pakaian, peralatan, dan barang kontak. Semua barang itu dimuat dalam lima belas peti besar, “sebenarnya rumah-rumah kecil dengan pintu dan topi hujan”, tulis seorang jurnalis. Peti-peti ini akan berguna di Tanah Merah nanti.

Di Rotterdam, semuanya itu dimuat ke kapal Musi Lloyd yang akan membawanya ke Sorong. Kapal itu akan mampir ke Genoa (Italia) untuk mengambil tiga belas peti lagi dengan dua helikopter Bell. Dari Sorong, kapal KPM akan membawa semuanya ke Merauke, kapal-kapal lain akan mengangkutnya ke Tanah Merah. Di sana, sebagian akan diterbangkan langsung ke Sibil, sebagian lain akan diangkut oleh ke dua kapal Mappi ke Kawagit; dari sana ke dua helikopter akan menerbangkannya ke Sibil. Setidaknya, begitulah rencananya.

Musi Lloyd-L
Kapal MusiLloyd dalam perjalanan .(© stichting Koninklijke Rotterdamsche Lloyd Heritage – foto: Andreas Hoppe 1963)

Kritik

Residen Boendermaker meragukan apakah semuanya akan berhasil. Pada tanggal 24 Januari, ia menulis kepada gubernur di Hollandia:

“Meskipun segala sesuatu berjalan sesuai jadwal dan tidak ada keterlambatan karena cuaca buruk yang dapat diperkirakan, tetapi tidak mungkin bahwa semua barang dapat diangkut sebelum 10 April, ketika semua peserta di Sibil harus terbang melalui Tanah Merah dengan Twin Pioneer.”

Ia juga tidak senang dengan cara pengemasannya, seperti yang tercantum dalam suratnya pada 9 Pebruari:

“Barang-barang tersebut, bukannya dikemas dalam peti dengan berat maksimal 500 kilogram seperti yang saya sarankan, tetapi malah dimasukkan ke dalam peti berukuran enam meter kubik, dengan berat bervariasi antara 1200 hingga 1800 kilogram. Kemungkinan besar, di Tanah Merah peti-peti ini harus dibongkar di tepi sungai, karena tidak ada transportasi yang tersedia untuk barang seberat ini di sana.”

MARINIR

Seorang raja harus ada rakyatnya, begitu juga seorang kolonel di angkatan laut harus ada pasukannya. Tidak ada penjelasan lain yang bisa diberikan mengenai fakta bahwa selain dari pasukan polisi mobil yang biasa mengamankan patroli, dalam Ekspedisi ini juga ada detasemen marinir yang ikut. Apalagi, mereka tidak perlu khawatir terlalu banyak tentang keamanan, karena penduduk di lembah Sibil selama bertahun-tahun terakhir telah terbukti bersikap damai. Hanya tentang daerah di antara Kawagit dan Katem ada keraguan sedikit, mengingat pertemuan yang tidak bersahabat pada ekspedisi tahun 1939.

Pada bulan Desember 1958, panggilan dibuat untuk sukarelawan di korps marinir di Nieuw-Guinea. Ada banyak animo, sebanyak 120 orang mendaftar. Dari mereka, Letnan Nicolas memilih dua puluh orang yang memiliki pengalaman patroli di daerah yang sulit. Mereka mendapatkan pistol mitraliur Uzi, enam magazen, empat granat tangan, sebilah pisau belati, kompas, dan senter.

Setelah pelatihan singkat, kelompok pertama berangkat ke Merauke. Bagi mereka, yang terbiasa dengan kehidupan hiburan di Hollandia dan Biak, Merauke adalah kota yang agak sepi: hanya ada satu jalan raya, dengan beberapa toko di sana-sini, dan bahkan masih ada gerobak lembu yang berkeliling. Sepertinya waktu berhenti di sini. Di pelabuhan kota ini, para marinir ditugaskan untuk menyimpan barang Ekspedisi yang dibawa oleh kapal-kapal laut, di gudang.

 

 

 

32184-L
Detasemen marinir yang mengiringi Ekspedisi ke Pegunungan Bintang, 1959. (© Collectie Mariniersmuseum Rotterdam, inv.nr. MR32184). Dari kiri ke kanan, berbaring: Henkie Hendriks, Frank Scharf;
Duduk, baris pertama: Kopral A. Bril, Sersan Jan de Wijn, Ostap Koster, Hans Vlaanderen, Letnan Dokter Max Tissing;
Baris ke-2: Kopral A. Goedhart, Eduard Roem, Henny Boon, Joep Hendriks;
Baris ke-3: Aad Straathof, Kopral A. van Ingen, Wil Binkhuijsen, Ferry Brandenburg van den Gronden, Jan Timmer, Jan Ruijgrok;
Baris ke-4: Jan Hirtum, Letnan Carl B. Nicolas, Jan Koeman (perawat), Rob Portier (layanan penghubung).
Merauke Plattegrond Img200-L-2
Merauke dilihat dari udara, sekitar 1957. Di sebelah kanan: kali Maro; di cakrawala: Laut Arafura.

 

Ossenwagen In Merauke Fotograaf Onbekend-L-2
Gerobak lembu di Merauke, sekitar 1959.

 

3.

MINGGU YANG TENANG

Gelombang Meninggi

Gelombang Flu

Pada tanggal 9 Maret, seorang perawat Bestir baru yang tiba di Tanah Merah, namanya suster Molensky. Dia datang menggantikan suster Blommesteyn. Tetapi karena pada saat itu banyak pasien di rumah sakit, dan dokter pemerintah Bijkerk sedang keluar, sehingga Fanoy minta suster Blommesteyn menunda keberangkatannya selama seminggu lagi.
Di kompleks Zending, hampir tidak ada yang terhindar dari penyakit flu perut yang buruk. Hanya guru Meijer tidak jatuh sakit; dia pergi ke Kouh pada tanggal 15 dengan niat tinggal di sana selama dua bulan. Dengan demikian, Van Benthem dapat kembali ke keluarganya di Tanah Merah. Klamer berbaring di tempat tidur pada hari Selasa, 17 Maret, dengan demam tinggi. Untungnya, empat hari kemudian dia sudah pulih, tepat waktu untuk kelahiran putrinya pada hari Jumat di rumah sakit. Tetapi dia tetap lelah sepanjang bulan itu. Lima hari kemudian, istrinya diizinkan pulang ke rumah.

Gelombang Ekspedisi

Pada hari ibu Klamer melahirkan anaknya, Komisaris Oosterman tiba di Tanah Merah. Dua hari sebelumnya, sekelompok marinir telah datang, dan pada hari Minggu itu, kapal Hans Fuhri membawa sisa detasemen tersebut.

Hans Führi - Foto Monsjou-L
Kapal “Hans Fuhri” dengan kru. Orang yang ke-7 dari kanan adalah anak dari T. Monsjou yang dari 1927-1928 adalah penguasa yang ke-2 di Boven-Digoel / Tanah Merah.

Di kompleks Zending, mereka tidak banyak mengetahui kesibukan di pelabuhan. Perumahan mereka agak terpencil, di luar perkotaan, jauh dari kali Digul. Kedatangan duapuluh marinir mungkin sebagian besar tidak terlihat oleh mereka, karena detasemen itu ditempatkan di tangsi, yang berada di sebelah bandara. Hanya kesibukan lalu lintas udara pasti tidak terlewatkan, tetapi mereka tidak berurusan dengannya dan memiliki rencana mereka sendiri. Hari Senin itu, ketika muatan kapal Hans Fuhri dibongkar, pendeta Drost dan pendeta Van Benthem, bersama dengan istri serta anak-anak tertua mereka, berangkat ke Kouh. Di sana, pada hari berikutnya, sekolah Mofenanti akan dibuka, dan itu jauh lebih penting bagi mereka daripada Ekspedisi ke Pegunungan Bintang.

Pada hari Rabu, mereka kembali ke Tanah Merah, hanya pendeta Drost sendiri tinggal di Kouh. Setelah belokan terakhir Tanah Merah muncul, dam mereka melihat bahwa ada satu kapal lain lagi. Kapal lain itu adalah Cycloop yang baru datang pada hari itu dengan beberapa peti besar dari Ekspedisi. Pada hari berikutnya, mereka mulai membongkar muatannya. Sementara mereka sibuk dengan itu, pesawat membawa agen Kroon dari polisi mobil bersama dengan 15 agen. Brongersma dan Venema juga datang, bersama dengan Letnan Nicolas, komandan detasemen marinir. Sekarang, ketenangan di Tanah Merah benar-benar berakhir.

Jager 03-B 24-L
Kapal “Cycloop” di Tanah Merah.

Membongkar muatan

Dengan penuh perhatian orang Papua berdiri menonton ketika peti-peti besar diangkat dari ruang kapal Cycloop dan diletakkan di dermaga. Pekerjaan itu berjalan dengan lancar, karena kondisi cuaca sangat menolong: selama seminggu penuh hujan deras di pegunungan, dan karena itu air di sungai Digul sekarang sangat tinggi. Karena dermaga hampir terendam air, orang bekerja terus dengan keras untuk segera mengosongkan peti-peti itu.

Kapal itu juga membawa suatu jeep dengan trailer dari detasemen marinir. Mereka bisa menggunakannya dengan baik, tetapi sayangnya tidak ada di antara mereka yang memiliki SIM. Salah satu dari para marinir itu mencari tahu di mana kopling, pedal gas, starter, dan tuas persneling berada, baru dia coba saja, dan sungguh berhasil: akhirnya jeep bergerak. Awalnya masih terguncang, tetapi seiring waktu marinir itu mulai memahami bagaimana cara menggunakannya. Dengan demikian, transportasi barang dari dermaga ke gudang penyimpanan dimulai. Barang-barang yang tidak dapat diangkut dengan trailer dibawa dengan gerobak lembu atau dengan tenaga manusia.

NCRV-Sprang-1 (7).Movie Snapshot-L-2
Jeep Marinir di Tanah Merah. 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)
F.M.A. Oosterman Close-up-L
Komisaris F.M.A. Oosterman

Oosterman

Di belakang suatu peti yang digunakan sebagai meja tulis, Komisaris Oosterman duduk di kursi lipat di gudang penyimpanan untuk mencatat segala sesuatu yang masuk: sprei, pakaian, botol alkohol, ratusan kilogram koran bekas, kantong tepung, terlalu banyak untuk disebutkan. Dia betul dibanjiri oleh gelombang berbagai barang. Semua hal tersebut disortir sesuai dengan instruksinya. Sebagian harus dibawa dengan kapal-kapal Mappi ke Kawagit, sebagian lainnya ditujukan untuk Katem, dan di bandara, dalam peti-peti yang sudah dikosongkan, muatan-muatan yang masing-masing 500 kilogram disiapkan untuk diangkut dengan pesawat ke Sibil. Semuanya ditimbang dengan cermat dan salah satu agen polisi menuliskan beratnya pada tiap-tiap bungkusan.

31560-L
Gerbang masuk kompleks Detasemen Umum Polisi di Tanah Merah, tempat tinggal detasemen marinir yang akan ke Pegunungan Bintang; tahun 1959. (© Mariniers Museum)

31479-L

Sersan Marinir Jan de Wijn, Marinir Kelas 2 Henkie Hendriks dan dua petugas menyortir barang Ekspedisi di Tanah Merah 1959. (© Mariniers Museum)

Paskah

Hari itu adalah Hari Paskah. Hari yang penuh sukacita bagi Keluarga Klamer dan semua orang di sekitar mereka. Seperti setiap hari Minggu, pagi hari ibadah dalam bahasa Melayu diadakan di gereja Maluku; kali ini, pendeta Van Benthem memimpin kebaktian itu untuk pertama kalinya. Kemudian ada ibadah keluarga dalam bahasa Belanda di rumah keluarga Drost. Dalam pertemuan itu, Klamer membaptis anaknya yang baru lahir. Beberapa anggota Ekspedisi juga hadir.

OZ 1959-4-4 Juli 03a-L
Klamer dengan putrinya

Pada hari Senin Paskah, suara peluit kapal yang menusuk telinga mengumumkan kedatangan satu lagi kapal besar. Total muatan untuk Ekspedisi terlalu besar untuk dua kapal lain itu, Hans Fuhri dan Cycloop, tetapi untungnya salah satu dari geolog yang peserta Ekspedisi ini telah meyakinkan majikannya (NNGPM) untuk menyediakan kapal Orion. Suara berat mesin kapal meresap ke sudut-sudut terjauh Tanah Merah.

Dengan kapal ini tiba insinyur Cortel, seorang peserta Ekspedisi, dengan sekelompok 25 orang Papua dari Sansapor, salah satu desa di pantai utara Kepala Burung. Mereka semua adalah orang dengan daya tahan tinggi yang terbiasa dengan medan yang sulit. Tanah Merah sekarang benar-benar terlalu ramai. Sehari kemudian, geolog Bär dan Escher tiba dengan sebuah Catalina (pesawat air besar) dari NNGPM. (catatan 1)

Mappiboten-L
Kapal “Orion” di Tanah Merah dengan muatan untuk Ekspedisi ke Pegunungan Bintang. Maret 1959. (© Collectie Mariniersmuseum Rotterdam, inv.nr. MR31415).
OK Sibil Exp.St.geb. Vooraan In Het Wit Oosterman-L
Kapal “Orion” di Tanah Merah. Peti berisi barang-barang ekspedisi diletakkan di dermaga dan segera dibongkar karena tingginya air.

Dengan demikian semua peserta yang akan bepergian melalui Tanah Merah ke lembah Sibil telah tiba. Karena itu, pada hari Rabu minggu itu (1 April) pimpinan Ekspedisi mengadakan acara perkenalan yang meriah dengan tokoh-tokoh dari Bestir dan masyarakat di Tanah Merah. Klamer dan istrinya juga mendapatkan undangan untuk ini. Mereka tidak terlalu bersemangat, tetapi pada akhirnya dia harus mengaku bahwa dia cukup senang dengan kesempatan untuk dapat mengenal orang-orang ini, terutama karena Kawagit memainkan peran yang penting dalam Ekspedisi.

31434-L
Meijer dan Drost serta orang kampung Kouh di tepi sungai Digul menjaga kapal-kapal Mappi dengan marinir yang lewat menuju ke Kawagit. (© Collectie Mariniersmuseum Rotterdam, inv.nr. MR31434)

Setelah gelombang lewat

Gelombang Ekspedisi maju terus

Langsung keesokan harinya, Tanah Merah mulai mengosong. Ketiga ahli geologi (Bär, Cortel, dan Escher) bersama kelompok orang Sansapor berangkat dengan kapal-kapal Mappi menuju ke Kawagit. Pada hari yang sama, pesawat Twin Pioneer mulai mengangkut muatan-muatan yang telah disiapkan ke Sibil. Hujan telah berhenti, dan sepanjang minggu itu cuaca tetap cerah. Setiap hari Twin bisa terbang ke Sibil, dan pada hari Sabtu, pesawat itu bahkan melakukan empat penerbangan.

Pada akhir minggu itu, Brongersma, Oosterman, Kroon, serta beberapa marinir dan polisi juga berangkat menuju Sibil, karena beberapa hari lagi, para peserta dari Hollandia dan Belanda diharapkan tiba di sana. Venema tetap tinggal di Tanah Merah untuk menunggu kedatangan helikopter; dia harus membimbing mereka ke lembah Sibil nanti.

Namun, pada hari Sabtu, nasib buruk mulai menimpa: kedua kapal Mappi rusak; anak-anak kapal telah menggunakan pelumas yang salah dan as baling-baling rusak. Akibatnya, pengangkutan barang ke Kawagit terhenti. Pesawat Twin berangkat karena masa sewa telah habis. Tanah Merah kembali menjadi sunyi.

NCRV-Sprang-1 (4).Movie Snapshot-L-2
Peti-peti di bandara Tanah Merah, tempat muatan untuk penerbangan ke Sibil disiapkan. Di masing-masing peti disimpan satu muatan yang telah ditimbang untuk diterbangkan ke Sibil di lain waktu. 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)
NCRV-Sprang-1 (5).Movie Snapshot-L-2
Barang yang telah disiapkan sebelumnya dikeluarkan dari peti untuk sebentar diterbangkan ke Sibil. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)
NCRV-Sprang-1 (9).Movie Snapshot-L-2
Tahanan (“strapan”) di Tanah Merah membantu memuat pesawat untuk terbang ke Sibil. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)
NCRV-Sprang-1 (3).Movie Snapshot-L-2
Pesawat Twin Pioneer dari Kroonduif dimuat untuk penerbangan ke Sibil. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)
Sterrenbergexpeditie-op-nieuw-guinea-leider-van-de-4bce19-L
Dari kiri ke kanan: Venema, Brongersma, dan agen besar polisi Ruud Kroon. Di latar belakang antara Brongersma dan Kroon: wartawan Van Sprang.

Kawagit

Jumat malam, para geolog tiba di Kawagit. Dua hari kemudian, Bär dan Cortel bersama orang Sansapor berangkat menuju Katem. Karena jumlah orang yang pikul barang itu tidak cukup untuk bisa bawa cukup makanan untuk mereka bisa bertahan sampai tiba di Katem, dari waktu ke waktu mereka harus dibekali ulang dari Kawagit. Escher tinggal di sana untuk mengatur hal itu.

Perjalanan Bär dan Cortel dimaksudkan untuk menyelidiki geologi daerah ini. Meskipun wilayah ini bukan bagian wilayah Pegunungan Bintang, hasil penelitian di sana nanti perlu digabungkan dengan temuan geologi di daerah sekitarnya. Ini juga menjadi tujuan dari perjalanan kaki Bär dan pejabat administrasi Dasselaar dari Sibil ke Hollandia, pada akhir Ekspedisi.
Tujuan kedua adalah untuk bikin tempat-tempat turun darurat untuk kedua helikopter yang akan mengangkut barang Ekspedisi dari Kawagit ke Sibil. Setiap 3 hingga 5 kilometer mereka harus buat suatu clearing.

Perjalanan ini ternyata sangat berat, dan mereka bergerak jauh lebih lambat dari yang mereka perkirakan. Hal ini mungkin tidak mengejutkan Residen Boendermaker. Dalam suratnya tanggal 24 Januari kepada Gubernur di Hollandia, dia menulis tentang perjalanan ini :

“Kondisi daerah itu yang sangat sulit diakses dan yang ganas sehingga kerja untuk membuka hutan untuk bikin tempat-tempat turun darurat untuk helikopter akan menjadi sebuah prestasi olahraga yang mungkin akan mengalahkan usaha dari Ekspedisi itu sendiri.”

 

IMG-20160414-WA0012-L
Orang Kawagit

4.

Awal yang diam-diam

Tiba di Kawagit

Mengarungi gelombang Ekspedisi?

Pada tanggal 6 April, di Tanah Merah kapal kecil berlayar naik kali Digul. Itu adalah Kerux dengan pendeta Klamer, anak piaranya Kauwegep, montir Jacob Deda, dan anak kapal Martinus Uruktem. Menjelang malam hari berikutnya, mereka berlabu di Kawagit.

Di sini pun gelombang Ekspedisi sudah lewat, hanya Escher yang masih ada di sana bersama beberapa orang marinir. Mereka itu tinggal di dalam bivak di atas bukit itu, di mana juga ada tempat turun untuk helikopter, sedangkan gudang, tempat penyimpanan minyak, dan tempat turun kedua untuk helikopter terdapat lebih rendah dan lebih dekat pinggir sungai.

Escher mengundang Klamer dan kelompoknya tinggal bersama mereka di dalam bivak di bukit. Meskipun tawaran tersebut ramah, itu bukan apa yang diinginkan Klamer. Dia berencana untuk nanti menetap di sini bersama istri dan bayinya, dan bagi mereka bivak itu bukanlah tempat yang sesuai. Dia mau membangun rumahnya sendiri di sini, rumah sementara di mana dia dan keluarganya bisa tinggal selama rumah prefab yang dipesan belum didirikan. Apalagi, Ekspedisi kekurangan ruang untuk menyimpan semua persediaan dan harus membangun tempat penyimpanan tambahan dalam beberapa hari ke depan. Oleh sebab itu Klamer lebih senang sementara menginap di kapal Kerux.

NCRV-Sprang-1 (20).Movie Snapshot-L
Ohare Kurufe; 22 april 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)

Bertemu kenalan

Di Kawagit, Klamer ketemu lagi dengan orang-orang Arup. Mereka sudah beberapa bulan bekerja untuk Ekspedisi dan telah bikin bivak-bivak tidak jauh di dalam hutan sebagai tempat tinggal sementara. Mereka sekitar seratus orang, sebagian besar berasal dari kampung lama, tetapi ada juga beberapa yang datang dari rumah-rumah tinggi di sekitar Kawagit. Istri dan anak-anak mereka tinggal lebih dalam di hutan dan tidak muncul di antara semua laki-laki ini. Semua orang senang melihat pendeta mereka kembali. Ketika Klamer menceritakan tentang bayinya yang baru lahir, mereka antusias dan menantikan nyonya dan bayinya datang ke sini.

Setiap hari Klamer turun ke kali untuk mandi. Orang-orang ikut untuk menonton, dan Klamer membagikan sabun kepada mereka. Seiring waktu, menjadi rutin harian bagi sejumlah orang untuk bergabung dengan Klamer pergi mandi di kali.

Planologi kampung

Dengan Waemonggo (kepala desa Arup yang sekarang kepala desa Kawagit) dan Balekho (mandur), Klamer menjelajahi daerah sekitarnya. Bersama-sama, mereka menentukan lokasi di mana nanti rumah-rumah kampung, sekolah, gereja, rumah untuk Klamer dan rumah untuk suatu guru akan dibangun. Ini membutuhkan imajinasi yang kuat dari Klamer, karena meskipun di bukit dekat kali itu sudah banyak pohon yang ditebang, sebagian besar barisan bukit itu masih ditutup dengan hutan tebal yang hampir tidak bisa ditembus. (catatan-2)

Di tempat di mana nanti rumahnya akan didirikan, sekor ayam hutan telah membuat sarangnya di bawah pohon yang sangat besar. Salah satu bapak, namanya Mandio, janji bahwa dia akan menebang pohon itu. Pagi-pagi dia mulai, dan sepanjang hari dia menebang. Ketika sudah sore waktu matahari mulai turun, pohon itu akhirnya mulai retak dan tumbang, dan segera setelah itu pohon itu jatuh dengan benturan yang luar biasa. Semua orang bersorak-sorai!

Kaartje Kawagit Klamer-c-L
Peta Kawagit, lukisan dari pdt Klamer dengan keterangannya tertulis dalam bahasa Belanda. A = dermaga; I = bivak ekspedisi dengan tempat helikopter; II: = rumah Zending; III = tempat untuk sekolah dan gereja; IV = tempat untuk kampung. Tingginya bukit I dan II sekitar 30 meter, II dan IV sekitar 20-25 meter.

 

OZ 1959-4-4 Juli 00 0499 Foto-L
Lokasi untuk rumah sementara untuk Klamer dibersihkan.

Rumah darurat

Di atas bukit tempat orang-orang Ekspedisi mendirikan bivak dan tempat turun untuk helikopter, banyak pohon telah ditebang. Cabang dan batang pohon bersilangan dimana-mana. Kecuali dekat di sekitar bivak, tidak ada yang dibersihkan.

Sabtu itu, pendeta Klamer, dengan bantuan beberapa orang, mulai membersihkan sebidang tanah di sebelah tempat yang mereka pilih untuk nanti rumah prefab akan dibangun. Di sini dia ingin membangun rumah sementara yang sederhana berukuran 4 x 6 meter, terdiri dari sebuah kamar dengan pendopo di bagian depan dan samping kanan, dapur di bagian belakang, dan tempat WC sedikit lebih jauh. Dia harap rumah itu berdiri ketika dia kembali ke Tanah Merah dalam seminggu lebih untuk menjemput keluarganya. Meskipun orang-orang Ekspedisi sibuk membangun gudang baru, mereka tolong Klamer dan meminjamkan pekerja kepadanya yang sebenarnya bisa mereka sendiri manfaatkan.

Klamer juga memasang pengukur hujan. Itu adalah permintaan dari Kepala Biro Meteorologi dan Geofisika di Hollandia. Ketika nanti dia tinggal di sini, setiap hari dia akan mencatat data hujan dan secara berkala mengirimkannya ke kantor tersebut.

IMG-20160414-WA0051-L
Rumah sementara untuk Klamer yang dibangun di Kawagit.

Registrasi

Fanoy telah memintanya untuk mengadakan pendaftaran masyarakat yang tinggal di Kawagit dengan mencatat di mana setiap orang memiliki hubungan keluarga. Permintaan itu terkait dengan keberatan dari pastor di Tanah Merah yang kuatir Zending akan bekerja di antara orang yang tinggal di wilayah Misi bekerja.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa penduduk di sini tidak memiliki kontak dengan wilayah Mandobo yang merupakan lapangan kerja Misi Katolik. Semua hubungan keluarga mereka tampaknya berada di utara dan barat, tempat Zending ingin bekerja, di seberang sungai Digul. Banyak perempuan ternyata berasal dari daerah kali Dawi dan kali Kasuaris. Oleh karena itu, asal usul penduduk di Kawagit tampaknya tidak menjadi hambatan bagi Zending untuk menetap di sini.

Dari registrasi itu juga terlihat bahwa jumlah anak per keluarga sangat rendah, seringkali tidak lebih dari satu dan paling banyak 3 anak. Kemungkinan besar hal ini berkaitan dengan tingginya angka kematian anak. Jadi ini adalah titik perhatian yang penting untuk pekerjaan medis.

Pemberitaan

Pada hari Minggu pertama sesudah dia tiba di Kawagit, Klamer membacakan khotbah di atas kapal Kerux dengan tiga dari empat orang Belanda dari Ekspedisi yang hadir; yang keempat beragama Katolik dan memilih untuk tidak ikut. Setelah ibadah, mereka berbicara bersama selama satu setengah jam tentang isi khotbah itu.
Klamer telah mempertimbangkan untuk kumpul masyarakat untuk memberikan suatu cerita sederhana dari Alkitab, tetapi hanya ada beberapa orang yang bisa mengerti bahasa Melayu dan dengan sangat terbatas. Dalam laporannya, dia tulis bahwa dia mempertimbangkan untuk melakukannya pada Minggu berikutnya dengan menggunakan anak piaranya sebagai juru bahasa. Tetapi dalam laporan-laporan berikut dia tidak tulis apa-apa lagi tentang hal itu, sehingga tampaknya dia memutuskan untuk tidak melakukannya pada Minggu kedua itu juga.

NCRV-Sprang-1 (10).Movie Snapshot-L-2
Pesawat Twin Pioneer dari Kroonduif dan helikopter dari Ekspedisi di bandara Tanah Merah, April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)

Hubungan

Helikopter

Pada awal April, kedua helikopter Ekspedisi akhirnya tiba di Merauke. Butuh waktu sebentar lagi sebelum mereka siap terbang, tetapi pada hari Selasa, 14 April, mereka mulai perjalanan menegangkan dari Merauke ke Tanah Merah. Jauh di atas, pesawat terbang Martin Mariner menjaga mereka dan menunjukkan rute. Di tengah perjalanan, salah satu dari dua helikopter itu harus melakukan pendaratan darurat karena ada kebocoran minyak pelumas. Pilot melihat suatu tempat yang rupanya lapangan rumput yang bagus, tetapi ternyata saat mendarat itu adalah rawa yang ditumbuhi rumput bambu setinggi manusia. Setelah perbaikan sementara dilakukan, mereka melanjutkan penerbangan dan tiba dengan selamat di Tanah Merah.

NCRV-Sprang-1 (14).Movie Snapshot-L-2
Digul di antara Tanah Merah dan Kawagit, 22 April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)

Pada sore hari yang sama, mereka melakukan penerbangan pembekalan pertama ke Kawagit. Tempat itu mudah ditemukan, meskipun ruang terbuka di pinggir kali masih sangat kecil di tengah hutan yang luas, tetapi ada bendera merah-putih-biru yang cerah yang sangat mencolok di antara hijau yang monoton.

NCRV-Sprang-1 (12).Movie Snapshot-L-2
Kawagit dari helikopter pada 22 April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)
NCRV-Sprang-1 (17).Movie Snapshot-L
Kawagit dari helikopter pada 22 April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)

“Beberapa menit kemudian, pendaratan pertama dilakukan di Kawagit, di bawah perhatian penuh penduduk dan dengan antusiasme besar dari orang Ekspedisi. Escher mendokumentasikan peristiwa ini secara rinci di film. Sebagai penonton tambahan, pendeta Klamer datang lihat, yang akan bekerja sebagai misionaris di daerah ini.” (Brongersma dan Venema, hlm. 38-39)

Ketika pada tahun 2022 orang yang tua di Kawagit menceritakan kembali kejadian ini, mereka berbicara tentang “helikopter yang tidak lengkap, seperti rak begitu”. Konstruksinya helikopter itu betul sangat sederhana: sebagian besar terbuka kecuali kabin kecil untuk pilot dan 1 penumpang, dan di luar kabin itu ada semacam rak untuk mengangkut barang. Deskripsi ini dapat dimengerti dari latar belakang pengalaman mereka sendiri dengan helikopter indah dari MAF yang terbang di sini 20 tahun sesudah Kawagit dibuka. Tetapi itu juga menunjukkan seberapa akurat leluhur mereka memaparkan burung-burung asing ini yang muncul dari langit kepada anak-anak mereka.

Dalam waktu sepuluh menit, kedua helikopter tersebut berangkat lagi. Tetapi mereka akan menjadi pemandangan yang biasa dalam beberapa bulan ke depan di Kawagit dan di daerah sepanjang kali Digul.

NCRV-Sprang-1 KWA-L
Heli dari Ekspedisi Pegunungan Bintang di Kawagit, 22 April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)
NCRV-Sprang-1 (18).Movie Snapshot-L
Orang-orang dari Kawagit berdiri menyaksikan helikopter itu mendarat; 22 April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)
NCRV-Sprang-1 (21).Movie Snapshot-L
Marinir membawa barang-barang Ekspedisi Pegunungan Bintang yang baru tiba ke dalam bivak penyimpanan di Kawagit; 22 April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)

Radio

Helikopter membawa sebuah karung pos. Di dalamnya ada surat untuk Klamer dari istrinya, suatu kejutan besar! Jika helikopter terus terbang, itu berarti ia akan memiliki koneksi dengan Tanah Merah setidaknya sekali seminggu dalam beberapa bulan mendatang. Ini sangat berarti baginya karena itu sungguh mengurangi isolasi tempat ini dan membuat semuanya menjadi lebih mudah nanti ketika keluarganya juga akan berada di sini.

Venema juga ikut datang dengan heli itu. Dia akan tinggal di sini untuk sementara waktu dan memimpin pembekalan kelompok geolog yang sedang berjalan menuju ke Katem. Dia bilang kepada Klamer bahwa segera akan dipasang sebuah stasiun radio di sini dan bahwa dalam keadaan darurat dia bisa menggunakannya, bahkan jika tidak ada anggota Ekspedisi di tempat. Salah satu marinir adalah operator radio. Hal ini pun sangat menenangkan dan menyenangkan hati Klamer.

5.

EVALUASI

Siapa yang mendapat manfaat dari siapa?

Pembukaan kampung tidak termasuk dalam program Ekspedisi. Semua yang mereka bangun di Kawagit dan di tempat lain itu murni untuk kepentingan mereka sendiri. Polisi, marinir, dan geolog tidak datang untuk tolong penduduk setempat.
Mereka juga sama sekali tidak sadar bahwa Drost dan Klamer sudah lama sebelum Ekspedisi datang menemukan lokasi ini dan pada saat itu sudah memutuskan untuk masyarakat Arup pindah ke sini. Jadi ketika Ekspedisi memilih rute sepanjang Digul, Oosterman tidak perlu mencari lama untuk mendapat tempat di mana mereka bisa membangun pangkalan. Bukit Kawagit sudah ditemukan sebelumnya dan mereka langsung bisa mulai dengan tebang pohon dan membangun bivak Ekspedisi di situ.

Ketika Klamer muncul di Kawagit mengikuti Ekspedisi, pada pandangan pertama orang bisa berpikir bahwa dia dapat manfaat dari apa yang para polisi dan marinir sudah lakukan di sini. Itu mungkin pandangan mereka saat itu.
Memang sangat bagus bahwa Ekspedisi bersifat rela membantu pendeta Klamer waktu dia mulai membangun rumahnya di Kawagit. Tapi pada akhirnya, dia harus melakukannya sendiri, bersama orang-orang yang sudah ia kenal dari Arup. Bukan Ekspedisi, tetapi Klamer bersama kepala kampung dan bapak mandur yang menentukan rencana pembangunan kampung ini. Dia sendiri yang merancang bagaimana rumah sementaranya akan terlihat, dan dengan orang Wanggom, ia membangunnya sendiri, walaupun Ekspedisi membantu dengan menyediakan beberapa orang pekerja.

Jadi, pembukaan kampung Kawagit itu bukan hasil kerja sama Zending dan Ekspedisi, tetapi hasil usaha Zending dan Wanggom, sedangkan Ekspedisi membantu dalam tingkat terbatas. Bantuan Ekspedisi itu betul berharga, tetapi tidak menentukan.

NCRV-Sprang-1 (19).Movie Snapshot-L
Bivak Marinir di Kawagit (kanan), dengan Venema yang duduk di depan penginapan orang marinir; di samping belakangnya, bivak penyimpanan barang kelihatan; di sebelah kiri itu rumah sementara dari pdt Klamer; Escher menggantung cucian. 22 April 1959. (© KRO-NCRV / Beeld & Geluid)

Tenun / bordir

Dalam Alkitab, seringkali kita lihat bagaimana perkembangan yang tampaknya acak dalam kehidupan sehari-hari ternyata menjadi bagian dari rencana Allah dengan umat-Nya. Contoh: Yusuf yang dijual ke Mesir, politik raja Koresy, kisah ratu Ester, dan sensus yang disuruh oleh Kaisar Augustus.

Tuhan berdiri di atas segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dan pada saat yang sama membangun dan memelihara gereja-Nya. Ketika kita sadar akan hal itu, kita bisa lihat hal semacam itu terjadi di sini juga. Dia menggunakan orang-orang dan tindakan yang tidak terduga: helikopter, ilmuwan, dan marinir. Dalam kebijakan-Nya yang ajaib, Dia pakai kegiatan Ekspedisi sebagai pekerjaan persiapan untuk Klamer datang menetap di Kawagit. Melalui pekerjaan Ekspedisi yang benar-benar merintis jalan, Dia menyiapkan daerah ini untuk kedatangan Zending, baik di Kawagit maupun lebih ke atas di kali Digul (Manggelum, Klofkam, Bayanggop).
Lagi pula, sebelumnya pembukaan Lembah Sibil untuk memungkinkan kedatangan Ekspedisi sudah sekaligus membuka jalan bagi Zending (UFM) untuk membawa Injil di sana.

Dengan begitu, di tengah keruwetan garis dan benang yang saling berjalinan, serta peristiwa yang saling berpengaruh, dan dorongan serta motif yang beragam, kita bisa melihat sesuatu dari bagian depan tenun ajaib hasil sejarah ini. Maka memang bisa dikatakan bahwa waktu Klamer datang tempatnya sudah siap: tetapi bukan karena usaha Ekspedisi, melainkan karena kerja tangan kuat Allah. Dengan sukacita dan syukur Klamer berterima kasih kepada Tuhan. Dengan sukaria dia mengakhiri laporannya minggu itu:

“Saya ingin berbagi kegembiraan saya atas kenyataan bahwa saya sekarang dapat memulai tugas di pos saya sendiri, di mana kami, jika Tuhan mengizinkan, akan menemukan panggilan hidup kami.” 

Borduurwerk

–//–

 

Catatan

  1. Escher adalah anak dari seniman terkenal M.C. Escher.
  2. Dua puluh tahun kemudian, saya melakukan hal yang sama dengan orang-orang Ndeia / Wanggemalo untuk pilih tempat kampung, gereja, dan seterusnya.

 

Sumber

Perpustakaan Universitas Leiden:

Koleksi J.W. Kroon, KITLV DH 1248, Map 4:

  • Boendermaker, A., 24 Januari 1959, surat kepada Gubernur di Hollandia
  • Boendermaker, A., 9 Pebruari 1959, surat kepada Gubernur di Hollandia
  • Herberts, W., Laporan singkat jalannya ekspedisi ilmiah di Sibil. Hollandia 25 mei 1959
  • Schoorl, W.J., Laporan singkat jalannya peristiwa ekspedisi ilmiah sejauh yang dapat diamati di Merauke. Merauke 10 mei 1959
  • Sneep, J., Sibil 31 mei 1959, surat kepada Direktur Dalam Negeri di Hollandia

Idem, Map 20:

  1. Artikel tentang masalah pengangkutan barang ekspedisi dan kontak pertama dengan penduduk SIBIL; Sibil, 26 april 1959

Pusat Arsip dan Dokumentasi Gereja-Gereja Reformed di Belanda (ADC) di Kampen:

  • Benthem, J. van, laporan-laporan. Dalam: Zendingsarchief, Archiefnummer 78, doos 14.
  • Drost, M.K., laporan-laporan. Dalam: Archief Zending Enschede, archiefnummer 78, doos 56.
  • Klamer, J., laporan-laporan. Dalam: Archief zendende Kerk Spakenburg-Zuid, archiefnummer 154, doos 10.

Publikasi:

  • Bär, C.B. dan H.J. Cortel dan A.E. Escher, Narrative of the Star Mountains Expedition. Dalam: Nova Guinea, N.S.: Geology 4.
  • Brongersma, L.D., Expeditie naar het Sterrengebergte. Dalam: Nederlands Nieuw-Guinea – Tweemaandelijks orgaan van de Stichting “Het nationaal Nieuw-Guinee Comite”, 6e jaargang no. 4, juli 1958.
  • Brongersma, dr. L.D. dan G.F. Venema, Het witte hart van Nieuw-Guinea. Met de Nederlandse expeditie naar het Sterrengebergte. Amsterdam 1960 (cetakan ke-2)
  • Dasselaar, Gerrit, Expeditie Sterrengebergte 1959. Afscheid van een tijdperk. Soest 2022
  • Brandenburg van den Gronden, Ferry, Expeditie Sterrengebergte – herinneringen van een marinier aan ‘de groene hel’ van Nederlands Nieuw-Guinea. Zoetermeer 2015.
  • Graaf, Gerrit Roelof de, De wereld wordt omgekeerd. (Disertasi) 2012
  • Klamer, J., In het land van de Papoea’s. Serangkaian artikel di dalam Gereformeerd Gezinsblad, episode 7: Met de Kerux op toernee, II
  • Roorda, Gerrit, Kranslegging op 4 mei. In: Noordvaarder – officieel orgaan van “Abel Tasman”, Vereniging van Oud-Leerlingen van de Zeevaartscholen van Delfzijl en Groningen, terbitan bulan Mei 2015, hal. 3.
  • Verstappen, Herman Th., Zwerftocht door een wereld in beweging. Assen 2006.

Internet:

  • Delpher:
    • De Volkskrant, 16-1-1959
    • Het Vaderland, 20-1-1959
    • Het Binnenhof, 2-1-1959, 22-1-1959
  • Andere tijden, 28 oktober 2003 (https://www.npostart.nl/sterrengebergte/28-10-2003/POMS_VPRO_215163)

Sumber yang tidak dipublikasikan:

  • Fanoy, A., laporan-laporan bulanan dan triwulan
  • Klamer, J., Mijn levensverhaal, 1 (edisi awal untuk penggunaan internal), Zwolle 2009.

Nara Sumber di Papua:

  • Ferdinan Kurufe; rekaman pada tanggal 5 Nopember 2022 di Tanah Merah
  • Aram Kurufe; rekaman pada tanggal 5 Nopember 2022 di Tanah Merah
  • Bernadus Kurufe; rekaman pada tanggal 15 Nopember 2022 di Kawagit.
  • Lamekh Amuru; rekaman pada tanggal 15 Nopember 2022 di Kawagit.

Nara Sumber di Belanda (lisan dan tertulis):

  • Beltgens, Joan
  • Brandenburg van den Gronden, Ferry
  • Dasselaar, Gerrit
  • Laumans, Theo
  • Oosterman, Inge
  • Scharff, Frank
  • Toers Bijns, Wenda

–//–