Pembagian
Pengantar
1 Pembangunan
2 Bersama ke Kouh
3 20 September 1958
4 Kecemasan
5 Dihentikan?
6 Kerja TUHAN berlanjut!
7 Memperingati
Catatan
Sumber
Pengantar
Setelah Drost dan Meijer melakukan serangkaian perjalanan untuk menjajaki wilayah kerja zending masa depan dan untuk mengunjungi kampung-kampung kecil yang terletak di sepanjang Digul atas, mereka telah mengambil langkah berikutnya. Ada sebuah rumah misi yang sedang dibangun di Kouh supaya para misionaris dapat berkemah di situ untuk waktu yang lebih lama. Pemberitaan Injil di kampung itu telah dimulai pada tanggal 10 Agustus. Hal-hal itu juga memiliki kepentingan strategis, karena menyatakan bahwa mulai dari kampung Kouh ke atas adalah wilayah kerja zending.
Sementara itu, ada seorang pendeta baru lagi yang dari Belanda tiba di Tanah Merah, yaitu Klamer, dan seorang pendeta lain lagi yang bernama Van Benthem sedang dalam perjalanan. Pada tanggal 13 Agustus, Drost dan Klamer menyusun rencana kerja sementara. Di dalamnya dirancang rencana pembukaan pos Zending di Arup.
Setelah satu setengah tahun persiapan, akhirnya mereka memasuki fase baru. Kerja zending benar-benar mulai berlangsung!
1.
PEMBANGUNAN
Kouh
Sihir
Orang-orang Kouh senang. Seorang kulit putih mau menetap di kampung mereka! Itu akan membuat kampung itu menjadi lebih mantap dan aman, seperti baru-baru sudah menjadi jelas ketika pemburu kepala menargetkan Kouh. Tuan dusun, Yohofo Kinggo/Weremba,1 telah melakukan sihir khusus waktu kampung Kouh mulai dibuka. Tujuannya, agar tidak akan menimbulkan masalah dan kesengsaraan bagi orang-orang yang menetap di sana. Karena bagi orang sampai saat itu tinggal di rumah-rumah tinggi di dusun bersama keluarga mereka sendiri, adalah petualangan yang baru dan yang cukup riskan untuk pergi tinggal di suatu kampung bersama dengan banyak orang lain.
Melihat bahwa Meijer dan Drost bergantian akan tinggal di Kouh untuk waktu yang lebih lama dan bahwa sebuah rumah zending sedang dibangun untuk mereka, orang melakukan sihir lagi. Kali ini maksudnya bukan untuk menghindari bahaya tetapi untuk memastikan bahwa kwai itu tidak akan pernah pergi lagi tetapi akan tinggal di Kouh untuk selamanya. Untuk sihir itu mereka menggunakan bahan milik orang kulit putih itu, seperti sisa makanan mereka, kotoran mereka, atau sepotong pakaian. Mereka percaya bahwa dengan hal-hal itu mereka mendapatkan kuasa atas mereka. Setelah upacara sihir itu selesai, semua bahan itu dikubur di tanah.
Apakah Drost dan Meijer saat itu sadar bahwa orang kampung membuat sihir itu? Pasti tidak. Tetapi mereka bersandar pada kuasa TUHAN dengan yakin bahwa Dia yang akan melindungi mereka di tanah yang luas dan terjal ini yang penuh bahaya dari sungai, hutan, dan pemburu kepala.
Perkembangan
Kampung Kouh sekarang mulai berkembang pesat. Ketika pada tahun 1953 pastor Thieman dalam perjalanannya ke kali Kasuaris lewat di sini, ada orang yang sedang pangkur sagu di kepala kali Kouh untuk nanti menjual sagu itu ke Tanah Merah. Pada waktu itu belum ada kampung, tetapi ternyata ada orang di daerah itu yang sudah berhubungan dengan orang di Tanah Merah. Belakangan, di tempat itu ada rumah bapak Khomambemo dan bapak Kholorseno, sepasang orang Kombai dari daerah kali Manggono yang mengungsi ke tempat ini karena pertengkaran antara beberapa klan di wilayah asal mereka.2 Pada bulan Mei 1957, Kouh sudah menjadi kampung kecil dengan 6 rumah. Tetapi ketika Drost dan Meijer sering datang berkunjung ke sini, perkembangan dipercepat. Pada bulan Januari 1958 jumlah rumah sudah meningkat dua kali lipat.
Ternyata kegiatan di Kouh menarik orang di wilayah yang cukup luas. Mujalo Weremba, yang telah ikut pada perjalanan pertama dari Drost dengan kapal Ichthus, pergi ke kerabatnya di daerah kali Mappi dan kali Manggono, dan juga ke pamilinya melintasi kali Digul, untuk mendorong mereka untuk datang tinggal di Kouh. Jumlah penduduk bertambah dari sekitar 60 orang pada tahun 1957 menjadi sekitar 100 orang ketika Drost untuk pertama kalinya mengabarkan Injil di sini pada bulan Agustus 1958. Pada akhir bulan September sudah ada sekitar 200 orang. Mereka datang dari daerah orang Jair, dari daerah orang Kombai, dan dari daerah Mandobo di seberang Digul, dan mungkin juga ada yang datang pindah dari kampung Mariam.
Arup
Tidak hanya Kouh tetapi juga Arup, kampung yang terletak di muara kali Arup, dari awal sudah mendapat banyak perhatian dari zending. Sebelum zending datang ke tempat ini, Bestuur sudah membuat pengintaian dalam rangka persiapan untuk ekspedisi ke Pegunungan Bintang, yang membutuhkan pos persediaan di daerah ini.
Pada awalnya, pendeta Drost berpendapat bahwa pos zending yang mau dibangun harus di daerah ini. Sudah sebelum dia melakukan perjalanan pertamanya ke daerah ini dengan kapal Ichthus, dia menjelaskan alasannya:
“Diharapkan secepatnya dibuka satu pos zending di suatu tempat di tengah-tengah daerah yang kita harapkan bisa bekerja. Saya belajar dari HPB di sini bahwa tempat yang cocok dapat ditemukan di kali Kasuari, persis di seberang muara kali Dawi di kali Kasuari. Kita bisa sampai di sana dengan kapal. Perjalanan dari sini ke sana makan kira-kira 3 hari, dan pulang dua hari.”
Sekarang lebih dahulu pos zending didirikan di Kouh, di tempat yang terletak di tepi area sasaran. Tapi itu terutama untuk membatasi area zending dari area Misi. Pusat kerja zending masih tetap[ diharapkan di wilayah kali Kasuari. Pemerintah juga mempertimbangkan untuk membuka pos pemerintah di sana dalam waktu dekat dengan maksud untuk mengendali seluruh wilayah utara dan selatan Sungai Arup, tempat tinggal masyarakat Wanggom dan Kombai.
Ketika Klamer tiba, semua rencana ini dipercepat. Bersama dengan dia, Drost segera mengunjungi kampung Arup. Dalam ‘Rencana Pembangunan’ yang disusun Drost dan Klamer pada 13 Agustus 1958, mereka telah menyatakan bahwa zending akan membutuhkan seorang guru untuk pos misionaris di Arup, dan dalam jangka waktu lama mereka bahkan mengemukakan kemungkinan untuk membangun sebuah rumah sakit di sana dengan seorang dokter. Tentu saja, mereka tidak membicarakan rencana-rencana ini dengan penduduk kampung. Namun orang Arup tentu merasakan perhatian khusus dari Bestuur dan zending terhadap kampung mereka.
Sayangnya, lokasi kampung Arup tidak sesuai, karena tiap saat kali Digul banjir tempat itu terendam. Itu sebabnya mereka mencari suatu lokasi di bukit yang lebih tinggi. Mereka tampaknya telah menemukan tempat seperti itu sekitar 2 jam lebih jauh ke atas di pinggir kali Digul.
Firiwage
Kontak yang penuh harapan
Bersama dengan Kouh dan Arup, Firiwage dapat membanggakan kontak paling awal dengan zending. Sebelumnya Bestuur sudah pernah ke sini, tetapi hal itu belum menghasilkan pembentukan kampung. Dalam perjalanannya ke kali Dawi, HPB dengan rakit terapung menuruni kali ini dan kali Kasuari dan melewati tempat ini. Di kemudian hari, orang-orang di sini masih ingat. Tetapi karena mereka bersembunyi di belukar ketika dia dengan rakitnya lewat, HPB saat itu gagal melakukan kontak dengan mereka.
Pada tanggal 7 September 1957, Drost dengan kapal Ichthus naik kali Kasuari. Sore hari sekitar pukul 5 mereka sampai di dekat muara kali Dawi dan menemukan suatu tempat dengan beberapa rumah tinggi. Ketika air di kali turun dengan cepat, kapal Ichthus kandas di tempat batu kerikil. Selama 10 hari mereka terjebak di sana, di tengah wilayah yang tidak mereka kenal. Itu bukan pengalaman yang menyenangkan, tetapi oleh berkat Tuhan, kesialan ini berakibat positif. Karena ketika hujan terus tidak mau turun, orang-orang dari rumah-rumah tinggi di daerah itu dengan hati-hati datang untuk melihat kwai itu. Drost sangat antusias telah bertemu mereka, dan ketika dia pergi, dia berjanji akan segera kembali.
Ternyata butuh waktu lama sebelum Drost kembali. Pada perjalanan keduanya dengan kapal Ichthus, Drost hanya sampai di kampung Arup. Baru pada tanggal 23 Februari 1958, menjelang akhir patroli panjang melintasi daerah Kombai bersama dengan Bestuur, dia lagi sampai ke tempat ini. Saat itu sudah mulai terbentuk kampung kecil yang terdiri dari 4 rumah, yang tampaknya tidak didiami secara permanen. Drost melanjutkan dengan patroli ke kali Murup. Kemudian bapak guru Meijer muncul dengan kapal Ichthus. Tetapi ketika patroli kembali dari atas, mereka semua pulang ke Tanah Merah.
Kecewa
Sejak saat itu, orang Firiwage sama sekali tidak mengetahui apa-apa lagi dari zending. Apakah sejarah 1953 akan berulang kembali? Pada tahun itu orang dari daerah ini turun ke Tanah Merah untuk mengundang bapak pastor datang ke daerah mereka. Dia memang setuju dan ikut mereka untuk mengunjungi daerah kali Kasuari. Tetapi sayanglah tidak terjadi kontak yang baik dengan para penduduk wilayah mereka. Dan kemudian pastor itu tidak pernah datang lagi.
Sekarang zending sudah beberapa kali datang ke daerah mereka, dan kunjungan-kunjungan itu sudah memberikan harapan tinggi kepada mereka. Tapi sudah sepi selama setengah tahun sejak kunjungan zending yang terakhir. Apa lagi, mereka mendengar bahwa orang kulit putih itu telah beberapa kali ke kampung Arup, dan bahwa ada banyak kegiatan zending di Kouh. Tetapi mereka sendiri tampaknya tidak diperhatikan lagi.
Oleh sebab itu mereka memutuskan untuk mengirim orang ke Tanah Merah. Mereka melewati kampung Arup, melewati kampung Kouh, karena mau berbicara dengan bos zending. Apakah zending masih ada? Dan kapan zending mau datang ke Firiwage lagi?
Mereka tidak mendapatkan jawaban yang sangat memuaskan. Zending agak sibuk dengan pembangunan rumah di Tanah Merah, dan semua perhatian zending tertuju pada Kouh dan Arup. Sebenarnya saat itu zending tidak ada waktu untuk datang ke Firiwage. Baru pada bulan Februari 1959 Drost mengunjungi kampung ini lagi dengan kapal Ichthus.
Tanah Merah
Pembangunan
Tanah Merah saat itu pusat kehadiran zending. Semua patroli berangkat dari sini. Semuanya diatur di sini. Keluarga Drost dan Meijer sudah tinggal di sini selama beberapa waktu, dan sekarang mereka sibuk membangun rumah untuk dua pendeta baru, Klamer dan Van Benthem, yang segera mau datang ke Tanah Merah bersama dengan keluarga mereka. Kedua pendeta dulu rencana ke Kalimantan Barat untuk pekabaran Injil di situ, tetapi karena ketegangan hubungan antara pemerintah Belanda dan Indonesia, mereka tidak berhasil memperoleh visa. Itu sebabnya mereka sekarang datang ke Papua untuk menguatkan tim zending di situ. Drost dan Meijer tentu senang dengan kedatangan mereka, tetapi langsung harus menyiapkan penginapan untuk mereka. Selain itu, gudang Bestuur di pinggir kali Digul, yang sampai saat itu mereka boleh pakai untuk menyimpan barang zending, tidak lagi tersedia bagi mereka karena kedatangan ekspedisi ke Pegunungan Bintang, jadi perlu mereka bangun semacam gudang zending.
Drost dan Meijer cukup sibuk dengan mengatur semuanya itu. Apa lagi, istri Drost hamil tua sehingga untuk sementara waktu Drost tidak sempat pergi kemana-mana. Tetapi pada bulan Agustus, sesudah istrinya melahirkan anaknya, dia pergi ke Kouh untuk sementara menggantikan Meijer.
Mappi
Sampai saat itu, zending belum pernah pergi ke kali Mappi, meskipun dalam perselisihannya dengan pastor Thieman, Drost menyebutkan Danau Mappi sebagai perbatasan antara Misi dan zending. Biasa perjalanan-perjalanan zending dari Kouh mengambil rute yang lebih ke utara, ke Werarop dan ke kali Manggono.
Bestuur secara teratur kirim patroli polisi ke kali Mappi. Suasana di daerah itu tetap tidak tenang dan selalu ada berita-berita mengenai kelompok-kelompok pemburu kepala. Pada bulan September, HPB Peters sekali lagi perlu pergi ke sana karena situasi mengancam akan lepas kendali. Karena tidak ada kapal pemerintah yang tersedia pada waktu itu, kapal Ichthus membawa Peters dan patrolinya ke kampung Mariam. Dari sana mereka masuk hutan menuju ke kali Mappi.
2.
BERSAMA KE KOUH
Jan dan Henny ke Kouh
Setelah dia untuk pertama kalinya mengumpulkan orang-orang di Kouh untuk mulai pekabaran Injil di situ, pada hari Senin itu Drost harus kembali ke Tanah Merah untuk menghadiri kunjungan gubernur baru, Platteel. Drost adalah anggota panitia sambutan; juga Klamer dan Meijer akan diperkenalkan kepada pejabat tertinggi di Nederlands Nieuw-Guinea itu. HPB dan dokter dari Mindiptana juga hadir. Malam berikutnya mereka semua bertamu ke Drost.
Kemudian Drost kembali ke Kouh. Mereka telah sepakat bahwa terus akan ada seorang zending di kampung itu. Klamer dan istrinya juga ikut, dan bersama-sama mereka mengunjungi kampung Arup selama beberapa hari.
Pada tanggal 3 September, Drost diganti lagi oleh Jan Meijer yang kali ini datang bersama istrinya. Mereka berencana untuk tinggal di Kouh selama sekitar lima minggu. Istri Drost dan dua anak sulungnya Henk dan Jaap ikut datang untuk menjemput suami dan ayah mereka. Dua hari kemudian keluarga Drost berangkat ke Tanah Merah lagi. Jan dan Henny Meijer tinggal di Kouh, bersama dengan pembantu mereka Embok dengan istri dan anaknya.
Khususnya untuk Henny, tinggal di Kouh untuk beberapa minggu itu merupakan suatu petualangan yang menegangkan. Bagaimana dia akan mengalaminya?
Henny
Henny Kieft lahir pada 15 Juli 1935 dan dibesarkan dalam keluarga bersama dengan enam adik-kakak: dia memiliki seorang kakak perempuan dan lima adik laki-laki. Ibunya menjadi janda pada usia dini ketika suaminya terbunuh di kamp Jerman dalam Perang Dunia II. Oleh karena itu, masa kecil Henny tidaklah mudah.
Dengan dukungan keluarganya dia ikuti kurus pelatihan guru taman kanak-kanak. Pada hari Senin Pantekosta 1955 dia bertunangan dengan Jan Meijer. Ketika setahun kemudian kembar tiga lahir di keluarga saudara laki-laki Jan dan mereka sangat membutuhkan bantuan, dia mengundurkan diri dari pekerjaannya di Groningen dan pergi membantu di sana.
Jan dan Henny menikah pada tanggal 15 Agustus 1957. Sebulan kemudian pasangan muda itu berangkat dengan kapal ke Papua; mereka tiba di sana pada tanggal 14 November setelah perjalanan yang luar biasa. Beberapa hari kemudian mereka naik pesawat Kroonduif ke Tanah Merah.
Keluarga Drost tidak hanya senang dengan kedatangan Jan, tetapi juga sangat senang dengan Henny. Drost kemudian menulis:
Dalam sepuluh bulan dia bersama kami, kami mencintainya. Karena perilakunya yang tulus, karena keceriaannya, karena kerendahan hatinya, ya, karena begitu banyak karunia yang telah TUHAN berikan kepadanya dan di dalam dia kepada kami. Dia bukan seseorang yang mengedepankan dirinya. Dengan diam-diam dia bertindak menurut jalannya sendiri. Namun keriangannya dan sifat suka bermain-main sering menulari kami. Dan kami tahu: semuanya itu berdasarkan iman yang tenang dan kepercayaan pada Tuhan dan Juruselamatnya; dia selalu suka menyanyi tentang Dia. (…)
Dia dapat duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian ketika saya dan suaminya mendiskusikan berbagai rencana kerja dan bersama-sama mencari jalan untuk mengatur pekerjaan itu. Kadang-kadang dia ikut berbicara, dan dari apa yang dia katakan menjadi jelas bagaimana ia tertarik pada kemajuan pekerjaan itu.
Penuh kepercayaan
Henny sebenarnya sedikit khawatir tentang apa yang dia dapat harapkan. Semuanya begitu tidak diketahui. Dia sepenuhnya mendukung cita-cita zending suaminya, yang nanti akan mengajar anak-anak sekolah; tapi apa yang harus dia sendiri lakukan di Kouh?
Selama bulan-bulan itu di Tanah Merah, dengan perlahan dia mulai terbiasa dengan gagasan bahwa dia akan segera tinggal di Kouh. Beberapa kejadian membantunya dalam hal ini. Pertama, kunjungan kilat yang tak terduga yang dia buat ke Kouh dengan helikopter, waktu Jan tinggal di situ. Kemudian dia terlibat dalam pemeliharaan Landanuop, ketika Jan membawa gadis yang terbakar parah itu dari Kouh untuk dirawat di Tanah Merah. Dan belum lama dia ikut pergi dengan kapal Ichthus untuk menjemput suaminya di Kouh, pada akhir kunjungannya yang sebelumnya.
Cerita-cerita antusias dari Jan dan sikap positifnya membuat dia sendiri juga ingin ke sana, sehingga dia mengikuti suaminya dengan penuh semangat, meskipun dia masih agak ragu-ragu. Bagaimana dia akan mengalaminya? Apakah dia akan dapat tugas sendiri di sana?
Mulai bekerja
Sekali di Kouh dia tidak perlu khawatir lagi. Kerja itu datang padanya. Dia mengajar para gadis di kampung dasar-dasar teknik menjahit. Dia mengajar ibu-ibu kampung merawat bayi mereka secara higienis. Dan hampir setiap sore dia pergi mandi di kali Digul bersama dengan ibu-ibu dan anak-anak perempuan; memang dia tidak begitu suka berenang, tapi dia mau mengajar mereka bahwa penting untuk pergi mandi tiap-tiap hari.
Dia juga membantu Jan dengan persiapan akhir untuk pendidikan anak-anak kampung. Bersama-sama mereka merancang metode untuk permulaan pertama berdasarkan sistem lotto. Untuk itu mereka menggunakan sejumlah kata dari benda-benda yang dipakai oleh orang kampung. Mereka membuat gambar-gambar di potongan papan keras, dan kata-kata itu mereka tulis di setruk-setruk; murid-murid nanti harus cocokkan struk itu dengan gambarnya.
Sesudah beberapa hari mereka sudah dapat pindah dari pasanggrahan ke rumah zending itu. Setelah dua minggu, Jan menulis surat kepada Drost dan Klamer di Tanah Merah bahwa mereka baik-baik saja.
Membangun hubungan
Orang-orang di desa sangat tertarik dengan apa saja yang dilakukan orang kulit putih itu. Di sisi lain, Jan dan Henny tunjuk perhatian besar terhadap segala hal yang dibuat oleh orang di kampung. Dengan demikian, ikatan yang telah tumbuh pada kunjungan sebelumnya menjadi semakin kuat. Juga pengalaman Landanuop yang sementara itu telah sembuh dari luka-luka bakarnya itu menyumbang kepada hubungan yang baik dengan masyarakat kampung.
Penting juga bagi Jan dan Henny untuk membangun hubungan yang baik dengan anak-anak kampung. Hal itu tidak terlalu sulit, karena tiap-tiap hari anak-anak bermain di sekitar rumah zending, dan mereka sangat terbuka dan ingin tahu segalanya.
Ikatan erat juga berkembang antara Henny dan ibu-ibu kampung. Mereka sungguh-sungguh mulai mencintainya. Cara mereka memperlakukannya menunjukkan kepercayaan mereka: mereka tidak menyapanya dengan kata formal nyonya, tetapi dengan kata mama yang jauh lebih intim.
Kouh, Kali Digul. Di sebelah kiri pasanggrahan kelihatan. Jauh ke depan pohon waringin yang di kemudian hari ditebang.
3.
20 SEPTEMBER 1958
Hari seperti hari-hari lain
Ketika Jan dan Henny membuka Alkitab pada hari Sabtu pagi itu seperti mereka biasa buat setiap pagi, mereka bersama-sama membaca ayat-ayat yang terkenal dari 1 Korintus 15:42-44,
Tubuh ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan.
Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan.
Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan.
Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah.
Kemudian mereka pergi bekerja. Pagi itu berlalu sama seperti hari-hari sebelumnya. Seperti mereka sudah biasa, setelah tidur siang mereka memakai pakaian renang, mengenakan handuk dan jalan ke kampung dengan sebungkus sabun di tangan. Orang di kampung sudah tahu ritual ini dan segera sekelompok anak-anak berjalan bersama mereka ke kali Digul.
Sudah selama beberapa waktu air di kali Digul rendah dan tenang. Dengan hati-hati mereka turun dinding tebing yang curam. Sekitar tiga meter lebih rendah, mereka tiba di tempat pasir yang datar. Di sisi utara lebarnya sekitar tiga meter; Jan dengan anak-anak laki-laki pergi mandi di tempat itu. Lebih ke selatan, gosong itu melebar hingga sekitar 8 meter. Itu juga tempat orang kampung mengikat perahu-perahu mereka dengan tali rotan panjang, untuk menghindari perahu-perahu itu akan hanyut kalau kali mulai banjir. Itulah tempat di mana Henny bersama anak-anak perempuan masuk air. Dalamnya air di tempat pasir sore itu kira-kira setinggi lutut. Jadi sangat aman.
Akhir yang tiba-tiba
Di tempat di mana Jan dengan anak-anak laki-laki sedang mandi, semuanya ceria seperti pada hari-hari lain. Mereka bermain dan bergelut-gelutan di dalam air, mereka menyabuni diri mereka sendiri, dan mereka semua menikmatinya. Saat itu sekitar jam empat.
Lalu tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dari tempat Henny dan anak-anak perempuan sedang mandi. Jan dengan anak-anak kali-laki cepat lari ke situ. Ketika mereka sampai di sana mereka menemukan dengan ngeri mereka bahwa Henny hilang! Gadis-gadis itu mengatakan bahwa dia tiba-tiba pingsan. Langsung semua orang mulai mencari, berenang, menyelam, menusuk dengan tongkat di dalam air. Orang-orang dari kampung juga sudah mendengar teriakan itu dan datang lari ke kali. Ada beberapa yang masuk ke perahu untuk mencari lebih jauh di kali.
Semuanya sia-sia, dan perlahan Jan mulai menyadari bahwa inilah akhirnya. Ketika hari mulai gelap, mereka harus menghentikan pencarian. Mereka tidak bisa buat apa-apa lagi.
Keesokan paginya, sebelum matahari terbit mereka mulai cari lagi. Tapi usaha mereka tidak menghasilkan apa-apa. Henny rupanya sudah dibawa oleh arus.
4.
KECEMASAN
Kouh
Di dalam rumah zending yang sekarang begitu sunyi, Jan duduk terguncang menatap ke depan. Di kemudian hari, dia hampir tidak bisa ingat apa-apa lagi dari hari-hari pertama itu. Dia sangat terpukul, hancur karena kesedihan, dan tidak mengambil tindakan apa pun. Dia bahkan tidak berpikir untuk mengirim berita ke Tanah Merah.
Kepala kampung Wanggumob langsung mengambil tindakan yang diperlukan. Dia mengirim utusan dengan perahu ke Tanah Merah untuk menyampaikan apa yang telah terjadi. Mereka diperintahkan untuk secepat mungkin berdayung ke Mariam. Di sana mereka harus cari pendayong baru dan meneruskan perjalanan ke Tanah Tinggi, dan di tempat itu mereka harus cari pendayong baru lagi untuk trayek terakhir ke Tanah Merah.
Wanggumob juga atur bahwa tiga orang kampung akan menjaga Meijer untuk memastikan dia tidak lari ke hutan karena kesedihan. Salah satunya adalah kepala lama Mokwarob. Siang malam mereka tinggal dekat Meijer; malam mereka tidur di pendopo rumah zending.
Anak-anak kampung tidak diperbolehkan bermain di sekitar rumah zending pada hari-hari itu.
Seluruh kampung terkejut karena kematian tiba-tiba Henny yang baru saja mereka belajar kenal. Tiap-tiap hari waktu matahari terbit dan sore hari saat matahari terbenam ada ratapan di seluruh kampung: mamaóóó – oh mama kami! Pada hari-hari itu tidak ada satu orang pun yang naik perahu atau yang masuk hutan, dan terus ada orang yang tinggal dekat Jan. Semuanya itu menunjukkan betapa pentingnya tempat yang Henny telah memperoleh di dalam kehidupan mereka dalam beberapa minggu dia ada di sana.
Mariam
Kebingungan
Menjelang hari Senin sore, tanggal 22 September, kapal Ichthus tiba di Mariam. Jakob Deda telah berjanji dengan HPB Peters untuk menjemput dia dari Mariam; sore hari itu patroli rencana kembali ke sana dari perjalanan ke Mappi.
Dia baru saja tiba ketika ada datang perahu dari Kouh. Itulah utusan yang dikirim oleh Wanggumob, dan dari mereka Jakob Deda mendengar tentang peristiwa mengerikan di Kouh. Dia sangat terkejut dan memutuskan untuk langsung berlayar ke Kouh.
Tapi sebelum dia bisa berangkat, HPB Peters dengan patrolinya sudah muncul. Mereka capai dari perjalanan yang berat dan mendebarkan, karena di dekat kali Mappi mereka bertemu dengan sekelompok besar orang hutan bersenjata lengkap yang siap pergi berburu kepala. Tiba di Mariam, mereka segera mendengar berita apa yang baru saja diterima dari Kouh: istri bapak guru Meijer telah tenggelam mati!
Peters segera mengambil tindakan. Dia kirim salah satu pejabat dengan beberapa orang lain dengan perahu ke Tanah Merah dengan surat kecil untuk Drost dan Klamer. Walaupun lelah dari perjalanan di hutan, dia dan pembantunya Janten naik kapal Ichthus. Sekitar jam 7 malam mereka berlayar pergi menuju Kouh.
Ditemukan
Dengan senter mereka menyinari air kali Digul. Untungnya malam itu bulan terang.
Mereka sudah hampir setengah jalan ke Kouh ketika ada sesuatu di dalam air yang tampak menyala. Ketika mereka mulai mendekat, ketiga orang di kapal pada saat yang sama melihat apa adanya: itu adalah rambut pirang muda Henny. Jakob Deda mengemudi dengan memalingkan mukanya. Hanya Janten, mantan pembunuh yang dibebaskan dari penjara, berani masuk ke dalam air untuk membawa mayat itu ke atas kapal. Peters melemparkan kelambu kepadanya untuk membungkus mayat itu di dalamnya. Sesudah mereka mengangkatnya ke atas kapal, mereka menempatkannya di dalam kabin kapal.
Karena mayatnya sudah begitu lama terapung di kali, Peters menilai tidak dapat pertanggungjawabkan untuk melanjutkan perjalanan ke Kouh. Jadi mereka berbalik dan berlayar kembali ke Tanah Merah. Setibanya di sana, mereka membaringkan jenazah di gereja Maluku.3
Tanah Merah
Berita duka
Pada jam dua pagi hari Selasa, Drost dan Klamer dibangunkan oleh seseorang yang berdiri di pintu. Ternyata itu seorang pejabat pemerintah yang membawa surat dari HPB Peters. Ketika mereka membacanya, mereka kaget dan langsung betul-betul bangun. Henny tenggelam mati!
Satu jam kemudian, Peters sendiri datang. Bersama-sama mereka merundingkan apa yang harus dilakukan. Diputuskan bahwa Drost akan segera berangkat ke Kouh untuk menjemput Jan. Karena Jakob Deda sudah bekerja terus tanpa istirahat sejak Senin pagi sehingga dia perlu tidur dulu, kapal Ichthus sementara tidak tersedia. Oleh sebab itu, Bestuur menyediakan kapal cepat milik pemerintah. Dokter Bijkerk, yang pada hari Senin baru kembali dari suatu patroli, akan ikut ke Kouh, karena mereka tidak tahu dalam keadaan apa mereka akan menemukan Jan. Pendeta Klamer diberi tugas untuk mengatur segalanya untuk pemakaman.
Persiapan
Hari itu Selasa 23 September, persis satu tahun setelah Jan dan Henny dengan penuh semangat berangkat dari Belanda menuju ke Papua. Hari ini mayatnya Henny perlu dikuburkan. Karena dia telah berada di dalam air selama lebih dari 50 jam, sayangnya tidak mungkin menunda pemakamannya sampai Jan akan tiba dari Kouh.
Banyak hal harus diatur. Orang-orang di penjara disuruh oleh Peters untuk membuat peti mati. Ada lain yang ditugaskan untuk membersihkan jalan dan tempat pemakaman di seberang bandara. Bersama Klamer, Peters pilih tempat di sana: di sebelah makam anak perempuan dari Kailola yang meninggal berusia 6 tahun. Kailola adalah keluarga yang membantu Drost waktu dia tiba di Tanah Merah.
Semuanya memakan waktu cukup lama, dan upacara pemakaman dimulai lebih lambat dari yang direncanakan.
Ibadah
Di tengah gereja peti mayat ditaruh di atas suatu para-para kayu. Peti itu dilapisi dengan linen hitam, dan suatu salib perak dijahit pada linen penutupnya. Di atas peti itu terletak empat krans bunga besar dan sejumlah karangan bunga. Gereja penuh sesak dan banyak orang harus berdiri di luar.
Ibadah dimulai dengan dua ayat dari nyanyian rohani 139 (Kijne):
Ke manakah menusia mencari s’lamat juga?
Kepada-Mu, kar’na Anak-Mu membuka jalan surga
Ya amin, ya, di Golgota ternyata pengasihan,
Di sanalah anugerah menjamin keampunan.
Kemudian Klamer membaca Roma 8:28-39,
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (…)
Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Klamer berkhotbah. Setelah berdoa mereka menyanyikan Mazmur 68:2
Tetapi orang yang benar
Bersorak-sorai bergemar
Di hadirat Allah Hua!
Pemakaman
Kemudian semua pergi ke kuburan. Di depan adalah usungan jenazah, ditutupi dengan bunga dan karangan bunga, dibawa oleh tujuh orang dari penjara. Di belakangnya jalan ibu Drost dengan ketiga anaknya yang tertua, Klamer dengan istrinya, dan Jakob Deda dengan keluarganya. Kemudian para pejabat Bestuur, Misi, dan masyarakat Tanah Merah. Sebuah arak-arakan yang panjang.
Di makam, Peters atas nama seluruh masyarakat Tanah Merah menunjukkan rasa ikut berduka cita atas kematian Henny. Saudara Mallo berbicara atas nama orang Kristen Papua, dan kemudian pengawas sekolah atas nama Direktur Kebudayaan. Atas nama keluarga, Klamer mengucapkan terima kasih atas prihatin yang besar dan pemakaman rajani. Kemudian dia membaca Pengakuan Iman Rasuli dan doa Bapa Kami.
Sekitar jam 2 siang upacara selesai dan semua orang bubar lagi.
Turut berduka cita
Melalui hubungan radio-SSB, Residen bagian selatan Nederlands Nieuw-Guinea, Boendermaker, berbicara panjang lebar dengan HPB Peters, karena dia mau tahu secara rinci tentang apa yang telah terjadi. Dia suruh Peters untuk menyampaikan rasa ikut berduka cita yang tulus kepada keluarga. Boendermaker memberitahukan semuanya kepada Gubernur, yang kirim telegram turut duka cita. Berita-berita seperti itu juga diterima dari saudara-saudari di Hollandia dan di Fak-Fak. Warta berita dari Radio Omroep Nieuw-Guinea juga melaporkan kecelakaan itu.
Pertemuan malam
Istri pendeta Drost hari itu sibuk sekali dengan anak-anaknya. Mereka sama sekali tidak seperti biasanya dan terus bertanya: Mama, di mana Tante Henny sekarang? Tentu saja dia sendiri juga sangat terkejut.
Sekitar jam 8 malam, suaminya kembali dari Kouh bersama Jan Meijer. Malam itu mereka semua berkumpul di rumahnya. Drost membaca Mazmur 27. Dalam Mazmur itu ada kata-kata orang yang dari dalam kesusahan hati berseru kepada Tuhan, tetapi juga ditemukan kata-kata penghiburan dan dukungan:
TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? (…)
Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; (…)
Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu.
Maka sekarang tegaklah kepalaku, mengatasi musuhku sekeliling aku; dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN.
Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku! (…)
Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, dan tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku. (…)
Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup!
Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!
Drost juga membaca sekali lagi Roma 8. Dia menghibur dan menguatkan Jan, dan berdoa bersama dengan dia dan untuk dia. Kemudian mereka duduk sampai larut malam berbicara tentang apa yang terjadi di Kouh.
Kematian Henny memberikan kesan yang mendalam pada dokter Bijkerk. Dia sendiri bukan orang yang religius, tetapi bersama dengan istrinya dia ingin datang untuk berbicara tentang semua yang telah terjadi. Jadi dua hari kemudian mereka semua duduk bersama lagi. Berjam-jam mereka berbicara tentang iman dan tentang satu-satunya jalan untuk manusia dapat diselamatkan dari kehancuran.
Sebab
Jan berbicara panjang lebar dengan dokter Bijkerk tentang apa yang sebenarnya dapat menyebabkan Henny tenggelam. Di Tanah Merah saat itu tidak ada sarana untuk melakukan otopsi. Jadi dia harus berpatokan pada apa yang dia dengar dari orang-orang di Kouh dan dari Jan.
Yang jelas itulah bahwa Henny tidak masuk air terlalu dalam. Mandi di tempat itu sangat dibenarkan: orang masih bisa berdiri di sana hingga empat meter ke dalam kali Digul.
Dia menghilang diam-diam di bawah air, tanpa berteriak atau menggelepar, dan tidak pernah muncul kembali ke permukaan air. Dia pasti tiba-tiba menjadi tidak sehat dan kehilangan kesadaran. Apakah itu akibat serangan jantung? Atau disebabkan oleh serangan malaria akut? Menurut Bijkerk, itu sangat mungkin. Tapi itu tetap dugaan.
Kouh
Schoorl,4 HPB Mindiptana, datang berbicara dengan Jan tentang apa yang terjadi. Dia ingin mendengar bagaimana reaksi penduduk Kouh atas kematian Henny. Ketika Jan menceritakan bahwa mereka setiap pagi dan sore meratapi kematian Henny, dia jawab bahwa dia pernah menyaksikan hal yang sama di Muju kalau ada seorang terkemuka yang meninggal dunia. Dan kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang meninggalkan kampung pada hari-hari itu menurut dia menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak memikirkan ilmu sihir. Andaikata mereka sudah membuat sihir, mereka akan masuk hutan agar tidak akan dipersalahkan.
Dalam pandangan dunia orang Kouh pada masa itu, hanya ada satu hal yang menyebabkan kematian, yaitu suangi, ilmu sihir. Tidak ada orang yang mati dengan sendirinya, hal-hal alami yang menyebabkan orang mati, seperti kesakitan atau kecelakaan, mereka tidak diakui. Orang tidak akan tenggelam mati dengan sendirinya. Hanya kematian bayi kecil dan orang yang sangat tua itu diterima. Tetapi kematian Henny menghadirkan masalah yang jauh lebih besar bagi mereka: bagaimana mungkin seorang kwai bisa mati?5
Bagaimanapun, mereka sendiri tidak melakukan sihir. Dan kenapa harus mereka, karena mereka sangat senang dengan kehadiran orang kulit putih di kampung mereka!6
5.
DIHENTIKAN?
Tercengang
Pada Selasa pagi, Klamer sudah segera mengirim telegram ke Belanda:
Tadi malam diterima berita bahwa istri Meijer pada hari Minggu7 sore di Kouh masuk air dan tenggelam. Mayatnya ditemukan tadi malam. Drost pergi ke Kouh untuk menjemput Meijer. Pagi ini pukul 11.00 ibadah di gereja dan pemakaman. Mohon memberi tahu keluarga. Roma 8:28-39.
Berita itu diterima dengan terkejut. Kabar mengerikan itu diumumkan pada malam hari itu pada pada ibadah doa untuk Sekolah Tinggi Teologi di Kampen. Hari berikut, waktu banyak orang berkumpul untuk merayakan hari besar sekolah itu, mereka sangat terpukul oleh berita kematian itu. Kejadian itu disebutkan dalam koran harian gereja nasional, dan pamili dan gereja memasang berita-berita duka di dalamnya. Semua orang sangat terkejut. Di dalam majalah-majalah zending orang menulis berita kenangan mengenai kehidupannya khususnya pekerjaannya di Papua.
Kenapa?
Di hampir semua berita kenangan, orang tidak bertanya-tanya bagaimana hal itu dapat terjadi, tetapi mengapa Henny harus mati. Pertanyaan itu juga muncul di kalangan zending di Tanah Merah. Dalam renungannya di ibadah pemakaman, Klamer mengatakan:
Dan mungkin kamu bertanya-tanya mengapa ini terjadi, mengapa dia meninggal di usia yang begitu muda?
Dan, katanya, pertanyaan itu pasti juga muncul di kalangan keluarga di Belanda. Pada akhir renungan itu Klamer mencari jawaban:
Mengapa saudari kita Meijer harus mati? Kita mengetahuinya dari Firman Tuhan. Dialah, yaitu TUHAN, membawa dia kepada-Nya, karena inilah waktunya. Semua waktu, termasuk waktu kehidupan kita, adalah di dalam tangan TUHAN. Siapa pun yang percaya ini, akan dihibur bahkan pada kuburan terbuka. Orang itu memiliki pandangan kepada Bapa di surga dan hidup dalam pengharapan akan hidup yang kekal.
Itu juga merupakan penghiburan bagi saudara Meijer, untuk keluarga mereka, untuk kita semua yang pernah mengenal dan mencintainya. Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu – termasuk kematian – untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
Pukulan berat untuk kerja zending
Kematian Henny pertama-tama merupakan pukulan pribadi bagi Meijer, tetapi juga pukulan bagi seluruh pekerjaan zending. Apa yang Tuhan inginkan? Apa pengaruhnya kemalangan ini terhadap kemajuan kerja zending yang sangat dikena dan rusak oleh meninggalnya ini? Bahkan ada orang yang bertanya-tanya apakah ini bukan indikasi dari Tuhan bahwa mereka cara kerja zending mungkin salah:
Apakah itu baik bahwa kita menempuh jalan ini, dan apakah kita boleh lanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh? Atau: bisakah kita meneruskan di jalan ini kalau terjadi hal semacam ini?
Pertanyaan semacam ini juga ada di kalangan tim zending itu sendiri. Tahun-tahun kemudian, Nyonya Drost berkata:
Saya sendiri saat itu mempunyai kecenderungan untuk berhenti dengan kerja zending ini jika ada satu dari tim kecil kami yang diambil dari kami…
Ada lain yang berharap dan berdoa agar pekerjaan dapat berlanjut:
Kami berharap api tidak padam. Kiranya TUHAN memberikan mereka semua kekuatan untuk maju di jalan-Nya. Dan pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan oleh kematian ini yang mendadak mendadak kiranya dijawab dari Firman Tuhan, sehingga para pekerja di kerajaan Tuhan ini terus melihat jalan mereka dengan jelas dan bergerak maju di dalamnya.
Sudah pada hari berikutnya Drost merumuskan jawaban atas semua keraguan ini:
Jika kita percaya amanat dan janji Allah, suara hati kita, yang tiap-tiap kali bertanya lagi “Mengapa, Tuhan?” akan berdiam diri. Dan kemudian tinggal satu hal saja, yaitu pengakuan yang kemarin (pada kumpulan Selasa malam itu) kami nyanyikan bersama (Mazmur 73:11b, khuruf-khuruf besar dipakai oleh Drost):
Walaupun roboh tubuhku,
Meskipun hari tak teguh,
‘NGKAU GUNUNG BATUku BAKA,
BAGIANku selamanya.
6.
KERJA TUHAN BERLANJUT!
Pulang ke Belanda?
Apa berikutnya? Klamer berpendapat tegas bahwa Jan sekarang harus kembali ke Belanda. Ada lain yang memberikan saran yang sama walaupun dengan sedikit keraguan. Jan sendiri sama sekali tidak setuju dengan saran itu:
Perasaan saya kurang lebih bahwa kalau saya akan pulang itu akan menjadi semacam pengkhianatan. Saya ingin kembali ke Kouh dan melanjutkan kerja atas dasar hubungan baik yang telah tumbuh di sana.
Dia tidak mau melepaskan pekerjaannya, melainkan meneruskannya:
Saya merasa jika saya berhenti, kematian Henny dari segi tertentu tidak ada gunanya. Menurut perasaan saya, satu-satunya tanggapan atas kematiannya adalah bergerak maju dengan pelaksanaan rencana yang sudah dibuat.
Dalam surat pertama yang dia kirim ke Belanda setelah kematian Henny, ia menulis:
Apa yang dilakukan oleh kepala Kouh benar-benar tak terbayangkan. Dia sangat tersentuh, tetapi pada saat yang sama menanggapi semuanya itu dengan kepala dingin. Dialah yang mengatur pencarian oleh orang kampung. Dialah yang mengurus orang membawa berita kematian itu ke Tanah-Merah. Dialah yang memerintahkan orang kampung apa yang mereka boleh lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan. Dia sendiri secepat mungkin pulang dari kampung untuk bersamaku lagi dan menjagaku. Dia telah membantu dengan sangat baik. Oleh karena itu tidak akan sulit bagi saya untuk pergi kerja di sana lagi. Sekarang saya juga harus menunjukkan kepada mereka apa artinya menjadi seorang Kristen. Untuk sementara saya masih akan tinggal di sini (di Tanah Merah), dan kemudian saya akan melakukan kunjungan singkat ke sana bersama dengan pendeta Drost. Saya tidak boleh menyangka kemampuanku lebih besar daripada kenyataan. Tapi benar-benar sekali lagi menjadi lebih jelas bagi saya apa tugas saya di sini.
Kouh
Pada tanggal 1 Oktober, Klamer dan istrinya bersiap-siap untuk pergi ke Kouh. Rencana mereka mau tinggal di sana hingga akhir bulan. Sebenarnya mereka sudah mau pergi lebih awal, tetapi keberangkatan mereka ditunda karena kematian Henny, dan juga karena Klamer menderita bisul yang telah tumbuh menjadi abses.
Ketika dia terus menderita bisul, perjalanan mereka harus ditunda sekali lagi. Oleh karena itu Drost sendiri pergi ke Kouh untuk kunjungan singkat. Pada tanggal 5 Oktober, dia berkhotbah di Kouh tentang arti kematian manusia. Karena kerja pembangunan rumah di Tanah Merah, keesokan harinya dia sudah harus kembali ke Tanah Merah, tetapi pada akhir minggu itu Klamer dan istrinya akhirnya bisa berangkat ke Kouh.
Sudah selama beberapa waktu tim zending mempertimbangkan rencana untuk membeli beberapa buah radio-ssb. Sekarang rencana itu diberikan prioritas tinggi. Selama mereka belum memilikinya, setiap dua minggu kapal akan mengunjungi kampung-kampung di mana berada pekerja zending. Mereka menganggap tidak baik lagi kalau ada yang tinggal di salah satu kampung tiga minggu atau lebih lagi tanpa hubungan dengan Tanah Merah.
Masa mengatasi trauma
Meijer pergi ke Hollandia untuk jemput keluarga Van Benthem. Sebenarnya, ini tidak perlu, karena keluarga Koops dan Boer tinggal di Hollandia dan mereka telah mengatur sambutan dan akomodasi untuk Van Benthem. Tapi ada baiknya Meijer sendiri mengunjungi mereka berdua karena mereka juga pernah mengenal Henny.
Bersama dengan Van Benthem, Meijer ikut pesawat dari Hollandia ke Merauke pada tanggal 7 November. Mereka tidak bisa langsung terus ke Tanah Merah, tapi kalau dipikir-pikir sesudahnya itu tidak terlalu parah. Meijer bisa memperkenalkan Van Benthem dengan kota Merauke dan orang-orang penting di sana. Dan dengan bersama-sama mengisi waktu, mereka belajar saling mengenal dengan baik. Hal itu akan membuahkan hasil untuk kerjasama di Kouh nanti.
Pada tanggal 13 November mereka tiba di Tanah Merah. Seminggu kemudian Drost, Meijer, dan Van Benthem berangkat ke Kouh. Dari situ mereka juga melakukan kunjungan ke kampung Arup dan ke lokasi baru untuk kampung itu (Kawagit).
Tiba di Kouh, Jan disambut orang kampung dengan tangan terbuka. Ternyata segala sesuatu yang telah terjadi hanya membuat hubungan antara mereka semakin kuat.
7.
MEMPERINGATI
Kuburan pertama
Di menyeberang lapangan terbang di Tanah Merah adalah makam Henny yang sekarang hampir terlupakan. Pada awalnya dibersihkan secara teratur; ada sebuah batu kubur dengan namanya terukir di atasnya. Makam pertama di kalangan utusan zending. Itu tidak akan menjadi yang terakhir. Tapi seperti yang ditulis Drost pada hari-hari terharu itu:
Sekarang kita dapat terus lagi, untuk melanjutkan pekerjaan yang dipercayakan kepada kami oleh Kristus! Dan dalam semua pekerjaan kita, selalu kita harus ingat bahwa telah digali sebuah kuburan di Tanah-Merah, kuburan zending yang pertama!8 Supaya kita akan mengharapkan segala sesuatu hanya dari Dia yang telah berkata, “Aku menyertai kamu.” Supaya kita benar-benar akan menyerahkan segalanya dan menempatkannya semua di dalam tangan Raja surgawi kita yang kuat!
Perlawanan
Tiap-tiap kali lagi, Iblis mau mengecilkan hati para pekerja zending. Ketika pendeta Drost baru saja tiba di Papua, dia terima berita bahwa ayahnya telah meninggal. Hal yang sama juga terjadi pada Klamer, yang ketika dia berada di Kouh pada patroli pertama yang dia lakukan, menerima berita bahwa ayah istrinya telah meninggal. Dan justru saat kerja zending mulai terungkap dengan sangat bagus, mereka dikena pukulan terberat: Henny, salah satu dari tim mereka sendiri, tenggelam mati.
Tetapi pada saat yang sama, Tuhan tiap-tiap kali menunjukkan bahwa Dia menyertai mereka. Ketika Meijer, dari belas kasih kepada seorang anak perempuan yang terbakar parah sampai mati, mengambil risiko besar dengan membawanya dari Kouh ke Tanah Merah untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Karena berkat Tuhan, peristiwa itu membuahkan hubungan kepercayaan antara dia dengan orang kampung.
Dan waktu Meijer tinggal untuk beberapa minggu di Kouh dan seluruh masyarakat siap membalas suatu kematian dengan pergi berburu kepala, dan seminggu kemudian tampaknya kampung itu sendiri menjadi sasaran pemburu kepala dari Mappi, tangan Tuhan yang baik melindungi mereka: peristiwa itu tidak hanya berakhir dengan baik, tetapi ikatan dengan orang kampung justru menjadi lebih erat sebagai hasilnya.
Dan sekarang Tuhan menunjukkan lagi bahwa Dia tidak akan membiarkan Iblis menghancurkan pekerjaan yang Dia sendiri telah mulai di Kouh.
Segala sesuatu diubah-Nya menjadi kebaikan
Allahlah yang mengubah hal yang buruk menjadi baik! Justru melalui tiga peristiwa ini yang tegang dan mengasyikkan, Dialah yang memungkinkan ikatan antara Meijer dan orang-orang di Kouh berkembang menjadi landasan yang kokoh untuk pekerjaan zending di masa depan. Dan demikian juga halnya dengan relasi dengan banyak orang di Tanah Merah.
Drost waktu itu mengakhiri tulisannya dengan kata-kata berikut:
Kita tahu bahwa jerih payahnya saudari Meijer, bahkan dalam waktu singkat dia tinggal di sini, dalam persekutuan dengan Tuhan tidak sia-sia. Mungkin kematian ini akan berbuah abadi bagi masyarakat kampung Kouh. Kami berharap demikian, dan kami berdoa demikian!
Dan begitulah yang terjadi! Allahlah yang mengubah kemalangan ini menjadi kebaikan. Karena Dia tidak meninggalkan buatan yang Dia mulai kerjakan. Seperti tertulis dalam nas khotbah pada ibadah pemakaman:
Kita tahu, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. (Roma 8:28)
Sekarang kita hanya perlu mendengarkan nasihat dari Ibrani 13:7,
Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.
Dengan segala kerendahan hatinya, Henny Meijer juga termasuk pemimpin-pemimpin itu. Dalam gereja-gereja di Digul Atas, sejarahnya harus diceritakan menjadi ingatan akan dia dan teladan untuk generasi-generasi mendatang!
____
Catatan
- Menurut H. Venema, Yohofo kemungkinan besar kawin ke dalam keluarga istrinya, sehingga dia juga pakai nama marga Kinggo. Mowaloh (= Muyalo?) Kwanimba dan Kainop adalah dua tokoh penting lainnya pada era pembukaan kampung.
- Keduanya kemenakan orang Kombai yang memiliki dusun di muara kali Kouh (ipar).
- Di dalam gedung gereja itu, Drost dan Klamer secara teratur berkhotbah.
- J.W. Schoorl (1927-2018) bekerja dari tahun 1952-1962 sebagai pejabat Bestuur di Nederlands Nieuw-Guinea. Ia memperoleh gelar doktor pada tahun 1957 berdasarkan studie mengenai budaya dan perubahan budaya di wilayah Muyu. Dari tahun 1962-1988 ia menjadi Profesor Sosiologi Pembangunan di Universitas Bebas di Amsterdam.
- Menurut mereka, kwai bukan manusia biasa dan termasuk dunia roh.
- Mencolok bahwa Yusuf Kinggo, yang secara ekstensif menjelaskan sihir yang dibuat di Kouh pada zaman itu, tidak mengatakan sepatah kata pun tentang sihir berkaitan kematian istri Meijer. Rumahnya Yafukayo, paman dari Yusuf Kinggo dan sumber informasi utamanya, pada saat kematian istri Meijer tepat di sebelah rumah Meijer. Yusuf Kinggo Ia juga tulis bahwa orang Kouh saat itu bersikap positif terhadap kedatangan orang kulit putih.
- Baru setelah itu menjadi jelas bahwa kecelakaan itu telah terjadi pada hari Sabtu.
- Pada bulan Mei 1987, Peter Ensing, seorang utusan dari Verre Naasten di Kouh, meninggal dunia di Kediri di pulau Jawa; dia dimakamkan di Belanda. Pada tahun 2002 Merijn, putra Kees dan Alice van de Beek, tenggelam mati di Boma dan dimakamkan di sana. Salah satu anak dari keluarga dokter Louwerse di Kouh lahir mati. Selain peristiwa kematian dalam kalangan utusan-utusan zending dari Belanda, tentu ada orang Papua yang dipekerjakan oleh zending yang meninggal dunia juga.
Sumber
Publikasi:
- Drost, M.K., Ter gedachtenis – Bij het sterven van zuster H.S. Meijer-Kieft. Dalam: Ons Zendingswerk, 3e jg no. 5 Nopember 1958, hal. 4 dst.
- H.V., Bij het overlijden van mevrouw Meijer. Dalam: Ons Zendingswerk, 3e jg no 5 Nopember 1958 hal. 6.
- Hoeven, ds. J.H. van der, De dood wenkt ieder uur… Dalam: Mesoz stemmen, 3e jaargang no. 11 (Nopember 1958) hal. 81-82.
- Kinggo, Yusuf, De prediking van het evangelie in Kouh. Dalam: Sybe Bakker (red.) Op weg naar het Licht – Gedenkboek van de Gereformeerde Kerken in de classis Groningen ter gelegenheid van veertig jaar zending op Irian Jaya (1956-1996), Groningen 1996, hal. 35-62 (dengan catatan dan kata penutup oleh H. Venema)
- Peters, Frans H., Vervlogen verwachtingen. De teloorgang van Nieuw-Guinea in 1961-1962. Leiden 2010.
- Gereformeerd Gezinsblad: 1958, tgl 13-9, 25-9, 26-9 dan 4-10.
Pusat Arsip dan Dokumentasi Gereja-Gereja Reformed di Belanda (ADC):
- Benthem, J. van, rapporten. Zendingsarchief, Archiefnummer 78, doos 14.
- Drost, M.K., rapporten. Zendingsarchief, Archiefnummer 78, doos 56.
- Klamer, J., rapporten. Archief zendende Kerk Spakenburg-Zuid, Nummer 154, doos 10
- Meijer, J.W., rapporten. Archief Vereniging Mesoz, Archiefnummer 253, doos 5.
Informasi milik pribadi::
- Bijkerk, H., laporan patroli 1958.
- Dijken, Jaap van: buletin berita OZD, bulan Maret 2008
- Drost, Chr., pembicaraan ttgl 21-8-2019.
- Fanoy, A., maand- en kwartaalverslagen.
- Jongsma, D.J., Een bestuurlijk moeilijk ressort – De houding van bestuursambtenaren in het Boven-Digoelgebied op Nederlands-Nieuw-Guinea in conflicten tussen zending van de gereformeerde kerk (vrijgemaakt) en missie van de missionarissen van het Heilig Hart, 1956-1962. Tesis master (tidak diterbitkan)
- Klamer, J.: Riwayat hidupku (tidak diterbitkan)
- Kwanimba, Kolombu, e-mail bulan April 2020.
- Meijer, J.W., Autobiografi (tidak diterbitkan)
- Meijer, J.W., surat kepada OZD, 21 April 2008
- Meijer, J.W., e-mail 2020 dan bulan Juli 2022
–//–