Pembagian:
- Pengantar
- Wilayah yang tidak diketahui
- Jair
- Kekacauan di Kouh
- Kombai
- Epilog
Pengantar
Dengan meratap keras, seorang bapak datang berlari keluar dari hutan. Dia telah mengolesi dirinya sepenuhnya dengan tanah liat. Tak terkendali dia melemparkan dirinya ke tanah, menggaruk tanah dan dengan pekikan dia berteriak apa yang telah terjadi: kelompok pemburu kepala manusia telah membunuh suatu keluarga di Werarop: seorang bapak, istrinya, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Mereka adalah kemenakan dari beberapa orang di sini.
Kampung langsung kacau balau. Ibu-ibu melolong liar, laki-laki melompat keluar dari rumah mereka dengan busur dan anak panah dan tombak besar, pakai hiasan kulit kuskus dan bulu kasuari. Mereka siap untuk langsung membalas pembunuhan keluarga itu!
Kouh, 2 Juli 1958.
1. Wilayah yang tidak dikenal
Suku-suku damai
Sudah pada eksplorasi militer pada tahun 1909 orang Belanda temukan daratan kering di pinggir kali Digul yang agak luas, sekitar 35 kilometer ke selatan dari Kouh. Pada tahun 1926, patroli pengintai pergi ke situ untuk memeriksa lokasi itu dengan lebih baik. Pemimpin rombongan itu, seorang pegawai Bestuur yang bernama F.C. Marks, menamai tempat itu Tanah Merah, karena tanah di situ berwarna merah. Dia mulai membersihkan tempat itu. Sebuah artikel dalam surat kabar waktu itu melaporkan bahwa Marks telah berhasil “mendapatkan kepercayaan dari suku-suku yang tidak bermusuhan.”
Berdasarkan hasil pemeriksaan Marks, pemerintah Belanda pada bulan Desember 1926 pilih tempat itu sebagai lokasi untuk mendirikan kamp interniran di mana mereka ingin mengasingkan orang ‘komunis’ yang mengacaukan kepulauan Hindia Belanda. Tempat ini sepertinya cocok untuk tujuan itu. Tidak ada pos Bestuur lain yang dekat, sehingga tidak ada jalan setapak menuju pos-pos tetangga. Tanah Merah dikelilingi oleh hutan yang hampir tidak bisa ditembus. Satu-satunya koneksi ke dunia luar adalah kapal yang hanya sebulan sekali naik kali Digul. Di sini para “komunis” itu tidak akan ada kesempatan lagi untuk menyebarkan ide-ide politik mereka.
Pendirian ini juga diyakini akan berdampak positif bagi orang Papua di wilayah itu, karena dari sini serangan orang pembunuh dari selatan (Marind dan Yakai) terhadap suku-suku damai di Digul Atas dapat dilawan.
Pada tahun 1929, di sebuah bukit tinggi di seberang kali Digul, 15 kilometer ke utara dari Tanah Merah, satu kamp interniran lain didirikan: Tanah Tinggi. Tempat itu khusus untuk mereka yang di kamp pertama itu ternyata tidak mau kerja sama dengan Bestuur Belanda.
Kontak
Saat itu, orang Belanda belum tahu apa-apa mengenai orang Papua yang tinggal di daerah itu. Tetapi Marks dan teman-temannya telah mendapat kesan bahwa orang Papua di daerah itu tidak bersifat bermusuhan.
Itu dapat dimengerti. Tidak ada kampung orang Papua di daerah itu yang dibahayakan oleh invasi mendadak orang putih. Tetapi tentu saja kedatangan mereka tidak luput dari perhatian orang di hutan, dan pada satu saat orang Papua sudah memberanikan diri untuk keluar dari hutan dan melihat para pendatang dari dekat. Mungkin saja mereka berhasil tukar sagu dan pisang untuk memperoleh kapak besi dan parang, dan kalau begitu tentu saja mereka sangat senang. Tetapi kontak pertama itu terlalu dangkal untuk orang Belanda dapat mengatakan apa pun mengenai sifat mereka yang sesungguhnya.
Sampai tahun 1950-an orang Belanda hampir tidak ada hubungan dengan suku-suku Papua di Digul Atas. Selama bertahun-tahun, beberapa kampung kecil muncul di dekat dua pemukiman orang kulit putih. Tidak jauh di sebelah selatan dari Tanah Merah orang Papua dari seberang kali Digul membangun bivak permanen kecil. Para interniran (orang dari Hindia Belanda yang diasingkan di sini) sering mengunjungi mereka dan terjadi hubungan baik dengan mereka.
Sejak awal, orang Belanda di Tanah Merah lebih berfokus pada pedalaman timur, dan kurang taruh perhatian terhadap orang Papua di seberang kali Digul. Walaupun mereka menganggap hampir mustahil orang interniran dapat meloloskan diri dari Tanah Merah, kapten Becking (pendiri kamp itu) menjalin kontak dengan orang Papua di timur dan meminta mereka untuk menangkap setiap interniran yang melarikan diri dan kalau bisa mengembalikan mereka ke Tanah Merah.
Tentu saja pada tahun-tahun berikut beberapa kali ada upaya pelarian. Pada tahun 1930 kelompok pelarian seperti itu diterima dengan ramah oleh orang Papua di kali Bian; sementara itu mereka memperingatkan polisi di Muting yang datang untuk menangkap para pelarian itu. Tidak lama kemudian mereka kembali di Tanah Merah.
Patroli
Tiga bulan setelah tiba di Tanah Merah untuk mendirikan kamp interniran, kapten Becking sudah melakukan pengintaian ke sebelah utara. Selama hampir empat hari dia naik kali Digul dengan motor, lalu dia masuk hutan dan jalan kaki lebih jauh ke utara lagi selama satu setengah hari.
Pada awal bulan Juni tahun yang sama, dia melakukan perjalanan pengintaian ke kali Alice di perbatasan dengan bagian timur pulau Papua itu yang saat itu dikuasai oleh Inggris. Pada tahun 1933, seorang komandan militer lainnya berlayar sejauh 150 km naik kali Digul.
Patroli-patroli yang dilakukan biasa tinggal dekat Tanah Merah. Kadang-kadang mereka pergi lebih jauh, biasanya ke daerah timur. Hanya satu-satu kali saja mereka menyeberang kali Digul untuk menjelajahi daerah di sebelah barat. Di sana mereka terkadang memasuki wilayah Kombai dan Wanggom di utara, tetapi di lain waktu mereka masuk daerah orang Jair. Misalnya, pada tahun 1934 Letnan Schollen pergi ke kali Mappi. Di sana ia disiram hujan panah dan terpaksa harus menggunakan senjata apinya dan membunuh beberapa orang Papua.
Pada tahun 1937, Komandan Wiarda dengan kapal Lily menyusuri kali Mappi dan anak-anak sungai itu sampai ke Danau Mappi. Namun wilayah antara kali Digul dan kali Mappi tidak dieksplorasi dan dipetakan secara sistematis.
Misi Katolik Roma
Saat Bestuur Belanda menetap di Digul atas, bagi Misi Katolik terbuka kesempatan untuk masuk daerah itu. Pastor Verhoeven di Merauke bertanya kepada kapten Becking apakah dia keberatan jika dia datang ke Tanah Merah untuk mengorientasikan dirinya di sana. Kapten Becking tidak berkeberatan, dan pada bulan April 1927 pastor Verhoeven datang ke Tanah Merah, tepat ketika kapten Becking sedang melakukan perjalanannya naik kali Digul. Ketika dia kembali, pastor Verhoeven bersama dengan letnan-I Drejer turun kali Digul sampai ke muara kali Kao, baru naik kali itu sampai lewat persimpangan dengan kali Muyu.
Berdasarkan pengalamannya, pastor Verhoeven mengusulkan untuk memulai proyek Misi di hulu kali Kao dan kali Muyu. Tetapi ternyata pada tahun-tahun itu usulannya belum diterima. Pada tahun 1931, konferensi para pastor memutuskan bahwa kerja di kali Bian harus diutamakan. Baru pada tahun 1934 pastor Hoeboer dapat membuka pos Misi di Ninati dan di Ogemkapa.
Pada awal tahun 1937, pastor Meuwese menetap di Tanah Merah, tetapi dia datang untuk menjalankan Misi di Mappi-bawah. Pada akhir tahun itu, dia dan Letnan Ruhman melakukan perjalanan naik kali Digul. Mereka sampai ke kali Hitam, suatu anak kali Digul di sebelah barat tepat di atas Tanah Tinggi, tetapi mereka tidak menemukan manusia. Pada bulan September 1946, Meuwese pindah ke Kepi dan kemudian Tanah Merah menjadi pos pembantu dari pos Misi di Mindiptana.
Baru pada tahun 1951 Tanah Merah dapat seorang pastor untuk daerah sekitarnya, yaitu pastor Thieman. Ketika dia mengunjungi Tanah Merah untuk orientasi pertamanya, tampaknya tidak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hutan, bahkan HPB Thenu pun tidak. Kesan umum adalah bahwa itu daerah yang berpenduduk sedikit saja. Padahal menurut orang dari hutan yang biasa datang ke Tanah Merah, ada banyak penduduk yang tinggal disana.
Thieman berfokus terutama pada wilayah di sepanjang hilir kali Digul dan pada wilayah di sebelah timur. Pada tahun 1953, dua kali ia pergi ke utara, pertama dengan patroli Bestuur dan kemudian tersendiri. Dia naik sampai ke kali Kasuari. Perjalanan itu tidak menghasilkan banyak. Dalam praktiknya, Tanah Tinggi dan Mariam merupakan batas wilayah kerjanya.
2. Jair
Wilayah di antara kali Digul dan kali Mappi
Nama Jair berasal dari kali Jair yang mengalir di antara kali Digul dan kali Mappi dan yang bermuara di kali Digul sekitar 30 km selatan dari Tanah Merah. Batas-batas wilayah orang Jair tidak tajam. Bahasa mereka sebenarnya adalah dialek Awyu, dan nama Jair yang diberikan kepada mereka tidak merujuk pada suatu suku yang secara jelas dapat dibedakan dari para penduduk sekitarnya. Apa yang disebut suku Jair, sebenarnya adalah kelompok orang yang merupakan bagian serangkaian dialek Awyu yang membentang dari selatan hingga Kouh dan Boma.
Wilayah mereka sangat berbeda dari wilayah suku Yakai di selatan. Tidak ada rawa-rawa yang luas di sini, tetapi hutan lebat, dengan banyak kali-kali kecil yang tidak dapat dilayari, dan dihiasi dengan rawa-rawa sagu kecil dan besar, dan di sana-sini semacam sabana. Situasi geografis ini kurang cocok untuk membuat perampokan massal seperti di wilayah Yakai, tetapi paling cocok untuk pembunuhan tersembunyi. Di bawah naungan hutan lebat, orang Jair mengintai dan menembaki korbannya, hanya untuk menghilang lagi dengan cepat dan tidak bisa dilacak.
Jadi sebenarnya mereka bukan orang yang suka damai. Marks tentu juga sudah mengetahuinya. Waktu dia berada di Tanah Merah, dekat kali Konige (anak kali kecil dari kali Digul di selatan Tanah Merah) seseorang dikayau oleh orang dari pedalaman. Jenazah korban diselamatkan dari tangan para pelaku dan dikubur di bawah rumahnya.
Ditakuti
Jadi, sama seperti orang Marind (bnd pos no. 31) dan orang Yakai (bnd pos no. 33), orang Jair adalah orang pengayau, tetapi mereka tidak melakukannya secara massal, dan mereka tidak makan daging orang yang mereka bunuh. Dokter Schoonheyt menyebut orang Jair sama seperti orang Yakai orang biadab yang paling ditakuti:
Ketika orang dari suku-suku ini datang berkunjung ke pos, kedatangan mereka biasanya disertai dengan semacam nyanyian massal. Semua orang lain berkumpul dalam ketakutan dan berusaha meyakinkan warga sipil dan tentara tentang “kebejatan” para pengunjung.
Orang di Tanah Merah bernafas kembali setelah pengunjung yang bergaduh itu pergi.
Di Jair (dan juga suku-suku di sebelah timur kali Digul) pembunuhan biasanya terkait dengan balas dendam atas kematian. Untuk setiap kematian, seseorang harus bertanggung jawab yang diduga membunuh almarhum, entah secara terbuka atau dengan membuat suangi (mau-mau). Bahkan jika seseorang meninggal dunia karena penyakit serius atau karena kecelakaan, orang yakin bahwa sebenarnya itu ditentukan oleh suangi.
Tahun demi tahun, Bestuur di Tanah Merah dihadapkan dengan masalah pembunuhan. Tiap kali ada patroli tentara atau polisi yang masuk hutan untuk tangkap para pelaku, tetapi seringkali para pembunuh berhasil melarikan diri dan tentara tidak bisa berbuat apa-apa selain tebang atau membakar rumah mereka sebagai hukuman.
Pengayauan
Pada tahun 1951, residen Jan van Eechoud memperkirakan bahwa jumlah orang yang dikayau di keseluruhan bagian selatan Papua sekitar 1000 setiap tahun. Jumlahnya di daerah Digul Atas tidak kurang dari 300. Harus diingat bahwa banyak kasus tidak diteruskan ke Bestuur karena takut akan pembalasan. Berarti, daftar yang berikut hanyalah puncak gunung es, dibandingkan dengan apa yang tersembunyi di bawah kanopi hutan.
- Pada tahun 1932, tidak sampai 400 meter dari kamp interniran, di semak-semak ditemukan mayat seorang Papua yang dipenggal kepalanya.
- Beberapa tahun kemudian, seorang Mandobo yang dipancing oleh orang Jair untuk melintasi Digul untuk tukar barang, disergap. Kurang dari 200 meter dari perkemahan tentara, dia tiba-tiba ditangkap, diseret ke semak-semak dan dipenggal kepalanya. Para pelaku segera melarikan diri dengan membawa kepala yang dipenggal itu. Para prajurit mengikuti jejak darah selama berjam-jam tetapi tidak berhasil menangkap mereka.
- Di sebelah barat dari Tanah Tinggi pada waktu itu ada seorang kepala perang yang berpengaruh. Pada suatu kali dia mengunjungi Tanah Merah bersama dengan teman-temannya. Di sana ia jatuh sakit parah dan akhirnya meninggal. Teman-temannya mempersalahkan dokter. Pertama mereka mencoba memancingnya ke hutan. Ketika usaha itu gagal, mereka membalas dendam dengan menyerbu kampung kecil dekat Tanah Tinggi tempat tinggal tiga pemandu yang telah menunjukkan jalan ke Tanah Merah. Mereka dibunuh dan kepala-kepala yang berdarah itu diambil oleh penyerang yang telah membawa keranjang khusus untuk tujuan itu. Di Tanah Tinggi orang mendengar teriakan dan jeritan baru para prajurit berlari ke arah itu dengan senjata mereka siap, tetapi mereka datang terlambat, para pelaku sudah menghilang di hutan. Sebuah patroli berhasil mengepung pemukiman mereka di hutan dan menangkap beberapa pemburu kepala. Di pihak orang Papua jatuh beberapa korban. Para pembunuh yang ditangkap dijatuhi hukuman beberapa bulan penjara. Tiga kepala yang dipenggal itu dibawa kembali ke Tanah Merah sebagai barang bukti.
- Pada tahun 1946, sekelompok pengayau dari Yakai berhasil melarikan diri dari penjara di Tanah Merah. Mereka pikir mereka bisa berjalan kembali ke tempat asal mereka melalui hutan di sepanjang kali Digul. Pastor Meuwese mengejar mereka dengan kapalnya dan segera menemukan tiga orang. Mereka mengatakan kepadanya bahwa yang lain telah dikayau oleh orang Jair. Ketika dia berlayar kembali ke Tanah Merah dia menemukan dua orang lagi di pinggir kali; salah satunya menceritakan bahwa dia telah memanjat pohon dan menyaksikan dari tempat persembunyian yang tinggi itu salah satu rekannya sedang dipenggal kepalanya. Para pelarian itu senang sekali bisa kembali hidup-hidup di Tanah Merah.
- Pada tahun 1951, HPB Nieland, pastor Thieman, dan sejumlah orang lain melintasi kawasan orang Jair dalam perjalanan pulang dari Kepi ke Tanah Merah. Tidak jauh di sebelah barat kali Mappi mereka sampai ke suatu pemukiman. Tidak ada orang, tetapi mereka menemukan enam kepala manusia hasil pengayauan, satu pisau mengayau, dan satu tombak.
- Pada awal tahun 1950-an, orang-orang di seberang kali Mappi menyerang sekelompok penduduk sebuah pemukiman di barat laut Tanah Merah. Enam orang dikayau.
- Dalam perjalanannya ke kampung-kampung di sepanjang kali Digul di selatan dari Tanah Merah, pastor Thieman berulang kali dihadapkan dengan berita-berita mengenai pemburu kepala manusia. Pada akhir tahun 1952, kampung Akiba bergejolak karena takut disergap. Ada kampung lain yang para penduduknya telah melarikan diri ke hutan. Di Tanah Tinggi dikatakan ada yang dibunuh.
Berita palsu / Fake news
Tenaga Bestuur dan Misi Katolik Roma sangat menyadari bahwa perlu hati-hati terhadap berita-berita palsu. Pada tahun 1934, misalnya, beberapa orang Jair datang mengajukan tuduhan terhadap orang Mappi (Yakai), yang diduga menyerang mereka dan telah membunuh salah satu istri mereka dengan tombak. Komandan tidak mempercayai dakwaan itu. Bersama dengan dokter dia pergi ke tempat kejadian perkara dan suruh mayat ibu itu digali. Ternyata wanita itu tidak dibunuh dengan tombak melainkan jatuh dari rumah tinggi baru tertusuk tunggul.
Jumlah desas-desus kosong tidak terhitung, tulis HPB Stefels pada tahun 1955. Desas-desus digunakan sebagai senjata antara kelompok-kelompok yang bermusuhan, semacam perang psikologis yang sering berhasil. Terkadang seluruh kampung pindah karena ketakutan. Ketika perselisihan diselesaikan dengan busur dan anak panah dan penyerang datang dari luar daerah mereka sendiri, orang-orang datang ke Tanah Merah untuk mengeluh tentang orang Mappi. Tetapi orang-orang di daerah yang di bawah asuhan Bestuur sendiri pun pasti sering melakukan serangan terhadap orang-orang yang tinggal lebih jauh, tetapi tidak ada yang melaporkan kasus-kasus seperti itu kepada Bestuur.
1957
Pada kepergiannya pada tahun 1957, HPB Moll menulis dalam Nota Pengalihannya bahwa orang Jair yang telah di bawah asuhan Bestuur sudah tidak melakukan pengayauan lagi, dan bahwa jumlah pembunuhan balas dendam telah sangat berkurang.
Itulah gambaran yang pendeta Drost dapat ketika ia datang mengorientasikan dirinya di Tanah Merah. Tetapi dia cukup realistis untuk menyadari bahwa di pedalaman pasti masih terjadi banyak pembunuhan dan pengayauan. Dalam perjalanannya ke kali Kasuari, dia melihat kuburan tiga orang yang dikatakan belum lama dipanah di sana. Di penjara di Tanah Merah pendeta Drost bercakap-cakap dengan para tahanan. Di sana dia juga bertemu dengan pelaku-pelaku pengayauan yang menjalani hukuman mereka.
Namun Drost tidak takut. Menurut dia, tidak ada bahaya yang terkait dengan melakukan patroli di daerah itu. Hanya perlu bertindak secara taktis dan tenang, dan ketika bertemu orang, perlu menunjukkan bahwa tidak takut. Mengingat kembali perjalanan-perjalanan pertama yang dia lakukan ke atas dengan kapal Ichthus (bnd pos no. 9), dia menulis:
Hal yang luar biasa adalah bahwa saya tidak pernah takut sedikitpun di wilayah itu, dan untuk itu saya bersyukur kepada TUHAN! Pada saat-saat tertentu, seperti pada pertemuan pertama, ada situasi yang menegangkan, tetapi saya tidak pernah rasa takut, dan karena itu saya juga dapat bertindak dengan tenang terhadap orang di hutan.
3. Kekacauan di Kouh
Perkembangan semakin pesat
Pada hari Senin, 16 Juni 1958, pendeta Drost bertabrakan pendapat dengan pastor Thieman (bnd pos no. 28). Konfrontasi itu mempercepat rencana Zending di Kouh. Meskipun pastor Thieman tidak bisa berbuat banyak di wilayah itu karena dia tidak memiliki kapal seperti Zending, Drost rasa penting untuk bekerja dengan cergas di Kouh dan di Arup. Itulah sebabnya Meijer pergi ke Kouh lebih awal dari yang direncanakan sebelumnya, yaitu seminggu setelah pertemuan Drost dan Thieman. Rencana dia akan tinggal di Kouh selama tiga minggu. Benar-benar aman di sana, Drost menekankan dalam laporan yang dia tulis hari. Meijer sendiri menyurat ke kemenakannya di Belanda bahwa pasti tidak akan ada bahaya.
Membangun
Di Kouh, dengan bantuan para penduduk kampung Meijer mulai membangun suatu rumah untuk zending. Maksudnya, kalau nanti rumah itu sudah selesai, dia dan istrinya akan tinggal di sana, pada awalnya untuk selama enam minggu. Kali ini dia masih meninggalkan istrinya di Tanah Merah, hanya seorang pembantu yang menemaninya.
Rumah itu dibangun atas tiang-tiang dan dibuat dari bahan-bahan asli. Ada ruang duduk, dua kamar tidur, dapur, gudang, kamar mandi dengan toilet, dan pendopo di sekeliling rumah itu. Mereka sama sekali tidak pakai paku, semua sambungan dibuat dengan rotan. Kerja itu berlangsung sangat lancar dan segera kerangka itu berdiri.
Dalam minggu kedua, orang kampung lagi membantunya dengan penuh semangat. Tetapi pada hari Rabu itu, ketika mereka kerja di punggungan rumah dan bapak Meijer membutuhkan semua perhatiannya untuk menjaga keseimbangannya, tiba-tiba seorang bapak datang berlari keluar dari hutan dengan berteriak dan meratap.
Panik
Tiba-tiba Meijer sendirian di atas balok-balok di bagian atas punggungan rumah. Di bawah di halaman kampung ia menyaksikan tontonan yang selama ini dia hanya tahu dari cerita dan buku. Orang-orang yang tadi masih membantunya sambil bernyanyi dengan riang, sekarang dengan cepat turun dan berlari ke rumah-rumah mereka, dan sesaat kemudian keluar lagi bersenjata lengkap dengan busur dan anak panah dan tombak berduri dan dengan hiasan pengayauan buatan kulit kuskus atau bulu kasuari di kepalanya. Ibu-ibu melolong liar dan laki-laki melompat ganas di sekitar bapak dari hutan itu dan terdengar raungan yang mengerikan .
Melihat semuanya itu, Meijer sementara tak bergerak. Kemudian dia sadar bahwa ada orang yang telah dikayau, dan bahwa jika dia tidak bertindak dengan cepat, orang Kouh akan membalas dendam.
Dia turun dan jalan menuju ke kerumunan yang ribut itu untuk mencoba menenangkan mereka. Juru bahasanya membenarkan dugaannya. Baru Meijer mulai berbicara, dengan tiap kali ulang pesan yang sama lagi, yaitu bahwa mereka harus kirim berita ke Bestuur dan Polisi di Tanah Merah, maka HPB pasti akan urus para pelaku pembunuhan itu dihukum.
Mereka bicara bicara sampai… Satu jam kemudian mereka akhirnya setuju: Meijer akan menulis surat dan orang yang tadi membawa berita pembunuhan itu akan membawa surat itu ke Tanah Merah. Meijer senang dengan hal itu, karena dengan begitu HPB akan dengar cerita itu secara langsung dari si pelapor itu. Kurang dari satu jam kemudian, bapak itu sudah berangkat. Meijer mengenalnya dengan baik, karena dia pernah tolong membangun tempat tinggal untuk keluarga Van Benthem di Tanah Merah.
Tenang kembali
Bahaya bahwa orang Kouh langsung akan pergi membalas dendam tampaknya telah berlalu. Meijer membagikan tembakau dan suruh pembantunya masak nasi untuk mereka makan bersama-sama. Setelah makan, ia menyelenggarakan perlombaan olahraga untuk menenangkan panas hati mereka: lompat tinggi, lompat jauh, dan berenang. Para pemuda bermain fanatik sedangkan orang tua duduk menonton dengan nyaman. Tentu saja keinginan mereka untuk membalas dendam tidak serta merta hilang, namun mereka sudah sepakat untuk menunggu dulu dan melihat apa hasilnya berita yang dikirim ke Tanah Merah.
Dengan demikian semua orang bisa tidur nyenyak malam itu. Bukan karena Meijer berhasil mengatur semuanya dengan cerdik dan sudah berhasil mengalihkan perhatian dengan akal kancil, tetapi karena tangan Tuhan yang memelihara, demikian kemudian ujar Meijer dalam laporannya mengenai peristiwa-peristiwa di Kouh.
Polisi
Hari Sabtu malam kapal Ichthus tiba dengan membawa sejumlah tenaga polisi. Semua orang Kouh senang, karena sekarang mereka dapat mengambil tindakan dengan bekerja sama dengan polisi yang bersenjata api. Senin pagi patroli berangkat ke tempat para pengayau yang telah membunuh keluarga di Werarop itu. Sejumlah orang Kouh harus ikut untuk tunjuk jalan dan untuk tolong pikul makanan untuk di tengah jalan. Akibatnya, Meijer kehilangan beberapa tenaga kerja di pembangunan rumahnya. Itu memang sayang, tetapi orang-orang yang tidak ikut dengan patroli itu bekerja lebih keras lagi. Ditambah lagi, keesokan harinya sekelompok orang kembali dari pangkur sagu, dan mereka juga ikut membantu Meijer. Dengan demikian pembangunan rumah zending bisa dilanjutkan.
Bahaya
Tetapi terjadi keresahan lagi. Pada hari Kamis dan Jumat, di sekitar Kouh terlihat pengintai orang Mappi yang pakai hiasan pengayauan dan membawa tombak.
Hari Jumat sore Meijer berunding dengan masyarakat Kouh tentang apa yang harus mereka lakukan. Diambil keputusan untuk tidak pergi tidur malam itu. Mereka mempersiapkan segala sesuatu untuk membela diri jika terjadi serangan dan untuk segera bisa mengungsi jika perlu.
Meijer benar-benar ketakutan sekarang. Tentu saja, orang-orang Mappi itu sudah lama tahu bahwa ada seorang kulit putih di Kouh dan bahwa itulah sebabnya polisi mengejar mereka begitu cepat. Tak terbayangkan mereka rencana menyergap Kouh dengan tujuan khusus untuk balas dendam terhadap Meijer. Tetapi yang jelas itulah bahwa ada orang di hutan yang tidak senang dengan apa yang dilakukan orang-orang kulit putih di daerah ini dalam beberapa bulan terakhir. Patroli-patroli Drost di sepanjang Digul, patroli besar Bestuur melintasi daerah Kombai, dan sekarang pembangunan rumah di Kouh. Kampung ini tampaknya semakin menjadi pangkalan Bestuur dan Zending untuk masuk hutan, dan sekarang lagi polisi Tanah Merah berangkat dari Kouh untuk mengejar para pelaku pembunuhan di Werarop. Orang Mappi itu pasti juga sudah tahu bahwa sejumlah orang Kouh ikut dengan patroli polisi itu. Mungkin saja mereka pikir bahwa serangan terhadap Kouh saat ini tidak akan mengalami banyak tentangan.
Malam
Secara keseluruhan, bukan situasi yang menenangkan. Meijer tidak punya senjata api. Lagi pula belum pasti kapal Ichthus besok akan datang sesuai rencana. Saat kapal itu datang membawa polisi dari Tanah Merah ke Kouh, mereka mengalami masalah mesin, dan pada hari Senin mereka hanyut ke Tanah Merah. Kemungkinan besar perlu onderdil baru untuk memperbaiki mesinnya sebelum kapal itu dapat berlayar lagi. Jadi belum tentu kapal Ichthus bisa datang jemput Meijer.
Tetapi tidak terduga-duga, sore harinya mereka dengar bunyi motor Ichthus yang datang. Dan Meijer sangat kejut melihat istrinya Hennie ikut! Dia datang lihat perkembangan di pembangunan rumah itu.
Dengan kedatangan kapal Ichthus itu, kemungkinan perampokan oleh orang Mappi tentu sudah berkurang. Kalau betul ada kelompok pengayau dekat, mereka pasti sudah dengar bunyi motor. Tentu mereka tidak memperhitungkan kedatangan kapal itu! Namun ada baiknya untuk tetap waspada. Hennie Meijer mendapatkan tempat teraman untuk bermalam, yaitu di dalam kabin di atas kapal. Juragang Yakob Deda akan tidur di bangku di bagian belakang kapal itu. Semua orang lain akan bermalam di kampung. Dua orang yang dilengkapi dengan senter akan berjaga; jika ada bahaya, mereka akan membunyikan alarm baru Yakob Deda akan menghidupkan mesin Ichthus. Bunyi itu diharapkan akan menakuti para perampok, dan kapal Ichthus akan siap membawa orang ke seberang kali Digul jika perlu.
Malam itu Meijer tidak membuka pakaiannya. Setiap jam dia memeriksa apakah semuanya tenang.
Berita palsu atau bahaya nyata?
Apakah ada bahaya nyata, atau apakah itu semua hanya rumor, berita palsu, yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti Meijer dan orang-orang di Kouh?
Memang benar bahwa orang di hutan waktu itu sering menggunakan cerita yang dibuat-buat. Tetapi itu tidak membuat semua berita itu salah. Terkadang memang betul ada rencana untuk pergi mengayau. Itu menjadi jelas dari laporan-laporan Bestuur dan Zending, seperti yang ditunjukkan oleh ikhtisar berikut. Dan mengingat, ini lagi hanya apa yang didengar mereka, puncak gunung es yang kita telah bicarakan sebelumnya.
- 1958: pada bulan September (yaitu dua bulan setelah peristiwa di Kouh), di dekat kampung Mariam di daerah antara Digul dan Mappi, HPB Peters bertemu dengan sekelompok besar orang yang siap untuk pergi mengayau. Polisi membakar dua rumah yang penuh senjata untuk mengayau, tetapi orang-orang itu berhasil melarikan diri. Polisi memang menemukan beberapa kepala manusia yang baru saja dipenggal. Mereka membawanya ke Tanah Merah. Belakangan ternyata masih ada dua rumah lain yang penuh dengan senjata, tapi saat itu mereka tidak menemukannya…
- 1958: pada bulan Oktober, pendeta Klamer (yang saat itu baru tiba di Papua) dalam perjalanannya ke Kouh singgah di Mariam, dan di sana ia bertemu dengan tiga orang pelarian yang baru saja keluar dari hutan. Mereka mengatakan bahwa sekelompok besar orang Mappi yang bersenjata lengkap sedang dalam perjalanan ke Mariam. Jika mereka tidak berhasil membunuh dan mengayau orang di Mariam, mereka mau membakar kampung itu baru jalan terus ke Kouh, kira-kira setengah hari jalan kaki dari Mariam. Para pelarian itu sangat tergesa-gesa dan sementara dua orang berbicara dengan pendeta Klamer, yang ketiga dengan busur dan anak panah terus mengawasi jalan menuju hutan. Kata mereka, orang Mappi itu mau membalas dendam karena beberapa orang Mariam telah ikut patroli polisi pikul barang mereka, beberapa minggu sebelumnya.
- 1958: pada 26 Oktober, sekali lagi desas-desus beredar tentang pemburu kepala yang mau menyerang Kouh.
- 1959: pada 28 Januari, ada berita bahwa baru-baru di pesta ulat sagu, orang Mappi sudah bersepakat untuk membakar kampung Kouh dan membunuh para penduduknya. Sehubungan dengan berita itu, ada patroli polisi yang pergi ke kali Mappi untuk menghindari ancaman tersebut.
- 1959: Pada bulan Pebruari ada desas-desus tentang serangan yang akan segera terjadi oleh orang Kombai dan orang Mappi dari Somi. Bestuur menempatkan lima tenaga polisi di Kouh.
- 1959: Pada bulan Agustus, terus-menerus ada desas-desus di daerah kali Mappi tentang pengayauan di hutan dekat Somi atau Ga. Patroli polisi yang dipimpin oleh calon pegawai negeri sipil Wamafma tidak dapat memastikan kebenaran kabar tersebut. Kampung Bomakia tampak sepi, seperti halnya pada bulan Juli jua. Di Ikisi semuanya tenang, tetapi pada saat patroli polisi ada di sana, kepala kampung itu tiba di Tanah Merah untuk melaporkan bahwa Ikisi bermaksud untuk melakukan serangan pengayauan di Tanah Merah. Alasannya, bahwa beberapa waktu lalu seorang tenaga polisi membawa seorang anak laki-laki dari Ikisi ke Merauke, dan kemudian anak itu meninggal di sana. Itu sebabnya mereka mau membunuh tenaga polisi itu atau salah satu tenaga polisi yang lain.
- 1959: Pada bulan September, HPB Fanoy mendengar bahwa pengakuan orang-orang dari Bomakia yang telah dihukum karena pengayauan, semata-mata karangan saja, dan bahwa pelaku-pelaku yang sebenarnya berasal dari kampung lain. Nama-nama orang yang disebut sebagai pelaku sebenarnya dicatat.
- 1959: Pada suatu pesta babi yang diadakan di bulan November, pejabat-pejabat pemerintah diberitahu bahwa sebuah kepala manusia hasil pengayauan baru-baru di Kogo disimpan di Kowo.
- 1960: Pada tanggal 8 Agustus, ada desas-desus bahwa orang Chaimee (di seberang kali Mappi) rencana melakukan perjalanan pengayauan ke kampung Yofon. Alasannya, seorang laki-laki dari Yofon sudah menculik seorang wanita dari Kowo-II yang sudah menikah. Sebuah patroli kecil pergi ke sana, setelah itu tidak ada lagi yang terdengar tentang kasus ini.
4. Kombai
Tulang manusia
Di sebelah utara dari daerah orang Jair adalah hutan gelap suku Kombai. Mereka ditakuti oleh orang-orang di hulu kali Mappi karena kekejamannya, bahkan lebih dari orang buas dari selatan (orang Yakai). Mereka bukan orang pengayau, tetapi kanibalisme memang terjadi.
Pada tahun 1961, pendeta Klamer dan pendeta Knigge sedang dalam perjalanan di daerah kali Kasuari untuk mencoba menghubungi orang Korowai. Pada suatu saat mereka melewati jalan sempit yang mengerikan. Di sepanjang jalan itu, di kedua belah sisinya ada tulang-tulang manusia tergantung di pohon-pohon: tulang kering, tulang hasta, tengkorak dengan rahang atas dan gigi. Pemandu mereka bilang bahwa ini adalah tulang-tulang korban pembunuhan orang Korowai yang jahat. Tetapi, kemungkinan besar bukan Korowai tetapi Kombai sendiri yang bertanggung jawab atas tulang-tulang manusia ini, karena tempat kediaman orang Korowai itu jauh lebih jauh ke utara. Kemudian di patroli yang sama, ternyata pemandu membodohkan Klamer dan Knigge sekali lagi, karena mereka sudah urus orang sesuku mereka menyamar sebagai orang Korowai. Jelas mereka tidak mau (atau tidak berani) pergi ke daerah orang Korowai.
Dua puluh tahun kemudian, juga di tempat-tempat lain di daerah Kombai ada tulang-tulang manusia di pohon-pohon: di antara Ugo dan Ndeia (1980), di antara Wanggemalo dan Fifiro (1985), dan di daerah kali Ndeiram hitam:
Setiap beberapa langkah ada tulang-tulang lagi: tengkorak utuh, lengan bawah, beberapa rahang, kaki bagian bawah, rahang seorang anak, tengkorak lain…. Tulang-tulang dari korban-korban yang dibunuh dan dimakan di waktu yang belum lama ini. Karena kalau mereka punya orang sendiri mati, mayat mereka dikubur. Para pemandu tahu persis tulang-tulang itu dari siapa sebenarnya: itu si anu, dan itulah sebabnya dia dibunuh. Dan rahang itu dari seorang yang telah ditukar sebagai pembalasan atas korban sebelumnya. Jika seseorang dianggap bersalah melakukan pembunuhan dengan sihir, dia dibunuh dan dimakan. Tetapi keluarga orang itu kemudian menuntut seseorang kembali dari pihak pertama itu, karena hanya ketika kedudukan kembali seri akan ada damai lagi. Jadi kalau begitu seorang yang benar-benar tidak bersalah akan diserahkan begitu saja untuk dibunuh dan dimakan sebagai harga perdamaian.
Idofare
Masalahnya
Pada tahun 1985, Idofare, seorang anak laki-laki yang pada tahun-tahun sebelumnya pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk misionaris di Wanggemalo, dijemput dari kampungnya Kharuwakhe oleh kepala hansib Firiwage untuk mengikuti pelatihan hansib. Di Firiwage dia jatuh sakit. Ketika menjadi jelas bahwa dia tidak akan sembuh dari kesakitannya, mereka membawanya kembali ke Kharuwakhe. Ibunya, yang rumahnya di hutan di muara kali Murup, segera urus anaknya dibawa ke tempatnya di hutan. Dua hari kemudian Idofare meninggal dunia di sana.
Orang-orang Firiwage disalahkan atas kematiannya karena mereka membawa Idofare ke kampung mereka di luar kehendaknya. Itu sebabnya ibunya tuntut pembayaran: Firiwage harus mengembalikan seseorang ganti anaknya untuk dibunuh dan dimakan. Dia menegakkan tuntutannya dengan melepas cawatnya dan menari telanjang di rumahnya di depan anak-anaknya yang lain. Saudara-saudara Idofare sangat malu dengan tindakannya sehingga mereka pergi ke Kharuwakhe dan membujuk orang-orang di sana untuk menyampaikan tuntutan ini kepada kepala hansib di Firiwage.
Kepala itu datang ke Kharuwakhe dan coba mengalihkan mereka dari gagasan itu. Tetapi dia mendapat tekanan yang begitu besar sehingga dia akhirnya menyerah dan berjanji untuk mengaturnya dengan kepala desa Firiwage. Setidaknya dengan cara itu dia bisa menyelamatkan nyawanya sendiri…
Anak ganti anak
Ketika ibu dari Idofare mendengar bahwa kepala hansib Firiwage akan mengabulkan tuntutannya, dia dan anak-anaknya mulai mempersiapkan pesta; dia pergi pangkur sagu dan mengirim undangan ke kerabat lain di hutan. Ketika semuanya sudah siap, dia kirim orang ke Kharuwakhe cari tahu bagaimana perkembangan masalahnya. Sekali lagi orang pergi ke Firiwage, dan di sana kepala hansib masih berusaha lagi mengelakkan masalahnya dengan menundanya: ia mengusulkan untuk menunggu sampai setelah pemilihan yang akan segera diadakan. Orang Kharuwakhe mengancam akan meruntuhkan kampung Firiwage dan meratakannya dengan tanah, karena di dalam hutan semua orang sudah siap untuk berpesta. Baru akhirnya kepala hansib itu menyerah. Bersama dengan hansib-hansib lain dia tangkap seorang anak sekolah kelas 5 yang dicurigai telah membunuh Idofare dengan suangi. Kemudian orang Kharuwakhe pulang ke kampung dengan membawa korban itu.
Waktu itu penginjil Kharuwakhe sementara keluar. Salah satu sari anak-anaknya memang ada di tempat dan ketika orang Kharuwakhe kembali dari Firiwage, dia melihat anak sekolah yang diikat. Dia memberi rokok kepadanya, tetapi tidak bisa buat apa-apa lagi untuk dia. Anak laki-laki itu kemudian dibawa ke muara kali Murup ke rumah ibu Idofare. Di sana dia dibunuh dan dimakan. Orang Kharuwakhe diberikan salah satu dari kedua kakinya sebagai ucapan terima kasih atas bantuan mereka. Anak penginjil sendiri menyaksikan hal itu. Bagi dia, hari-hari itu tentu menakutkan!
Yemu
Seminggu kemudian, di Wanggemalo pun tiba-tiba seorang ditangkap, Yemu Yafumano. Kata orang, hanya untuk mengajukan pertanyaan kepadanya. Pendeta mencegahnya, polisi dari Kouh datang dan membawa kedua belah pihak ke Kouh untuk diperiksa. Tetapi Yemu tidak mempercayainya dan melarikan diri untuk kembali ke dusunnya. Secara resmi, sejak itu tidak ada berita lagi tentang dia. Tetapi semua orang tahu bahwa dia ditunggu di hutan dan ditembak mati di sana.
5. Epilog
Perpisahan yang mengharukan
Setelah malam yang panjang yang menegangkan, hari kembali cerah di Kouh. Tidak ada apa-apa yang terjadi, semuanya tetap tenang. Semua orang bernapas lega.
Pagi itu juga, kapal Ichthus dengan bapak guru Meijer dan istrinya berangkat kembali ke Tanah Merah. Perpisahan itu tentu mengharukan:
Kami sekarang mendapatkan kepercayaan mutlak dari orang Kouh. Itu terlihat dalam segala hal, termasuk perpisahan. Banyak kali mereka berpamitan dengan menarik jari tangan kami sampai berbunyi. Sebenarnya mereka tidak mau saya pergi, dan berulang-ulang kali saya harus meyakinkan mereka bahwa dua minggu lagi saya pasti akan kembali. Kami belum pernah mengalami perpisahan seperti ini sebelumnya.
Sampai sekarang mereka memang senang kalau kami datang, dan ketika kami pergi lagi itu juga baik-baik saja. Kami diterima sebagai tamu yang berharga, tetapi waktu pulang kami tidak meninggalkan tempat kosong. Sekarang itu lain sekali. Itu sesuatu yang bagus sekali dan tak terduga yang dapat menjadi sangat penting bagi zending karena hubungan seperti itu belum jadi sampai sekarang. Kami tentu sangat diberkati dan dilindungi dalam pekerjaan kami.
Berkat / efek / hubungan
Sikap baru terhadap bapak guru Meijer segera menjadi jelas ketika orang Kouh melihat bahwa surat yang dikirim oleh Meijer kepada Bestuur id Tanah Merah mengakibatkan polisi datang. Dengan demikian Meijer telah tunjuk bahwa dia termasuk orang Kouh dan sejak itu orang Kouh mempunyai kepercayaan yang penuh terhadap dia. Para wanita sekarang berani mendekatinya bahkan ketika para laki-laki tidak ada; itu belum terjadi sebelumnya. Dia sekarang mendapat bagiannya dari hasil pencarian ikan dan dari pisang dan sagu dengan, tidak perlu bayar. Singkatnya: dia sekarang benar-benar dihitung sebagai orang Kouh. Dia bukan lagi pengunjung yang bisa membawa untung, sebaliknya dia telah menjadi salah satu dari mereka.
Pada kunjungan berikutnya, dia mengetahui bahwa hubungan yang diperkuat ini sudah tetap. Ketika orang Kouh panah babi, ia mendapat porsi yang besar; ketika orang tangkap kasuari ia ikut makan bersama dengan mereka.
Hans dan Yab
Ketika dia pergi, dengan persetujuan orang Kouh guru Meijer membawa dua anak mudah ke Tanah Merah. Dia menamakan mereka Hans dan Yab, dengan nama dua temannya di Belanda. Di Tanah Merah, satu hari dia mengajari mereka bermacam-macam hal, hari berikutnya mereka membantu pendeta Drost dengan pembangunan di kompleks zending. Jadi zending dapat dua pekerja tambahan di Tanah Merah, dan ketika dua anak itu nanti pulang ke Kouh mereka sudah tahu sedikit lebih mengenai apa tujuan zending.
Oleh berkat Tuhan, tindakan ini telah membuahkan hasil. Yab Kwanimba menjadi seorang penatua di majelis gereja pertama di Kouh ketika majelis didirikan pada tahun 1981. Dia dapat setidaknya empat anak, termasuk Fayaho Kwanimba. Tetapi pada saat penulisan ini, tidak pasti apakah Yab Kwanimba (Amuma) memang salah satu dari dua anak laki-laki yang dibawa Meijer ke Tanah Merah. Bisa juga itu Yab yang lain, yaitu salah satu siswa kelas satu sekolah Mofenanti di Kouh pada tahun 1959. Dan bisa juga si Yab dalam kedua kasus tersebut itu orang yang sama.
Tangan Tuhan yang melindungi
Saat patroli polisi kembali ke Tanah Merah, mereka telah berhasil tangkap beberapa pelaku pembunuhan keluarga di Werarop. Orang itu belum menantikan polisi datang begitu cepat dan tidak rasa perlu bersembunyi di hutan.
Sepanjang jalan, patroli polisi itu juga terganggu oleh orang Mappi yang mengancam akan menyergap Kouh. Mereka sudah pergi ke arah barat. Namun keadaan di Kouh dan di Mariam masih lama resah.
Dalam laporan patroli zending biasa ada kata syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena sudah pulang dengan selamat. Pernyataan seperti itu dengan mudah dapat menjadi suatu kebiasaan, dan memang benar bahwa selalu bisa terjadi sesuatu. Tetapi kali ini pernyataan itu tentu bukan perkataan yang kosong:
Kami dapat mengatakan bahwa kami telah mengalami tangan Tuhan yang memelihara. Perlindungan yang tampak! Karena dalam perjalanan ini yang rupanya mudah saja, sehingga dengan kesembronoan manusiawi telah saya tulis kepada kemenakan saya di Belanda bahwa tentu saja tidak akan ada bahaya, kami telah dikoreksi oleh fakta-fakta.
Pada akhirnya, masa tinggal di Kouh ini ternyata sangat berhasil. Melalui peristiwa-peristiwa yang menegangkan ini, Tuhan sedang meletakkan dasar yang kokoh untuk pekerjaan zending selanjutnya. Soli Deo Gloria – Kemuliaan bagi Tuhan saja!
—
Catatan
(1)
Frederik Casper (Frits) Marks lahir di Schiedam (Belanda) pada tahun 1877 dan masuk dinas pemerintahan Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1895. Ia menjadi sersan di infanteri dan bertempur di Aceh pada tahun 1902, ikut pasukan pendaratan di Sulawesi pada tahun 1905, dan mengambil bagian dalam banyak operasi militer di pulau itu. Untuk hal itu ia diangkat menjadi kesatria pada tahun 1907 dan perwira pada tahun 1908 di Militaire Willemsorde.
Setelah cuti di Belanda pada tahun 1913, ia bergabung dengan polisi bersenjata. Dalam posisi itu ia bertugas di Flores, Jawa, Sulawesi, dan Ambon. Pada tahun 1923 ia dipindahkan ke Okaba di pantai selatan Nieuw-Guinea (Papua). Pada tahun 1927 ia menjadi asisten di Sekolah Menengah Umum di Surakarta di Jawa Tengah. Atas permintaannya, dia dilepaskan dari posisi ini pada tahun 1929 dan kemudian menjadi pengawas istana di Buitenzorg (Bogor). Ia meninggal dunia pada tahun 1944 sebagai tawanan perang di kamp Tjimahi. Sebagai kesatria dalam Militaire Willemsorde ia dapat pemakaman kembali militer pada tahun 1947, di Menteng Pulo (kini di Jakarta).
Bahan sumber
Buku / publikasi:
- Bataviaasch Nieuwsblad, 22 december 1926, artikel: Het interneeringskamp aan de Boven-Digoel (1 van 2).
- Boelaars, J., Met Papoea’s samen op weg, deel 2, Kampen 1995.
- Drabbe, P. (MSC), Spraakkunst van het Aghu-dialect van de Awju-taal. ’s-Gravenhage 1957.
- Groen, J.P.D., Kakuarumu : een vorm van zwarte magie. Kampen 1991 (Missiologische thema’s, deel 6)
- Nielsen, Aag Krarup, In het land van kannibalen en paradijsvogels. Amsterdam 1930 (Diterjemahkan dari bahasa Denmark oleh Claudine Bienfait).
- Salim, I.F.M., Vijftien jaar Boven-Digoel. Hengelo 1980 (Cetakan kedua; cetakan pertama 1973).
- Schoonheyt, L.J.A. (dokter): Boven-Digoel. Batavia-C (1936)
- Vries, Lourens de, The greater Awyu languages of West Papua. Boston / Berlin 2020.
Arsip-arsip:
Arsip Nasional di Belanda:
Nationaal Archief, Den Haag, Ministerie van Koloniën: Kantoor Bevolkingszaken Nieuw-Guinea te Hollandia : Rapportenarchief, nummer toegang 2.10.25 :
- Haan, R. den, Memorie van Overgave van de Onderafdeling Boven-Digoel, 1946-1949. (2.10.25, inv.nr 402)
- Houbolt, W.J.H., Memorie van Overgave van de Onderafdeling Boven-Digoel over het tijdvak Mei 1938 – October 1940. (2.10.25, inv.nr 399)
- Stefels, C.H., Memorie van Overgave van de Onderafdelingschef van Boven-Digoel, Ambtsperiode 18 Februari 1953 – Januari 1955. (2.10.25, inv.nr 415)
Perpusataan Universitas Leiden:
- Becking, L.Th., Reisverslag van de Gezaghebber van Boven-Digoel op zijn tocht van de Digoel-rivier naar de Ok Terrie (Alice River) van 3 tot en met 30 juni 1927. Collectie F.H. Peters, D H 1256, omslag 4).
- Moll, L.O.A., Memorie van overgave van de chef onderafdeling Boven-Digoel, L.O.A. Moll, over 1955-1957. Collectie Moll, D H 1430.
Arsip Missionarissen van het H. Hart
Erfgoedcentrum Nederlands Kloosterleven:
- Thieman, W., Geschiedenis van Tanah Merah, inv. 5045 (1)
- Thieman, W., Tourneeverslagen (schrift-1), inv. 5045 (2)
- Verhoeven, Naar het hartje van Nieuw Guinea. In: Annalen, 45 (1927) p. 220-223, 248-250, en 46 (1928) p. 29-32.
Pusat Arsip dan Dokumentasi Gereja-Gereja Reformed di Belanda (ADC)
- Drost, M.K., rapporten. Zendingsarchief, Archiefnummer 78, doos 56
- Klamer, J., rapporten. Archief zendende Kerk Spakenburg-Zuid, Nummer 154, doos 10
- Meijer, J.W., rapporten. Archief Vereniging Mesoz, Archiefnummer 253, doos 5
Informasi yang diperoleh secara pribadi:
- Fanoy, A., maand- en kwartaalverslagen.
- Groen, J.P.D., surat-surat pribadi.
- Kwanimba, Fayaho, informasi melalui FB Messenger (22 April 2022)
- Kwanimba, Kolombu, informasi melalui FB Messenger (22 April 2022).
- Vries, L.J. de, email (28 april 2022).
-//-