Pengayau
Waktu Kouh baru dibuka, beberapa kali kampung itu menjadi target kelompok pemburu kepala manusia. Siapa mereka itu? Dari mana mereka datang? Apa latar belakang praktik mengayau itu? Ada beberapa suku di Papua yang di masa lalu melakukan pengayauan. Salah satu dari suku-suku itu adalah suku Marind.
Pembagian
- 1623
- Marind
- Pemberantasan pengayauan
Catatan
Sumber
1. 1623
Pertemuan pertama
Dari Mimika di barat hingga Elema jauh di timur – jarak lebih dari 2500 kilometer – jalur pantai selatan Papua sebagian besar terdiri dari rawa-rawa, hutan bakau dan dataran berlumpur. Di samping itu ada busung pasir dan air yang dangkal, angin kencang dan arus yang kuat yang mempersulit kapal layar menemukan tempat yang aman untuk berlabu. Apalagi, hampir semua suku yang tinggal di sepanjang pantai itu dulunya adalah pemburu kepala manusia. Hanya suku Elema di timur yang tidak melakukan pengayauan.
Pada bulan Pebruari 1623 ada dua kapal dari Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur (VOC) yang berlayar di sepanjang pantai selatan Papua. Kedua kapal itu, yang bernama Aernem dan Pera, di bawah pimpinan seorang pedagang yang bernama Jan Carstensz. Ketika mereka berlabuh di suatu tempat di sebelah barat Mimika, nakhoda kapal Aernem dengan 15 anak kapal naik sebuah sampan dan mendayung ke pantai untuk pergi cari ikan. Ketika mereka mencapai pantai, mereka menyebar ke segala arah. Tiba-tiba penduduk wilayah itu keluar dari hutan dengan busur, panah, dan tombak. Mereka membunuh sembilan orang dari rombongan kapal Aernem itu. Yang lain berhasil melarikan diri, termasuk nakhoda, tetapi dia meninggal sehari kemudian karena luka-lukanya. Jan Carstensz itu marah sekali karena dia tidak pernah memberikan izin untuk mereka pergi ke pantai.
Seminggu kemudian mereka meihat di kejauhan suatu puncak gunung yang tertutup salju. Mereka heran sekali dan ketika di kemudian hari mereka menceritakan hal itu, orang tertawakan mereka dan tidak mau percaya.
“Cerdas dan curiga”
Mereka berlayar di sekitar pulau Kolemon (dulu disebut pulau Frederik Hendrik), dan sebulan kemudian mereka berada di dekat desa Wambi saat ini. Di sana ada empat perahu dengan 25 orang Marind yang datang meneliti kapa-kapal itu. Perahu-perahu itu sangat besar sehingga masing-masing dengan mudah dapat menampung 20 orang. Mereka berani datang dekat, tetapi anak-anak kapal tidak berhasil memikat mereka naik kapal. Carstensz mencatat di lognya:
Orang-orangnya cerdas dan curiga. Kami tidak berhasil memikat mereka dengan tipu muslihat untuk datang cukup dekat supaya kami dapat tangkap satu atau dua orang dengan jerat yang telah kami bikin untuk tujuan itu. Mereka membawa beberapa tengkorak manusia di perahu mereka, yang beberapa kali mereka tunjukkan kepada kami; tetapi apa maksud mereka dengan itu kami tidak tahu.
Dengan upaya untuk tangkap beberapa orang Papua itu Jan Carstens mengikuti instruksi yang diberikan kepadanya oleh Jan Pietersz Coen untuk jikalau mungkin menangkap dan membawa kembali beberapa orang dewasa, tetapi khususnya anak-anak laki-laki atau perempuan. Tujuannya, supaya orang yang ditangkap itu akan diberi pendidikan sehingga nantinya mereka dapat berguna bagi V.O.C. di daerah asal mereka.
Tengkorak manusia yang mereka lihat itu kemungkinan besar hasil pengayauan yang ditawarkan untuk ditukar.
Pengalaman-pengalaman ini tidak memberikan harapan tinggi, dan sampai akhir abad ke-19 orang Belanda tidak terlalu peduli dengan pulau ini yang begitu sulit diakses dan yang penduduknya ternyata tidak begitu ramah terhadap pendatang.
2. MARIND
Suku Marind hidup di wilayah yang terletak di antara pulau Kolepom di sebelah barat, kali Digul di sebelah utara, dan perbatasan dengan Papua Niugini di sebelah timur.
Tentu ada segala macam perkara yang muncul di antara mereka, seperti mengenai wanita, mengenai sihir, atau mengenai kebun di hutan. Terkadang perkara-perkara itu lepas kendali dan terjadi pembunuhan. Tapi tidak ada pengayauan! Itu mereka anggap tidak pantas dilakukan di antara orang sesuku. Dan juga tidak dengan anggota suku-suku tetangga. Kepala-kepala manusia didapatkan di wilayah-wilayah yang lebih jauh, di daerah kali Fly, atau di suku-suku di sebelah kali Digul. “Orang yang tinggal di sana sebenarnya bukan manusia, orang itu hanya baik untuk terburu-buru. Mereka tidak berharga lebih!”, demikianlah kata seorang Marind pada zaman itu.
Persiapan
Ketika salah satu kampung sudah mengambil keputusan untuk pergi memburu kepala manusia lagi, suasana gembira telah menguasai semua orang. Baik orang dewasa maupun anak-anak berbicara tentang hal itu saja. Mereka rindu untuk pergi bertualang ke tempat-tempat yang jauh! Mereka ingin mendapatkan tengkorak-tengkorak yang baru! Tentu sudah waktunya juga! Sudah terlalu banyak remaja lelaki di kampung yang belum ikut upacara inisiasi untuk menjadi orang dewasa.
Minggu-minggu persiapan menyusul. Rumah pesta dibangun, para wanita pangkur sagu, para pria membuat busur dan anak panah baru, bambu pengisi air, dayung dan perlengkapan lain. Tiap-tiap malam hari orang nyanyi dan bunyi tifa menyebarkan berita ke mana-mana: segera akan ada pemburuan kepala manusia!
Anak-anak kecil bermain mengayau. Dari kecil mereka sudah belajar pakai busur dan anak panah. Mereka besar dengan cerita dan lagu mengenai perjalanan pengayauan yang sebelumnya. Mereka juga mendengar tentang kekalahan dan kematian yang dialami di masa lalu yang masih harus dibalaskan.
Sekarang mereka memerankan pemburuan kepala manusia. Mereka melukis diri mereka sendiri, dan dengan busur mereka menembak burung-burung kecil dan memenggal kepala burung-burung itu. Kemudian mereka mengupas kulit kepalanya, membersihkan tulangnya, baru menarik kulitnya kembali di tulangnya. Dengan demikian mereka bikin tengkorak mainan mereka sendiri.
Dalam perjalanan
Ketika berangkat ada kampung-kampung lain bergabung dengan mereka. Perahu-perahu itu semua penuh dengan bola-bola sagu karena berbulan-bulan mereka akan dalam perjalanan. Mereka tidak terburu-buru. Ada musim kemarau dan dengan angin bertiup dari belakang mereka berlayar ke timur sepanjang pantai. Kadang-kadang mereka istirahat untuk cari ikan.
Berhari-hari lamanya mereka berdayung terus, sampai akhirnya ratusan kilometer lebih jauh mereka mulai dekat ke wilayah perburuan mereka. Sekarang mereka berhati-hati. Pramuka maju, tubuh mereka digosok dengan kapur dan kepala mereka ditutupi dengan karangan bulu kasuari dan bulu burung cenderawasih. Mereka hampir tidak kelihatan di tengah alang-alang dan semak belukar. Orang-orang tua menggumamkan rumusan-rumusan yang akan membuat mereka tidak tampak.
Setelah para pramuka pulang mereka laporkan. Mereka telah menjelajahi sebuah kampung yang hidup dalam damai dan tidak menyadari malapetaka yang mengancam.
Pengepungan
Tengah malam mereka berangkat. Dalam perjalanan sekali lagi mereka menggumamkan mantra, meniup tinju mereka dan membukanya dengan sapuan lebar di atas kampung yang mereka serang; sihir itu harus membuat orang-orang di rumah tertidur lelap. Dalam keheningan besar mereka mengelilingi kampung itu, baru mereka tunggu sampai siang. Semua jalanan keluar kampung itu sudah dijaga.
Waktu mulai terang semua orang siap, tongkat di bahu, tangan di panah di tali busur. Wajah mereka diolesi dengan kapur atau tanah merah. Mata mereka penuh ketegangan.
Tiba-tiba mereka melolong liar menantang dan memukuli dada mereka. Masing-masing mereka meneriakkan nama ayahnya: Anak Widu datang untuk memenggal engkau punya kepala! Anak Kamenap… Anak Kalmu…
Penyergapan
Orang kampung bangun dengan kaget, terjadi kepanikan. Pria, wanita, dan anak-anak berusaha melarikan diri. Kebanyakan mereka jatuh ke tangan para pengepung seperti binatang yang tergiring. Panah dan tombak terbang ke segala arah, terdengar bunyi pukulan tongkat. Di atas semua kebisingan adalah teriakan perjuangan orang yang memburu kepala manusia.
Orang yang ditangkap tidak langsung dibunuh, karena penting untuk mengetahui namanya. Hanya ketika seseorang telah menyebutkan namanya, pisau bambu setajam silet itu berkedip dan kepala orang itu dipenggal di lehernya. Kepala dan nama menjadi milik orang yang menangkapnya.
Anak-anak hingga usia sekitar 12 tahun tidak dibunuh. Mereka dibawa untuk nanti dimasukkan ke dalam masyarakat kampung asal mereka baru akan dibesarkan dengan penuh kasih seolah-olah mereka adalah anak-anak mereka sendiri.
Kepala-kepala yang dipenggal
Pada hari yang sama, ketika mereka kembali ke bivak mereka, kepala-kepala yang dipenggal itu akan diawetkan. Kulit sementara dilepaskan dan direntangkan di atas suatu buah kelapa, dan mata dan otak dikeluarkan. Ketika tengkorak telah dibersihkan mereka menarik kulit itu kembali ke atas tengkorak dan mengikatnya di bagian bawah di leher menjadi gumpalan. Kemudian mereka menggantung kepala itu di atas api supaya menjadi kering.
Minggu-minggu kemudian, ketika mereka sudah pulang ke kampung halaman mereka, kepala-kepala itu digantung di rumah pesta. Berhari-hari orang datang melihat hasil pemburuan itu.
Lama kemudian, kadang-kadang setelah lebih dari setahun, pesta kepala dirayakan. Bermalam-malam terdengar deru tifa dan nyanyian suara berat laki-laki yang melecutkan.
Setelah pesta, kepala-kepala itu digantung di atas pintu masuk atau di bawah atap menjorok rumah-rumah pria di kampung-kampung yang mengambil bagian dalam pengayauan itu. Dalam beberapa tahun kulitnya akan dicerna dan dimakan semut. Tengkorak botak kemudian digantung bergugus-gugus di rumah atau di luar pada suatu tongkat. Hanya rahang bawah yang disimpan dengan hati-hati, karena itu adalah buktinya.
Nama-nama
Marind tidak pergi mengayau dengan tujuan makan daging manusia. Kanibalisme jarang terjadi di Marind dan biasa hanya dibuat oleh dukun dalam rangka sihirnya. Tujuan utama orang Marind pergi memburu kepala manusia adalah untuk memperoleh nama-nama untuk diberikan kepada anak-anak mereka.
Seorang pater Katolik pernah bertanya kepada seorang anak laki-laki apakah namanya diambil dari seorang yang dipenggal kepalanya.
“Benar, tuan”, jawab anak itu.
“Tapi kalau begitu, siapa kah yang sudah berhasil memenggal kepala manusia untuk engkau?”
“Saya punya kakek, tuan, bapak Kombida, dulu sekali. Saya punya bapak menyimpan rahang bawah itu dengan hati-hati di tas barang-barang berharganya yang tergantung di atap rumahnya.”
Sebuah nama tidak perlu diambil dari suatu kepala manusia yang masih baru. Sebuah kepala mempertahankan nilainya juga kalau sudah lama sekali sejak kepala itu dipenggal.
Namun idealnya jika nama itu sudah diperoleh sebelum anak lahir. Dengan demikian kelahiran anak itu dengan jelas menunjukkan bahwa pengayauan telah mencapai tujuannya. Ada orang yang sudah memperoleh beberapa nama yang tersedia ketika anak-anak lahir.
Nama seperti itu juga bisa digunakan untuk cucu atau keponakan. Dan jikalau ayahnya anak itu kemudian sendiri juga berhasil mengepal kepala manusia, anak itu dapat nama itu juga. Dengan demikian bisa terjadi bahwa seorang anak dapat dua atau bahkan tiga nama dari orang yang dipenggal kepalanya. Dan ketika dia kemudian menjadi seorang Katolik, sebuah nama baptis ditambahkan.
Kalau ada kekurangan nama, terkadang dua orang dapat nama menurut satu kepala. Tapi ada lain yang berkelebihan nama. Seorang bapak dari Okaba dapat tujuh anak; setelah dia memberikan nama hasil pengayauan kepada ketujuh anak itu, dia masih ada sisa tiga nama.
Nilai sentimental
Bagi orang yang mendapat nama hasil pengayauan, namanya itu memiliki nilai emosional. Ada cerita yang menyertainya! Ayahnya, atau kakeknya, atau pamannya, telah pergi jauh untuk mendapatkan nama itu untuk dia dan telah menghadapi banyak bahaya pada perjalanannya itu, tetapi dengan penuh berani dia telah berhasil menangkap seseorang yang telah sebut nama itu.
Tentu saja mereka tahu bahwa nama itu tidak selalu nama betul yang disebut oleh korban yang mau dipenggal kepalanya. Tetapi itu tidak masalah, apa pun saja yang masih dikatakan oleh orang itu ketika pisau pada pada lehernya itu berguna! Pada satu saat ahli bahasa pastor Drabbe ketemu seorang Marind dengan nama yang aneh; dalam bahasa orang di sebelah kali Digul nama orang itu berarti “Ibu, tolong saya!”, dan ternyata itulah kata yang terakhir yang keluar dari mulut orang yang kepalanya dipenggal. Seorang Marind lain saat itu memiliki nama yang berarti “Saya mati”.
Pada dasarnya, untuk setiap orang Marind perlu dipenggal kepala manusia. Berarti bahwa setiap tahun dipenggal sekitar 150 atau 300 kepala manusia. Tidak sebelum awal abad ke-20 baru praktik mengayau itu lama-kelamaan mulai ditinggalkan.
Makna yang lebih dalam
Praktik pengayauan ada juga makna yang lebih dalam. Ketika orang pergi untuk memburu kepala manusia, mereka membawa suatu tombak yang sangat istimewa, namanya pahui. Tombak ini melambangkan alat kelamin pria. Arti itu masih dipertegas dengan cincin kayu atau batu yang sering dipasang di atasnya.
Tengkorak juga berkaitan dengan buah kelapa. Ada cerita adat yang menjelaskan bagaimana pohon kelapa berasal dari suatu kepala manusia yang dipenggal. Ada cerita adat lain yang mengenai seekor anjing yang menjadi pemburu kepala manusia pertama. Dia mengubur kepala yang dipenggal itu di dalam sarang ayam hutan, baru dari kepala itu tumbuh suatu pohon kelapa yang dalam waktu yang sangat singkat menghasilkan buah banyak. Buah-buah kelapa itu jatuh ke tanah, dan ketika mulai bertunas buah-buah itu berubah menjadi manusia.
Jadi, seperti dari buah kelapa yang mati itu muncul kehidupan baru, demikian juga muncul kehidupan baru dari musuh yang dipenggal kepalanya, karena namanya diberikan kepada seorang anak.
Rupanya, pengayauan dipandang sebagai praktik yang membantu kesuburan dan kesejahteraan. Mungkin itu juga sebabnya bahwa anak-anak kecil tidak dibunuh tetapi dibawa. Orang yang memburu kepala manusia tidak mengejar buah muda tetapi kepala dewasa yang perlu dipotong dan ditanam untuk menghasilkan buah baru. Dengan demikian, praktik pengayauan adalah ungkapan dari keinginan untuk keselamatan, kesuburan dan kemakmuran.
3. Pemberantasan pengayauan
Keluhan
Pada akhir abad ke-19, Inggris menyita bagian timur pulau Papua.(1) Tidak lama baru mereka mulai mengeluh kepada pemerintah Belanda karena kelompok-kelompok pengayau yang menurut mereka berasal dari bagian Papua yang di bawah pertanggungjawaban Belanda datang memburu kepala manusia di dekat kali Fly, sekitar 250 kilometer lewat perbatasan! Setiap tahun ketika musim barat laut datang, orang Tugeri (2) datang lagi dengan puluhan perahu besar, untuk nanti di akhir musim kemarau pulang lagi dengan barang rampasan. Kampung-kampung di sepanjang kali yang dekat dengan pantai tidak menunggu kedatangan mereka tetapi sementara mencari perlindungan di pedalaman.
Pada tahun 1884 suatu rombongan Tugeri yang terdiri dari antara 30 dan 40 perahu besar terlihat di dekat kali Fly. Pada tahun 1896 patroli Inggris bertemu dengan kelompok yang terdiri dari sekitar 1500 orang dengan 75 perahu yang sedang memburu kepala manusia di daerah yang sama. Patroli ini berhasil merebut 48 dari perahu tersebut, kebanyakan berisi 20-30 bola sagu dengan berat masing-masing antara 4 dan 5 kilogram.
Merauke
Sulit bagi orang Belanda untuk diyakinkan bahwa para pengayau ini memang berasal dari wilayah yang di bawah pertanggungjawaban mereka. Namun, pada akhirnya tidak dapat disangkal lagi. Mereka memutuskan untuk membuka pos jaga di Saleriki, dekat perbatasan dengan bagian Ingris. Sekitar 12 tentara polisi harus mencegah rombongan pemenggal kepala manusia pergi mencari mangsanya di wilayah yang dikuasai oleh Inggris. Usaha itu gagal; orang polisi jatuh sakit, dan ada tentangan yang kuat dari para penduduk setempat. Sudah setelah beberapa minggu pos itu harus ditinggalkan lagi.
Kemudian pada tahun 1902 mereka membuka pos baru di muara kali Maro. Pendirian ini berhasil, dan dengan demikian lahirlah kota Merauke.
Maksud dan tujuan
Pada tahun 1910, pada akhir masa jabatannya, kepala Bestuur (3) yang bernama Hellwig menjelaskan apa tujuan utama pos pemerintah Belanda di Merauke. Ujarnya,
Tujuan itu adalah untuk dengan tegas mencegah orang pergi memburu kepala manusia di wilayah Inggris, dan untuk memberantas praktik yang mengerikan itu yang tidak dapat dipertahankan. Usaha itu sudah membangkitkan kemarahan orang Papua karena kami campur tangan dalam adat-istiadat yang berkaitan dengan agama mereka. Karena mereka masih tetap percaya bahwa kebahagiaan anak laki-laki yang baru lahir itu tidak cukup terjamin, selama ayahnya belum mengepal kepala manusia untuk anaknya dan memberi nama korbannya kepada anaknya, supaya roh dari korbannya akan melindungi anaknya selama dia hidup. (4)
Diambil tindakan keras terhadap pemburuan kepala manusia ke arah timur. Perahu-perahu dimusnahkan dan denda dikenakan yang harus dibayar dengan babi dan buah-buah kelapa. Makin jelas bahwa semua kampung di sepanjang pantai suku Marind sampai lewat Okaba dari waktu ke waktu ikut ambil bagian dalam rombongan-rombongan besar yang pergi memburu kepala manusia di wilayah kali Fly.
Penundukan
Pada awalnya orang Marind senang dengan kedatangan orang asing itu. Namun, itu segera berubah, ketika mereka sadar bahwa orang kulit putih itu tidak berniat pergi lagi dan ingin menyuruh-nyuruh mereka. Orang Marind tidak menyerah tanpa perlawanan. Sepuluh hari setelah orang Belanda menginjakkan kaki di Merauke, mereka mengepal kepala dua tenaga polisi, lima tukang kayu Cina, dan seorang pengawas yang sementara di luar pagar bivak. Hari berikut, patroli Belanda menembaki pasukan Marind yang mengancam. Serangan malam di bivak dipukul mundur.
Sebulan kemudian, lima belas pekerja paksa yang berasal dari Aceh melarikan diri dari Merauke, tiga belas di antaranya dipenggal kepalanya. Tidak lama kemudian sepuluh orang melarikan diri, sekarang enam yang terbunuh. Kali ketiga ada 28 orang Aceh yang ingin mencobanya lagi; 26 orang dibunuh.
Patroli-patroli polisi disergap, dan ada korban jatuh di kedua sisi. Sementara itu, ada desas-desus mengenai orang Marind yang pergi berburu kepala manusia di tempat-tempat lain.
Selama eksplorasi militer di daerah ini (1907-1908), kehadiran pasukan tentara itu sangat menolong. Mereka melakukan banyak patroli sekeliling Okaba dan Sanggasé. Hasilnya bahwa orang di situ tunduk kepada tentara itu dan berperilaku baik selama mereka berada dalam jangkauan pasukan. Tetapi itu hanya berlangsung selama tentara berada di wilayah mereka. Setelah mereka pergi, Hellwig melaporkan, katanya:
Pada umumnya penduduk asli sama sekali belum berdamai dengan pemerintahan kami. Mereka masih menganggap kami sebagai penjajah yang menjengkelkan, karena mencegah pengayauan dan melarang melakukan segala macam tindakan kekerasan. Dan sementara itu kerugiannya tidak dikompensasi oleh keuntungan materiil yang dihasilkan dari kehadiran orang asing. Sebelum kami datang, mereka adalah penguasa yang terkenal dan ditakuti dimana-mana. Sejak itu masih sulit bagi mereka untuk mengaku diri kalah terhadap kami.
Pembenaran
Sulit untuk membenarkan pemukiman penjajah Belanda. Tentu tidak tepat jika Hellwig menyamakan tindakan tentara Belanda dengan tindakan orang Marind. Orang Belanda tidak memiliki hak yang sama di Papua dengan orang Marind atau orang suku Papua lainnya. Mereka adalah penjajah dari luar dan otoritas mereka bersifat kolonialis murni, walaupun mereka tidak datang untuk mencari keuntungan tetapi untuk mencegah orang Inggris nanti mengambil alih wilayah ini. Tetapi mereka tidak memiliki hak lebih daripada orang Inggris untuk bertindak sebagai penguasa di Papua.
Lain halnya dengan Misi Katolik Roma, yang datang ke Papua dua tahun setelah pendirian pos Merauke. Mereka tidak masuk untuk menyita tanah Papua itu. Mereka datang sebagai utusan dari Kristus. Mereka pergi ke pedalaman tanpa senjata, sering kali menetap jauh dari pos-pos pemerintah Belanda, dan dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri berhasil memenangkan hati rakyat.
Misi Katolik Roma
Pos Misi Katolik di Merauke didirikan pada bulan Agustus 1904. Sudah pada bulan itu juga menjadi jelas bahwa Misi itu sangat menentang praktik pengayauan orang Marind.
“Kami mulai mengenal mereka. Mereka telah sangat merosot, mereka benar-benar sebagai binatang”, demikianlah catatan dalam buku harian pos Misi Katolik di Merauke.
“Ini adalah praktik biadab yang mengerikan dan keji”, tulis salah satu dari para pastor.
Seorang lain tulis pada tahun 1909: “Betapa dalam, sangat dalam orang ini telah merosot, baik pria maupun wanita. Hidup mereka adalah rangkaian perbuatan amoral yang tidak wajar. Tentu menjijikkan! Binatang buas masih patut dihormati dibanding dengan mereka.”
Dan setelah bertahun-tahun tinggal di antara orang Marind, seorang pastor yang lain lagi menulis di sebuah surat kabar Belanda pada tahun 1935: “Mereka adalah orang yang melampiaskan nafsu hewani mereka yang tak terkendali, yang menuruti nafsu haus darah dan percabulan yang paling mengerikan. Tidak ada yang suci bagi mereka, bahkan kehidupan anak-anak mereka sendiri.”
Frustrasi Misi
Oleh karena itu, bagi para pastor Katolik menjadi seperti duri di mata bahwa pada awalnya Bestuur hanya bertindak terhadap orang di wilayah pantai yang mengganggu orang-orang di sebelah perbatasan. Kampung-kampung di sekitar Okaba sering pergi memburu kepala manusia menyeberang kali Digul; kali besar itu memberi kesan yang mendalam pada orang Marind karena di seberang kali besar itu ada hutan yang tidak dapat ditembus. Begitu pula orang di hulu kali Bian melakukan pengayauan di seberang kali Digul dan juga di wilayah kali Fly di sebelah timur dan di daerah kali Kao di utara.
Namun demikian, pada awalnya Bestuur hampir tidak bertindak terhadap mereka. Bahkan di dekat Merauke, pembantaian dapat berlanjut sampai tahun 1913. Dan baru setelah tahun 1923 rombongan-rombongan pengayau tidak menyeberang kali Digul lagi.
Tindakan Bestuur
Pada musim semi tahun 1911, Okaba pergi lagi memburu kepala manusia di pedalaman. Pada tahun yang sama ada berita-berita mengenai pengayauan lain lagi. Diadakan pesta-pesta tengkorak. Karena tidak pernah ada tindakan dari orang Belanda di Merauke, orang Marind menertawakan Bestuur itu.
Tetapi pada tahun 1913 Bestuur akhirnya mulai bertindak. Di pemukiman-pemukiman di sepanjang pantai, ratusan tengkorak disita dan dibakar atau dikubur. Di antaranya ada yang baru saja dipenggal. Perahu-perahu dihancurkan, pemukiman ditembaki dengan meriam kapal. Di salah satu kampung mereka menemukan “suatu lengan yang dikunyah dengan tangan yang diasapi”. Anak-anak yang baru-baru dirampok, dibawah dan dipercayakan kepada Misi di Merauke. Sejumlah orang yang kuat melawan, ditembak mati. Puluhan lainnya ditawan untuk menjalani hukuman penjara di Merauke atau di Maluku.
Meskipun kampung Wambi sudah berulang kali dapat hukuman, pada tahun yang sama itu orang kampung itu mengadakan pemburuan kepala manusia lagi. Tahun berikutnya, mereka dihukum lagi, dan pada saat itu 32 orang tewas.
Torai, Muting, dan Assike
Di Torai di hulu kali Maro, sungai tempat Merauke terletak, sebuah pos polisi dibuka. Kampung itu dekat dengan perbatasan dengan wilayah yang di bawah pengawasan Inggris. Sesudah beberapa tahun pos polisi ini dipindahkan ke Muting karena dari tempat itu mereka dapat mengontrol daerah itu dengan lebih baik. Pada saat itu ada sekelompok pria di Muting dengan kepala persegi dan tubuh gelap, yang waktu mereka masih kecil telah dirampok pada pengayauan di wilayah kali Fly.
Sebuah pos polisi lain didirikan di Assike di kali Digul, kira-kira berhadapan dengan tempat di mana kali Fly secara singkat melintasi garis bujur 141° yang merupakan perbatasan.
Dengan demikian Bestuur coba mengakhiri pengayauan dan bagaimanapun juga mencegah bahwa ‘warga Belanda’ akan pergi memburu kepala manusia di wilayah Inggris.
Dampaknya
Pada tahun 1923, beberapa anak dengan mata yang berkilau-kilau bercerita mengenai bapak Kenda yang sudah tua. Dulu laki-laki tua yang sudah berambut putih itu biasa mendesak para pemuda di kampung untuk mengadakan pengayauan. “Tuan”, anak-anak itu bilang sambil menepuk dada mereka dengan bangga, “kami semua masih memiliki nama dari orang yang dipenggal kepalanya. Memenggal kepala manusia itu buruk, pengayauan tidak boleh; bapak Kenda sudah tua, matanya mulai redup, pengayauan sekarang akan berakhir!”
Tapi jauh di pedalaman, selama puluhan tahun pengayauan masih terus berlanjut.
–//–
Catatan
- Bagian selatan dari bagian timur pulau Papua dianeksasi oleh The British Colony of Queensland pada tahun 1883. Pada tahun 1884 daerah ini menjadi protektorat Inggris. Batas antara bagian barat dan bagian timur pada awalnya ditentukan oleh Gubernur-jenderal Rochussen pada tahun 1848, dan dengan persetujuan Inggris ditetapkan pada tahun 1875, sebagai garis lurus dari 140o47′ BT di pantai utara hingga 141o BT di pantai selatan.
- Orang Inggris menyebut kelompok-kelompok pengayau itu Tugeri. Menurut Vertenten, arti nama itu adalah ‘pembawa pisau’.
- Pemerintahan Belanda disebut Bestuur. Misalnya, seorang bupati disebut Hoofd Plaatselijk Bestuur (HPB): Kepala Pemerintahan Daerah.
- Penafsirannya tentang motif pengayauan kemudian ternyata tidak benar.
Sumber
Arsip Nasional, Den Haag:
- Hellwig, R.L.A., (assistent-resident); Memorie van Overgave van de (onder)afdeling Zuid Nieuw-Guinea. 1910. Ministerie van Koloniën: Memories van Overgave, nummer toegang 2.10.39, inventarisnummer 411.
Publikasi:
- Baal, J. van, Description and analysis of Marind-anim culture (South New Guinea). The Hague 1966. (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Translation series 9)
- Baal, J. van, Jan Verschueren’s description of Yéi-nan culture. Den Haag 1982.
- Baal, J. van, Man’s quest for partnership. Assen 1981.
- Boelaars, J. (M.S.C.), Met Papoea’s samen op weg. De ontwikkeling van de mensen en de missionarissen. Deel I De pioniers. Het begin van een Missie. Kampen (Kok) 1992.
- Corbey, Raymond, Snellen om namen. De Marind Anim van Nieuw-Guinea door de ogen van de Missionarissen van het Heilig hart, 1905-1925. Leiden 2007.
- Corbey, Raymond, Snelnaam en doopnaam bij de Marind Anim van Nieuw-Guinea. Dalam: Tribale kunst, volume 8 no 2 (2020), hal. 8-13.
- Dijk, L.C.D. van, Twee togten naar de Golf van Carpentaria: J. Carstensz 1623, J. E. Gonzal 1756 : benevens iets over den togt van G. Pool en Pieter Pietersz. Amsterdam 1859.
- Feuilletau de Bruyn, W.K.H., Iets over de geschiedenis van de vestiging van het Nederlandse gezag op Zuid-Nieuw-Guinea. Dalam: majalah “Nieuw-Guinea”, volume ke-13 (Mei 1952/Maret 1953), hal. 1-6.
- Galis, K.W., Geschiedenis, in: W.C. Klein (ed.), Nieuw Guinea, deel I. ’s-Gravenhage 1953.
- Geurtjens, H. (M.S.C.), Onder de Kaja-kaja’s van Zuid Nieuw Guinea. Roermond/Maaseik (1933)
- Geurtjens, H. (M.S.C.), Op zoek naar oermenschen. Roermond-Maaseik (1934).
- Knauft, Bruce M., South Coast New Guinea Cultures. History, comparison, dialectic. Cambridge 1993. (Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology, 89)
- Lyons, A.P., Hunting Down Head-Hunters. Dalam: Pacific Islands Monthly, September 1951, hal. 65, 73-57.
- Nešpůrek, Václav, De expedities naar Nederlands-Nieuw-Guinea in de periode rond de eeuwwisseling van 1900. Tesis master Olomouc (Tsjechië) 2018.
- Verslag van de Militaire Exploratie van Nederlandsch-Nieuw-Guinee 1907-1915. Weltevreden (Landsdrukkerij) 1920.
- Vertenten, P. (M.S.C.), Het koppensnellen in Zuid-Nieuw-Guinea. Dalam: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 79 (1923), hal. 45-72. (artikel tertanggal bulan December 1920).
- Vertenten, P. (M.S.C.), Vijftien jaar bij de koppensnellers van Nederlandsch Zuid-Nieuw-Guinea. 1935 (Davidsfonds, Volksboek No. 259)
- Vriens, A. (M.S.C.), Nieuw-Guinea… vroeger. Dalem: majalah “Nederlands Nieuw-Guinea”, volume ke-8 No. 6 (Nopember 1960), hal. 10-13.
Situs web (sumber beberapa foto):
- https://www.erfgoedkloosterleven.nl/
- https://www.papuaerfgoed.org